"You're not real! You're not real! You're not real!"
It's
easy to kill a movie, just move it to January.
Ya, bagi penikmat film bulan januari telah identik sebagai dump month, bulan
berisikan film-film yang oleh studio dianggap tidak punya memiliki kualitas
komersial yang mumpuni baik itu dari segi cerita hingga para pemeran. Mari
mulai dengan The Forest, sebuah film
supernatural horror yang sebenarnya punya setup dan karakter yang baik di
tengah konsep klasik yang ia usung tapi sayangnya terlalu asyik menggoda
penontonnya.
Sara
Price (Natalie Dormer) merasa khawatir pada adiknya, Jess Price (Natalie Dormer), yang sedang
berada di Jepang, tepatnya di hutan Aokigahara
dekat Gunung Fuji, sebuah tempat legendaris dan suci yang memiliki mitos bahwa
orang-orang yang pergi ke sana akan berakhir dengan bunuh diri karena roh-roh
gelap yang berkeliaran di hutan tersebut. Sara memutuskan untuk menyusul Jess,
bertemu dengan reporter bernama Aiden
(Taylor Kinney) dan dibantu oleh pemandu bernama Michi (Yukiyoshi Ozawa) masuk ke dalam hutan untuk menemukan Jess.
Sara penuh percaya diri sehingga memutuskan untuk bermalam di dalam hutan,
namun sikap tersebut perlahan memudar ketika hal-hal aneh mulai menghampiri
mereka.
Saya suka bagian
pembuka The Forest, Jason Zada
terhitung cukup baik dalam membentuk cerita. Fokus utamanya adalah setup cerita
itu sendiri, hubungan sebab akibat yang sebenarnya sudah sangat familiar itu
berhasil menciptakan daya tarik untuk diikuti. Di bagian ini The Forest disibukkan dengan usaha
membangun cerita dan karakter yang meninggalkan impresi baik, mereka tampak
serius menjadikan agar ada sesuatu yang berbahaya menanti Sara dan tentu saja
terus mengingatkan kita kalau apa yang dilakukan oleh Sara, Aiden, dan Michi
adalah sebuah tindakan berbahaya. Proses perkenalan yang dilakukan Jason Zada bagus, fakta bahwa skenario
yang ia miliki sangat tipis tidak mengganggu pikiran penonton di awal.
Sayangnya hal manis
dari The Forest itu Cuma hadir di
bagian awal, karena yang terjadi setelah itu adalah cerminan dari betapa
tipisnya materi yang film ini miliki. The
Forest adalah sebuah horror yang telah bersusah payah membangun pondasi di
bagian awal, hal yang dilakukan dengan baik, tapi mengapa setelah itu yang ia
lakukan adalah hal-hal klasik di level konyol dari sebuah film horror. Jason Zada kelabakan ketika
menggabungkan konsep scary movie gaya Amerika dengan rasa J-Horor, ia seperti
ingin menyimpan sebanyak-banyaknya misteri yang dimiliki cerita untuk menggoda
penontonnya tapi tampak sangat goyah ketika momen menampilkan itu tiba.
Jadi tidak heran jika The Forest justru lebih terasa seperti
film misteri ketimbang film horror, ketegangan ada tapi tidak pernah tumbuh
dengan baik sehingga puncaknya yaitu rasa takut juga tidak pernah eksis. Yang
eksis di dalam cerita bagi penonton adalah berbagai pertanyaan bukan rasa
waspada dan rasa takut yang nyata. Jason
Zada kurang cermat dalam mempermainkan imajinasi penontonnya, terlalu sibuk
menggoda sehingga benang merah cerita jadi lemah, dan ketika giliran di mana ia
harus meneror penonton tidak ada senjata yang oke dari karakter dan cerita.
Hasilnya, ya jump scare murahan di sana-sini, membuyarkan misteri yang telah ia
bangun dan menjadikan jalur selanjutnya terasa berantakan.
Hal positif dari The Forest adalah selain memiliki
sinematografi yang dapat dikatakan oke ia juga punya Natalie Dormer yang dengan materi lemah sejak sinopsis tetap mampu
memimpin cerita untuk terus maju. Komitmen Natalie Dormer patut diapresiasi
terutama kesuksesan bagian awal juga berkat kemampuannya memberikan kedalam
terhadap premis cerita, walaupun akhirnya harus terjebak di dalam aksi
memeriksa yang monoton di bagian selanjutnya. The Forest tidak istimewa, terjebak dalam ide klasik sehingga babak
kedua terasa monoton, rasa waspada dan takut tidak kuat, namun ini merupakan
debut yang cukup menjanjikan dari Jason
Zada. Ya, setidaknya The Forest
bukan film horror yang pemalas di semua elemen.
0 komentar :
Post a Comment