30 December 2015

Review: Youth (2015)


"Intellectuals have no taste."

Meskipun memakai judul yang memiliki arti muda jangan kaget jika yang akan kamu temukan dari film ini justru sebuah observasi terhadap subjek yang tidak lagi muda. Niat Paolo Sorrentino di sini sangat menarik, baton dari The Great Beauty yang berhasil meraih Oscars dilanjutkan dengan baik oleh Youth dengan menjadi sebuah sajian studi karakter yang indah mencoba membawa kamu kedalam sebuah meditasi tentang menjadi tua dengan mencampur proses penuaan itu dengan persahabatan, kehilangan, rasa kecewa, rasa sakit, kebijaksanaan, hingga cinta.

Di sebuah spa kesehatan yang mewah di Swiss, seorang komposer terkenal bernama Fred Ballinger (Michael Caine) berjalan-jalan tanpa seperti tanpa tujuan, memikirkan tentang cinta dan karir yang ia miliki. Fred Ballinger merupakan maestro di dunia musik namun karena alasan pribadi telah kehilangan semangat untuk kembali ke dunia musik, walaupun menerima request dari Queen Elizabeth II untuk menampilkan lagu Simple Songs. Dikelilingi oleh sahabatnya yang merupakan seorang filmmaker, Mick Boyle (Harvey Keitel), seorang aktor yang sedang frustasi bernama Jimmy Tree (Paul Dano), serta Lena Ballinger (Rachel Weisz) yang merupakan anak perempuan sekaligus asistennya, Fred mulai berusaha untuk menemukan kembali semangat untuk mengisi hari tuanya. 



Elemen dari film ini yang paling sulit untuk dibantah bahwa ia berhasil tampil dengan baik adalah visual. Paolo Sorrentino menunjukkan taste yang ia punya dalam menampilkan cerita secara cantik, setiap shoot dalam Youth memang tampak sederhana namun tidak tahu mengapa visual berhasil menciptakan feel yang begitu kuat untuk membuat penonton seolah berada di samping Fred dan ikut membantunya menemukan semangat dalam kehidupannya. Visual tidak pernah terasa berlebihan mencolok, dari pedesaan indah yang tahu bagaimana cara mencuri atensi penonton hingga set up yang berhasil menciptakan metafora pada proses meditasi Fred, Sorrentino patut berterimakasih pada Luca Bigazzi karena dari cerita sendiri Youth tidak istimewa.



Script Youth tidak buruk tapi impresi yang diberikan juga tidak kuat. Cerita terasa terlalu kecil untuk mengangkat masing-masing karakter menemukan jawaban yang mereka cari, materi yang ia sediakan bagi karakter untuk membawa penonton bergerak lebih jauh dan lebih dalam bersama konflik terasa tipis. Cukup disayangkan karena dengan memiliki banyak karakter seharusnya dapat Paolo Sorrentino gunakan untuk menciptakan punch yang jauh lebih kuat di film ini jika dibandingkan dengan yang ia hasilkan di The Great Beauty, apalagi dengan kesuksesan jajaran cast memanfaatkan ruang lebih yang mereka dapatkan untuk berbicara kepada penonton tentang kehidupan dan pengalaman yang mereka punya dengan berlandaskan rasa kurang puas dan menyesal.



Youth berhasil mencapai level bukan hanya berkat visual yang manis tadi namun kemampuan para pemeran dalam menutup kekurangan di script lewat penampilan yang memikat. Pemeran pendukung memperoleh momen dimanfaatkan dengan baik, seperti Harvey Keitel yang membangun persahabatan menarik dengan karakter Fred, Rachel Weisz dengan masalah pernikahan, Paul Dano yang seperti menjadi poacher yang licik, hingga Jane Fonda yang karakternya tiba-tiba muncul tidak tahu dari mana namun berhasil meninggalkan kesan yang mendalam karena ketika ia hadir layar sepenuhnya menjadi milik Brenda Morel. Dan bintang utamanya adalah Michael Caine, ia menjadikan Fred sebagai pria yang telah renta baik raga maupun jiwa namun rasa sedih pada “menjadi tua” berhasil Caine gambarkan dengan emosi yang memikat.



Jika script dapat tampil lebih baik hasil akhir Youth bisa lebih baik dari The Great Beauty, seperti membuat agar ide tidak memiliki arah yang terlalu banyak sehingga point penting tentang penuaan tadi bisa meninggalkan kesan yang kuat. Namun seperti banyak film yang mencoba memberikan petulangan reflektif hasil akhir Youth akan menciptakan banyak segmen tergantung pada bagaiamana penonton menilai proses kehidupan. Dengan visual yang manis serta kinerja akting yang memikat, Paolo Sorrentino kembali berhasil menciptakan sebuah petulangan tentang metafora kehidupan yang menarik untuk diamati, menarik untuk dirasakan, dan tentu saja menjadikan semakin menarik pula menantikan keindahan apalagi yang Paolo Sorrentino akan hasilkan selanjutnya. Oh ya, ini lucu!! Segmented. 







2 comments :

  1. nice review, kayanya bagus nih jadi penarasan..

    ReplyDelete
  2. bagus gan rivew nya, jadi pingin nonton :), tp mohon maaf mau tanya dikit, di blog ini kan banyak film2 bagus atau pun film2 'kurang bagus' yg sudah anda review, anda juga bisa menjelaskan dimana saja letak kekurangan nya,ntah dari segi cerita, pemain nya, sdb. Misalkan anda menyutradarai sebuah film tentu anda seharusnya bisa menghasilkan film yg benar2 sangat bermutu, karena anda sudah pasti bisa mengantisipasi kelemahan2 dari film yg anda buat.

    ReplyDelete