"The Virgin Mary. I spoke to her yesterday. She was outside the post office."
Dengan menyandang
status makhluk sosial setiap manusia memerlukan sosok lain di sekitar mereka
untuk belajar dan terus bertumbuh sebagai individu, tidak peduli berada di usia
berapa mereka. Hal tersebut yang coba digambarkan oleh The Lady in the Van, mencoba melakukan eksplorasi terhadap hubungan
antar dua individu dengan menggunakan dua senjata utama yang berhasil tampil
menarik, pertama adalah komedi, dan kedua adalah Dame Maggie Smith.
Mary
Shepherd (Maggie Smith) merupakan wanita tunawisma, dan
terkenal di London selalu setia ditemani oleh van Bedford miliknya. Seorang
penulis bernama Alan Bennett (Alex
Jennings) mengijinkan wanita tua yang membenci music itu untuk menggunakan
halaman rumahnya sebagai area parker bagi van miliknya. Berkat persahabatannya
yang terjalin Bennett belajar banyak hal mengejutkan dari Mary, bahwa ia
merupakan Margaret Fairchild mantan
murid dari pianis berbakat Alfred Cortot
hingga usaha Mary yang pernah mencoba menjadi seorang biarawati.
The
Lady in the Van memulai semuanya dengan sangat cantik,
terasa sangat mudah untuk klik dengan cerita yang ditulis langsung oleh Alan Bennett itu, termasuk pula di
dalamnya cara karakter Mary Shepherd
dan Alan Bennett membangun hubungan
dinamis di antara mereka tapi juga membuat penonton seperti menjadi sosok lain
dalam cerita dan mencoba mengamati hubungan di antara mereka yang menjadi fokus
utama film ini. Di tangan Nicholas Hytner
film ini seperti mencoba membawa kamu menelisik keseimbangan dalam sebuah
hubungan meskipun harus diakui niat tersebut juga tidak pernah tampak jelas,
menghasilkan kesan ambigu sehingga The Lady in the Van lebih terasa seperti
panggung bagi seorang wanita tua untuk melakukan hal-hal yang ia inginkan.
Lucu memang, namun kesan
terlalu sederhana dan terlalu nyaman cepat menghampiri The Lady in the Van, sehingga ketika kamu dibawa berpindah dari
babak paruh awal yang akan kamu temukan selanjutnya adalah aksi mondar-mandir
yang terlalu santai. Nicholas Hytner
dan Alan Bennett tampaknya ingin agar ini tidak menciptakan kesan sentimental
walaupun cerita memiliki niat menjadi sebuah studi karakter, tapi ketika dengan
cepat menumpahkan terlalu banyak informasi terkait Mary Shepherd di awal The
Lady in the Van perlahan mulai tampak bingung bagaimana menampilkan emosi
dari karakter dan cerita sehingga isu tentang dampak yang diberikan oleh orang
sekitar terhadap kehidupan anda itu bisa tetap bercahaya di pusat cerita.
Untung setelah kemudian
didominasi lelucon kering cita rasa British dengan kesan meta narasi yang mulai
terasa lemah itu tidak membuat The Lady
in the Van secara keseluruhan terasa menjengkelkan. Mengamati Mary tetap
terasa lucu berkat kinerja memikat dari dua pemeran utamanya, terutama Maggie Smith. Karakter Mary merupakan
sosok yang penuh ledakan tapi hal itu ditampilkan oleh Maggie Smith dengan
sangat sangat lembut, menggabungkan sisi rentan Mary namun tetap mengikat kamu
dengan kesan eksentrik, Mary yang merupakan karakter yang tidak asing lagi bagi
Maggie Smith benar-benar dibentuk
sebagai wanita gila penuh pesona. Chemistry
yang Smith bangun dengan Alex Jennings juga terasa manis, aksi bertengkar
dan saling ejek mereka selalu sukses menggelitik.
Punch
yang ia hasilkan di akhir mungkin terasa lemah jika melihat apa yang ia berikan
di bagian awal cerita, tapi The Lady in
the Van tidak pernah mendekati zona berbahaya yang membuat penonton
perlahan jengkel dan kehilangan rasa tertarik pada cerita dan karakter. Kental
kesan puitis, lucu dan terasa aneh, seandainya ia tidak terlalu nyaman dan
santai sehingga narasi misterius itu dapat dipoles lebih baik lagi The Lady in the Van dapat menjadi salah
satu kandidat kuat film komedi terbaik tahun 2015 karena ia punya pondasi yang
baik, dari kesan pesona penuh kesan eksentrik yang menarik dan tentu saja
karakter utamanya yang diperankan dengan sangat baik oleh Maggie Smith.
0 komentar :
Post a Comment