"She brought the hammer down."
“I’ll
do anything with you until you die,” begitu kata Jennifer Lawrence kepada David O. Russell yang dikutip dari sesi
tanya jawab saat screening Joy pada akhir november yang lalu. Sutradara dan
aktris ini perlahan memang tampak seperti duet yang mulai sulit untuk
dipisahkan, Joy merupakan kolaborasi ketiga mereka setelah Silver Linings Playbook dan American
Hustle. Namun tidak seperti dua film tadi ternyata Joy memberikan sesuatu
yang berbeda, sesuatu yang sayangnya membuat saya berharap agar mereka memilih
untuk “berpisah" sejenak. A forced package from start to finish,
that’s Joy.
Meskipun bermasalah
dalam karirnya sebagai single mom setelah bercerai dengan suaminya Tony Miranda (Édgar Ramírez), memiliki
hubungan yang kurang hangat dengan ibunya Terry
Mangano (Virginia Madsen) serta adiknya Peggy
(Elisabeth Röhm), dan menyaksikan sang ayah Rudy Mangano (Robert De Niro) mengalami masa puber yang kedua
bersama Trudy (Isabella Rossellini), Joy
(Jennifer Lawrence) merupakan wanita kreatif dan layak memiliki karir yang
jauh lebih baik dari yang ia miliki sekarang. Suatu ketika Joy mengalami
insiden dan ia mendapat inspirasi untuk membuat pembersih lantai atau pel yang
jauh lebih “memudahkan” konsumen. Sayangnya jalan untuk mewujudkan ide tersebut
tidak mudah.
Menggunakan Miracle Mop yang merupakan prototype karya Joy Mangano di tahun 1990 untuk kembali menggambarkan perjuangan
karakter meraih kesuksesan dari titik terendah, David O. Russell memulai Joy dengan cukup baik walaupun editing
yang terasa kasar itu memang menjengkelkan. Sederhananya di bagian awal Joy
bercerita secara on point, sangat mudah untuk merasakan kesulitan yang dialami
oleh Joy baik yang dihasilkan oleh
dunia luar maupun yang berasal dari keluarganya sendiri. Karakter yang
underdog, lalu berikan beban dan tanggung jawab yang harus ia lakukan,
lanjutkan dengan perjuangan untuk kemudian meraih kesuksesan, konsep yang dapat
dikatakan seperti sudah menjadi hafalan bagi David O. Russell itu tampil baik.
Sayangnya adalah
setelah bagian awal yang cukup baik tadi ternyata Joy tidak terbang lebih tinggi lagi. Joy perlahan jadi seperti sebuah perayaan tentang suka dan duka
kehidupan yang melelahkan. Fokus menjadi masalah terbesar dari film ini, hingga
menjelang bagian akhir David O. Russell
masih tampak kesulitan menetapkan nada yang pas untuk Joy, usaha mendorong sisi
inspiratif berisikan pesan tentang motivasi tidak pernah menghasilkan punch
yang kuat. Tidak heran dibantu dengan editing yang liar dan tidak nyaman alur
cerita film ini sering banget kelihatan kebingungan, mudah untuk menemukan
loncatan cerita yang terkesan dipaksakan meskipun sudah coba ditutup dengan
kombinasi proses penemuan, ambisi, masalah keuangan, hingga keluarga
yang dicampur aduk dalam gerak cepat.
Mari ambil contoh Silver Linings Playbook, kita tahu Tiffany punya masalah eksternal dan
internal, dan kita sebagai penonton dengan senang hati berada di sampingnya.
Joy berbeda, David O. Russell seperti
coba bereksperimen dengan nada sehingga penonton sulit untuk stick dengan
karakter Joy karena kesan liar
membuat pesonanya hit and miss. Visi dan misi dari Joy Mangano terus terombang-ambing
sehingga pesona dari perjalanan kewirausahaannya terasa biasa, rasa cemas, rasa
sakit, ambisi dan motivasi, mereka saling bertabrakan. Saya juga terus dibuat
merasa aneh pada irama cerita yang seperti tergesa-gesa, seperti pencuri yang
sedang dikejar polisi. Itu bagus jika Joy
memiliki banyak hal menarik yang ingin disampaikan, tapi film ini tidak,
sinopsis terlihat rumit tapi kisah sederhana, durasi besar dan ritme yang
kasar.
Mungkin akan terkesan
kasar namun penampilan Jennifer Lawrence
merupakan satu-satunya hal menarik dari Joy. Pemeran pendukung seperti Robert De Niro hingga Bradley Cooper (surprisingly memperoleh spot di poster ) oke dalam menciptakan
ingar-bingar yang membuat kehidupan Joy tampak sesak, dan Jennifer Lawrence gunakan itu untuk menghidupkan karakter Joy di dalam layar. Namun ini bukan
performa terbaik J-Law, bahkan jika melihat persaingan tahun ini saya ragu
apakah kinerjanya layak masuk jajaran atas. J-Law
sebagai Joy adalah benar namun salah, ia tampil cekatan dan konsisten, nakal
dan bubbly akan jadi alasan banyak penonton menyukainya sebagai Joy. Tapi J-Law
kurang berhasil mengambarkan “soul” dari Joy sebagai seorang wanita dengan
masalah dan tanggung jawab yang lebih besar dari Tiffany dan juga Rosalyn.
Berawal dari ide alat
pel lantai Joy Mangano berhasil
menjadi sosok yang dikenal sebagai the
creator of smart & stylish innovations. Itu sudah cukup menjadi alasan
mengapa Joy seharusnya menjadi sebuah drama-comedy yang inspiratif, bukannya
sebagai soap opera yang liar dan
bingung sehingga kesan smart dan stylish yang dihasilkan hanya dalam level yang
cukup. Punya durasi 124 menit, konflik tidak rumit, irama juga seolah terus
berlari, jadi terasa aneh ketika perjuangan dari sebuah kisah inspiratif justru
berakhir begitu “pendek” dan sederhana. Joy adalah kolaborasi super familiar
dari Jennifer Lawrence dan David O. Russell, dan sebaiknya
masing-masing mulai mencari perahu untuk Oscars
yang dapat memberikan udara segar. Joy is
good, but not a joyous to me.
Thanks to: rory pinem
0 komentar :
Post a Comment