"And it was the strangest thing. It was like kissing myself."
Jika harus digambarkan
dengan menggunakan pengandaian, The
Danish Girl ibarat sebuah daging kualitas sangat baik yang dapat dimasak
hingga matang namun akhirnya disajikan kepada konsumen dalam kondisi setengah
matang. Bukan, bukan karena ia tidak punya api untuk memasak daging tersebut
hingga matang tapi karena koki yang merasa ragu atau cemas daging menjadi
gosong dan memilih bermain aman. Seperti itu The Danish Girl, sama seperti Trumbo
ini merupakan sebuah film biografi yang understated, tapi hasil
akhirnya membuat penonton bergumam I like
it, but I don’t love it.
Ketika temannya yang
berprofesi sebagai penari balet bernama Ulla
Paulson (Amber Heard) tidak bisa berpose menjadi modelnya, Gerda Wegener (Alicia Vikander), seorang
pelukis, meminta suaminya Einar Wegener
(Eddie Redmayne) untuk menjadi model. Untuk memenuhi permintaan istrinya
tersebut Einar harus “menjadi” wanita dengan menggunakan pakaian wanita. Hasil
lukisan Gerda dimana Einar menjadi model tersebut ternyata menperoleh
popularitas yang besar sehingga Einar terus menjadi model dalam wujud wanita.
Daya tarik Einar terhadap wanita juga tumbuh semakin besar di mana ia memakai Lili Elbe sebagai nama wanitanya. Krisis
identitas yang dialami Einar menghadirkan gejolak dalam pernikahannya dengan
Gerda.
The
Danish Girl harus diakui merupakan film yang mewah,
dari desain kostum yang menawan hingga cara ia menampilkan visual tahun 1920 di
Copenhagen juga meninggalkan impresi
yang kuat terutama pada cara nuansa memainkan cerita. Dari cara bercerita Tom Hooper juga tidak menciptakan sebuah
noda yang besar dan mengganggu, alur cerita bergerak dengan manis dari A ke B
lalu ke C dan seterusnya, dan itu dilengkapi dengan score dengan rasa “unik”
dari Alexandre Desplat. Tapi sejak
awal The Danish Girl telah mengusung
sebuah misi khusus, ia ingin menggunakan Einar dan Gerda sebagai media untuk
berbicara tentang hak-hak yang manusia miliki, dan disini isu yang digunakan
adalah gender. Di situ lemahnya film ini.
Film ini seperti Brokeback Mountain dengan level yang
satu atau mungkin dua tingkat lebih rendah. The
Danish Girl terasa terlalu aman buat saya, sebuah isu yang seharusnya bisa
dimanfaatkan untuk mengaduk-aduk emosi penonton justru digambarkan seperti
seorang ibu sedang membacakan dongeng bagi anaknya yang hendak tidur. Kasarnya,
The Danish Girl adalah film standard an tradisional yang diciptakan untuk Oscars. Banyak point yang tepat sasaran
dari film ini, seperti yang disebutkan tadi dari segi teknis dengan highlight
tentu saja penampilan dua pemeran utamanya, tapi ketika ia berjalan kamu akan
merasakan kesan predictable yang kental, dan ketika berakhir film ini juga
terasa terlalu normal.
Tidak berhasil
memberikan kesan wow yang besar, itu kesalahan terbesar The Danish Girl. Menaruh simpati pada masalah dua karakter utama
sangat mudah tapi kemudian kesulitan untuk menaruh investasi emosi pada
karakter dan konflik. Isu tentang toleransi dan kebebasan kurang tergali, The Danish Girl lebih seperti drama
tentang kasih sayang berisikan perjuangan karakter yang stagnan di titik awal
hingga akhir. Tidak buruk, tapi itu terlalu aman jika menilik label kandidat
film terbaik yang ia miliki sejak awal. The
Danish Girl seperti terbebani untuk menjadi film yang penting tentang
fluiditas gender, ia seperti takut jatuh sehingga memilih bermain aman.
Hasilnya, penceritaan dengan rutinitas yang oke namun menghasilkan punch yang
kurang memukau.
Satu-satu bagian yang
memukau dari The Danish Girl adalah
penampilan dua pemeran utamanya. Vikander menyajikan kompleksitas emosi yang
menyiksa secara menawan, sebuah performa yang cantik. Sebagai istri yang
bingung Gerda mencoba bertarung untuk dapat menerima keputusan yang diambil
oleh suaminya, dan itu ditampilkan oleh Vikander dengan lincah dan stabil. Vikander bersinar di sini, bahkan
walaupun berperan sebagai pendukung ia menghasilkan cahaya yang sama besar
dengan apa yang dihasilkan oleh Redmayne. Eddie Redmayne menghadirkan kembali performa seperti yang ia lakukan
tahun lalu, menghidupkan karakternya, membuat kamu menaruh simpati pada
perjuangan karakternya, lalu dari sudut sempit menghujam kamu dengan sensibilitas
rapuh yang menarik.
The
Danish Girl merupakan film yang menarik, tapi
selain elemen teknis bagian lain yang terasa cantik dari film ini hanya
performa dari dua pemeran utamanya. Isu yang ia bawa sebenarnya punya potensi
yang besar untuk membawa The Danish Girl
ke posisi yang tinggi namun sayangnya Tom
Hooper tidak membuat ini berlari, hanya sebatas jalan santai. Apakah karena
materi yang terlalu berat? Mungkin, saya bahkan sempat kesal karena terus
dibuat menanti kapan akan dibawa untuk “terjebak” lebih dalam bersama mimpi dan
emosi karakter. Sangat disayangkan The
Danish Girl menjadi biopic yang seperti takut melakukan kesalahan sehingga
hasilnya sebuah kisah yang oke namun kurang matang dan kurang menantang. Segmented.
Thanks to: rory pinem
0 komentar :
Post a Comment