"What is your ultimate
fantasy?"
Unsimulated
sex
dimana dua atau lebih pemeran melakukan "seks" yang tidak di simulasi, alias real
sex, sebenarnya bukan “barang baru" di dunia cinema, sebut saja seperti The Bunny Game yang mengejutkan itu
serta Stranger by the Lake yang rilis
dua tahun lalu. Oh ya, Nymphomaniac.
Namun mayoritas diantara mereka kehadirannya lebih seperti “sweeter” dimana
posisi serta perannya untuk menguatkan misi dan isi dari cerita. Gaspar Noé ingin menerapkan hal tersebut
di film terbarunya ini, Love, yang
bahkan ia sokong dengan penggunaan 3D yang terhitung cukup oke, tapi apakah itu
mampu menguatkan misi dan isi dari cerita? A
love story with hardcore sex from the producer of Blue Is the Warmest Colour.
Murphy
(Karl Glusman) punya gairah sangat tinggi terhadap film
dimana pria yang jatuh hati pada Taxi Driver itu memutuskan untuk mempelajari
dunia film di Paris. Di luar gairah yang ia punya pada film Murphy juga
merupakan “pecinta” seks, ia telah putus dari seniman bernama Electra (Aomi Muyock) yang ia pacari
selama dua tahun karena hubungannya dengan wanita lain bernama Omi (Klara Kristin) ternyata berakhir di
level yang lebih tinggi: memiliki bayi. Hubungan Murphy dan Omi sendiri tidak
harmonis, alasan mengapa Murphy bergerak cepat ketika sebuah masalah menimpa
Electra. Murphy akhirnya merasa dirinya sedang terjebak akibat gairah yang ia
miliki.
Alasan kenapa saya
membuka review ini dengan unsimulated sex karena hal itu adalah jualan utama
film ini. Jika memakai pengandaian saya senang menyebut Love sebagai sebuah film porno yang memperoleh ijin untuk tayang
dan disaksikan di bioskop. Jika kamu bukan penonton yang naif kamu pasti telah
mengerti bagaimana film porno tampil, taruh karakter kedalam masalah yang
begitu sederhana, kualitas akting jadi urusan paling belakang, berikan mereka
dialog-dialog standar yang tidak jarang terasa menggelikan, buat jalan untuk
membawa mereka menuju tempat tidur, dan selesaikan dengan seks. Begitulah film
ini tampil, kesan artsy terasa lemah, ia memberikan kamu seks, lalu seks yang
seolah berlandaskan cinta, lalu threesome, hingga seks yang terasa kental kesan
eksperimen miliknya.
Nah, yang menarik
adalah alur tadi itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru, Blue Is the Warmest Colour misalnya pernah melakukan pola yang
mirip, tapi jika Abdellatif Kechiche
membuat Blue Is the Warmest Colour punya isi disamping penggunaan adegan seks
sebagai pendamping, disini Gaspar Noé
melakukan hal sebaliknya, bahkan cerita sering tidak terasa sebagai pendamping.
Gaspar Noé ingin membuat Love sebagai
wujud dimana cinta merupakan sebuah seni tapi sejak adegan pembuka yang
mengejutkan itu hingga bagian penutup semua terasa mentah, dan celakanya itu
akan kamu dapatkan selama dua jam. Karakter dan cerita seperti di set untuk
jalan perlahan, seperti ingin membuat penonton merasakan dan membangun
imajinasi mereka, tapi dengan dasar yang lemah sulit untuk melihat tiga
karakter itu sebagai manusia yang bertarung dengan masalah.
Love
sebenarnya punya niat bagus, ingin menggambarkan bahwa suka dan duka dari cinta, tapi bagian
pembuka yang sukses besar memberikan rasa gelisah ternyata jadi satu-satunya
surprise dari film ini. Sisanya? Tidak ada ketegangan yang oke di sisi drama,
yang notabene punya peran untuk menjadikan fungsi dari adegan seks menjadi
lebih kuat. Setelah separuh durasi saya bahkan perlahan merasa kantuk dengan
drama yang stuck, dan itu terasa aneh karena isi dari materi yang Love jual
adalah seks. Ya, bagaimana bisa menyaksikan seks terasa membosankan? Love melakukan itu, memainkan warna
serta memanfaatkan gimmick 3D adegan seks yang tidak di koreografi dan beberapa
diantaranya memang oke dan seksi, tapi dampaknya mereka tidak terlihat
mengagumkan, seringkali terasa monoton, intimitas miskin.
Murphy adalah Gaspar Noé, dan Love merupakan perwujudan dari ego atau gairah yang ia miliki
terhadap seks. Ini sebenarnya bisa jadi kisah “perayaan” cinta dan membuat seks
tampak mengagumkan, tapi gagal karena yang di poles hanya adegan seks,
sedangkan disisi lain dari karakter dan cerita tidak mampu untuk memanipulasi
penonton hingga akhir. Love merupakan
drama romance mentah yang keluar dari jalur setelah melangkah dari garis start,
miskin emosi sehingga terasa monoton dan pada akhirnya bergantung sepenuhnya
pada seks yang jadi senjata utamanya. Oh ya, menarik untuk menutup dengan
persoalan ini, adegan seks di film ini bukan hanya tidak di koreografi, mereka
juga tidak palsu. Ya, mereka nyata, aktor dan aktris benar-benar melakukan seks. Super segmented.
huaaaa....rasanya pengen nangis pas buka blog rorypnm ada postingan terbaru*lebay
ReplyDeletetapi sumpah seneng bgt....kak @riringina gmn cara baca review yg di wordpress disitu byk bgt review yg pgn dibaca sblm nntn film....tolong kasih tau kak email aku nurifitri07@gmail.com *thanks😙
semangat!!! rorypnm dan terus berkarya :)
Hihi, iya nih sebulan lebih menghilang lagi karena masalah yang sama kayak summer kemarin. Maaf pass WP ngak bisa aku kasih, kesepakatan bertiga itu di buat terbatas, di share juga hanya di dua forum. Karena rencananya WP sebatas rest area, akan di bawa ke sini tapi nunggu rorypnm di blogspot sudah kembali “oke”. Paling cepat akhir tahun. :)
Deleteowhhh.....okey :) kak @riringina bisa ngk yg room sama steve jobs dipindah dulu :'( *pgn baca itu
ReplyDeletenothing special.jalan ceritanya kurang tegas . Dan hanya membuat penonton salah focus ..ya hanya fokus pd adegan seks nya bukan pd inti ceritany .but itulah kerennya film luar bebas berekspresi !
ReplyDeleteAku sedikit kasian sama tokoh cowoknya dimana dia paling cinta sama electra tapi dia sendiri gak bisa ngendalikan tingkahnya. Gak happy ending
ReplyDeleteAku udah nonton tapi kaga ngerti ceritanya..
ReplyDeleteMenurutku sih Love ini bukan film roman tipikal yg menawarkan feel drama cinta? Adegan seksnya pun bukan ditujukan utk membuatmu merasa bergairah, justru kebalikannya IMO. It's supposed to be depressing.
ReplyDeleteIni penjelasan dan review aku. Mungkin berminat hehe.
http://aisykrim.com/i-want-to-make-movies-out-of-blood-sperm-and-tears-love-2015-review/
Coba nonton film Gaspar Noe yang lain, bakal ketemu deh 'feel' yang aku maksud.
Ending nya ngeri,,pelukan ama anknya dgn tlnjang
ReplyDelete