"Growing up is not the problem, forgetting is."
Paman saya pernah
mengatakan bahwa hal terindah yang ia alami sebagai orang tua adalah ketika
melihat anaknya yang masih berusia lima tahun berlari-lari di ruang tamu dengan
mainannya. Dia juga pernah melontarkan dua hal yang salah satunya membuat saya
merasa aneh kala itu, pertama bahwa ia tidak ingin anaknya tumbuh dewasa, dan
ia ingin anaknya menikmati menjadi “anak-anak”. Dua hal itu yang jadi isu utama
dari The Little Prince, hubungan dua
arah antara dewasa dan anak-anak yang dikemas dalam bentuk animasi yang cukup
manis.
Little
Girl (Mackenzie Foy) merupakan contoh dari mayoritas anak
usia dini di jaman sekarang, jadi objek dimana orangtua mencoba mewujudkan
ambisi mereka. Ibunya (Rachel McAdams)
ingin agar Little Girl masuk sebuah sekolah ternama, Werth Academy, sehingga yang harus ia lakukan mengikuti jadwal yang
telah ibunya tetapkan. Aturan yang ketat itu suatu ketika membuat Little Girl
merasa bosan, dan rasa penasaran membawanya ke rumah tetangga baru mereka, The Aviator (Jeff Bridges). Berteman
bersama pilot tua yang ingin menghidupkan kembali pesawatnya itu seperti
pengalaman baru bagi Little Girl, ia berkenalan dengan kisah The Little Prince (Riley Osborne) yang kemudian
mengubah kehidupannya.
Saya suka dengan cara Irena Brignull dan Bob Persichetti menerjemahkan novel Antoine de Saint-Exupéry kedalam bentuk script, jadi ada cerita
didalam cerita sehingga potensi untuk stuck jika hanya mengandalkan The Little
Prince bermain dengan fantasinya jadi nol. Ada kehidupan yang menarik di
cerita karena penonton jadi punya dua dunia disini, menyaksikan Little Prince yang jadi fokus utama
mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang ia punya sembari dalam petualangan
bersama pilot misterius, dan disebelahnya ada dunia nyata berisikan gadis muda
terbakar rasa penasaran yang juga mencari jawaban atas pertanyaan. Dua dunia
ini seperti di set untuk jadi penggambaran hitam dan putih dari dunia modern
sekarang ini, mereka tidak berdiri sendiri melainkan saling menopang karena ada
koneksi yang sangat manis, pada awalnya.
Ya, sayang memang
karena hingga paruh pertama berakhir saya sudah bersiap untuk menaruh film ini
hampir sejajar dengan Inside Out yang
juga mengusung isu serupa. Di tangan Mark
Osborne film ini sebenarnya sangat cepat dan tepat membangun dasar atau
akar masalah, dan dibantu dengan visual yang merangsang lengkap dengan warna
kontras serta score simple namun tajam kamu dengan cepat akan masuk kedalam
dunia Little Girl, dan intimitas mungkin akan semakin kuat jika kamu pernah
berhadapan dengan apa yang Little Girl
alami. Lalu masalahnya? Celakanya juga berasal dari dua dunia tadi. Di awal
mereka punya koneksi yang kuat, tik-tok juga oke, tapi semakin dekat ke garis
finish mereka seperti berpisah. Cerita di paruh akhir terasa melayang seperti
Little Prince, upaya menciptakan statement tentang masyarakat modern seperti
didorong paksa.
Yang juga menyedihkan
adalah presentasi indah di babak pertama seperti tidak semua menemukan
jembatan untuk ikut pindah ke babak kedua. Persahabatan antara Little Girl dan The Aviator sedikit kehilangan sinar,
dan itu boomerang karena sejak awal dunia manusia sudah mencuri terlalu besar
rasa cinta saya pada cerita ketimbang dunia Little
Prince, yang sebenarnya jadi jualan utama disini. Sayang memang di film
yang merupakan miliknya ketika sampai di garis finish Little Prince justru terasa seperi karakter pendukung, kehadirannya
hampir saja jadi pointless. Metafora Little Prince terasa kasar, karakternya
sendiri sejak awal kesulitan untuk menebar karisma, tidak heran jika ia kalah
dibandingkan dengan Little Girl yang lebih menonjol karena dibantu masalah yang
relatable dengan penonton.
The
Little Prince (Le Petit Prince) adalah cerita tentang
bagaimana kita semua akan menjadi dewasa jika waktunya telah tiba, sehingga
tidak perlu mengorbankan masa kecil yang seperti saya sebut di awal tadi, merupakan
masa terindah yang dimiliki anak-anak dan orangtua mereka. Dengan visual yang
cantik dan pengisi suara yang impresif film ini berhasil menyampaikan hal
tersebut tapi sayangnya lebih seperti text book milik Little Girl, tidak
sebagai dongeng apalagi petualangan. The
Little Prince tidak mendorong penonton untuk coba memahami diri mereka, ia
hanya mengingatkan indahnya masa kecil. Berhasil, tapi tidak ada magic atau sihir yang sangat kuat di
bagian akhir.
0 komentar :
Post a Comment