"But if you kill him, Katniss, all those deaths, they mean something."
Sampai kapan tren
membagi bagian penutup dari sebuah film series yang jadi populer sejak
dilakukan oleh Harry Potter lima
tahun yang lalu itu akan bertahan? Dari segi finansial tentu saja bagus, lahan
jadi bertambah banyak dan lebar yang juga bisa dimanfaatkan untuk menggambarkan
cerita dan karakter menjadi lebih dalam dan detail. Tapi bagaimana jika sumber
dari bagian penutup itu pada dasarnya tidak punya materi yang gemuk, seperti
novel yang menjadi sumber The Hunger
Games: Mockingjay – Part 2 ini? Riskan.
Melihat Peeta (Josh Hutcherson) yang dicuci
otaknya oleh Capitol supaya terus memberontak dan membencinya ketika sedang
dirawat di Distrik 13, Katniss (Jennifer
Lawrence) memutuskan usaha menjatuhkan Presiden
Snow (Donald Sutherland) dari tahta harus segera dilaksanakan. Katniss
meminta Presiden Coin (Julianne Moore)
untuk terjun ke distrik-distrik dan berusaha menyebarkan usaha pemberontakan
melawan Capitol. Tujuan Katniss dan tim yang di dalamnya ada Gale (Liam Hemsworth), Finnick (Sam
Claflin), dan Cressida (Natalie
Dormer), adalah Distrik 2, titik terdekat menuju Capitol. Misi mereka hanya
satu: membunuh Snow.
Sulit memang mengatakan
bagian kedua dari film ketiga The Hunger
Games sebagai penutup yang luar biasa dashyat, apalagi kalau mengingat
hasil yang pernah diberikan oleh tiga film sebelumnya. Lantas apakah ini
mengecewakan? Tidak, tapi ibarat sedang melakukan marathon Mockingjay Part 2 ini seperti tiba-tiba saja ada bagian dari
lintasan lari yang kondisinya kurang
baik sehingga sedikit mengganggu laju lari dari para pelari. Script yang
ditulis oleh Peter Craig dan Danny Strong, serta cara sutradara Francis Lawrence mengeksekusi bagian
pembuka terhitung sangat manis, kayak ada kesan boom yang kuat dan mengingatkan
penonton pada apa yang terjadi satu tahun lalu di versi filmnya. Hal yang sama
juga terjadi di bagian karakter.
Yang jadi masalah dari The Hunger Games: Mockingjay – Part 2
adalah ia bertemu dengan kekurangan yang selalu mudah ditemukan oleh film yang
dipecah jadi beberapa bagian. Banyak yang mengatakan Mockingjay merupakan buku
terlemah dari trilogi The Hunger Games,
tidak mau memungkiri hal tersebut harus diakui bahan yang dimiliki oleh
Mockingjay memang terasa lebih simple dibandingkan dengan The Hunger Games dan Catching
Fire. Mockingjay seperti mengikuti Katniss mencoba membakar anak panahnya
dan Snow menunggu kedatangan panah dengan api yang membara kepadanya. Tentu
saja dapat dikemas menarik seandainya semua itu dikemas menjadi satu, tidak
dipecah. Itu kekurangan utama film ini, momentum pemberontakan seperti tidak
lagi bergelora. Kamu akan stick dengan perjuangan Katniss, beberapa action sequence juga harus diakui oke,
kualitas akting juga tidak tenggelam dan terasa impresif, tapi setelah semua
selesai rasa yang ia tinggalkan sedikit terlalu ringan dari seharusnya.
Tapi apakah saya pulang
dengan senyuman? Atau lebih spesifik lagi, apakah penonton yang telah membaca
novelnya akan pulang dengan senyuman? Ya. Memang akhirnya ia
menderita momentum yang jadi kurang bergelora tadi tapi pada dasarnya niat
Mockingjay dibagi jadi dua karena selain ingin memanfaatkan potensi meraup
keuntungan finansial tim dibalik produksi seperti ingin agar “proses”
pemberontakan digambarkan lebih detail. Dan itu hal termanis dari film ini.
Bagaimana Katniss diserang oleh loyalis Capitol,
The Nut, bermain-main dengan Holo,
sampai maju dengan aksi hide and catch,
momen tadi bisa saja tidak hadir jika Mockingjay
tidak di bagi dua. Keuntungan lain ada di kedalaman karakter, momen kehilangan
jadi sangat tajam rasanya, meskipun hingga bagian penutup saya terus berharap
ada twist dimana Katniss memilih pria yang lebih layak menerima cintanya.
Ada perasaan campur
aduk memang setelah selesai menyaksikan The
Hunger Games: Mockingjay – Part 2, saya bisa melepas mereka dengan perasaan
bahagia dan lega namun saya sendiri ragu apakah bagian kedua ini akan kembali
terlintas di pikiran saya beberapa tahun mendatang. Mengapa? Karena untuk
kembali ingat alur cerita Mockingjay saja
saya mengambil cara pintas dengan membaca kembali novelnya. Ya, ini adalah sebuah penutup yang manis namun jika kamu
merasa ini kurang meledak maka salahkan film pertamanya yang
sesungguhnya bisa dipangkas dan disatukan dengan bagian kedua ini. Sedari
awal The Hunger Games seperti ingin
memberikan treat kepada penonton yang telah membaca sumber ceritanya, dan
menaruh fokus pada bagaimana agar setiap point penting di novel hadir di layar.
Mereka berhasil melakukan itu dengan sangat baik. So long, Catnip!
Review yang paling bisa mewakili apa yang aku rasain. Endingnya memang kurang nendang, tapi ngerasa puas aja.
ReplyDelete