Karena kiamat belum
terjadi maka apa yang terjadi pada hari tersebut selalu menarik, selalu saja ada fantasi menarik yang bisa diciptakan
dengan memakai beberapa pertanyaan simple seperti: apa yang kamu lakukan ketika
kiamat tiba, bersama siapa kamu ketika kiamat tiba, sampai pakaian apa yang
kamu kenakan ketika kiamat tiba? Tapi ada satu hal yang menurut saya paling
menarik, dan ini yang coba Z for
Zachariah gambarkan. Seandainya kiamat telah terjadi, semua manusia telah
musnah namun bumi tidak hancur, dan ternyata
kamu menjadi satu dari beberapa manusia yang selamat, apa yang akan kamu
lakukan selanjutnya?
Setelah perang nuklir
pecah manusia kini berada diambang kepunahan dan menyisakan seorang wanita
bernama Ann Burden (Margot Robbie),
putri pendeta yang selamat karena puncak gunung tempat ia berada dikelilingi
oleh lembah misterius yang melindungi Ann dari bencana radioaktif. Suatu ketika
Ann bertemu Loomis (Chiwetel Ejiofor),
seorang kontraktor sipil yang menuai hasil dari usahanya menghindari dari
serangan radiasi. Diselimuti rasa ragu untuk saling menaruh rasa percaya
“masalah” mulai muncul diantara Ann dan Loomis, namun celakanya setelah itu
muncul Caleb (Chris Pine) diantara
mereka, seorang pengembara yang seolah mengerti cara mendapatkan apa yang ia
inginkan.
Oke, sinopsis diatas mungkin terkesan terlalu
simple dan menimbulkan pertanyaan di benak kamu: lalu Z for Zachariah ini film tentang apa? Saya sendiri sedikit kurang
yakin untuk menaruh satu label kepada film ini, setting yang ia punya tentu
akan membuat kamu memikirkan sci-fi
karena latar yang ia gunakan adalah apa yang terjadi pada manusia di ambang
kepunahan, namun teman saya menyebut ini merupakan drama dengan sedikit thriller, dan saya menariknya justru
merasa romance sebagai genre terkuat
dari film ini dengan beberapa isu menarik. Tidak seperti sinematografi dengan
gambar-gambar menarik yang mampu tampil mencolok dan mencuri perhatian
penonton, Z for Zachariah dari segi
cerita berada di zona ambigu, dan sayangnya ternyata itu pula yang ia lakukan
sejak awal hingga akhir.
Sang sutradara, Craig Zobel, merupakan sosok yang
mengendalikan Compliance, drama
thriller dengan ruang gerak yang sempit namun berhasil memutar-mutar penonton
dengan mengasyikkan. Nah, itu pula yang coba Craig Zobel lakukan disini, Z for Zachariah seperti Compliance dengan ruang yang lebih besar
serta latar yang jauh lebih mengerikan, tapi sayangnya ketika lebih luas yang
notabene juga memberikan keleluasaan kepada Craig Zobel untuk memutar-mutar
penonton mengapa Z for Zachariah
justru lebih lemah ketimbang Compliance.
Bukan berarti Z for Zachariah sebuah
kemasan yang buruk, contohnya dari alur cerita saja terasa mengalir dengan baik
hingga akhir dibantu dengan gambar-gambar yang menambah kedekatan penonton
dengan cerita dan karakter, tapi hasil akhirnya itu terasa kurang nendang.
Z
for Zachariah ibarat sedang hangout dengan tiga
sahabat di tepian danau pada malam hari, mendengarkan cerita tentang kehidupan
mereka dengan ditemani secangkir kopi atau teh hangat, ada kisah yang akan
membuat kamu bersemangat mendengarkannya tapi ada pula yang terasa menjemukan.
Bagian awal film ini sebenarnya menarik bahkan dapat dikatakan berhasil membuat
ekspektasi penontonnya naik tapi setelah babak pertama yang oke kita masuk ke
babak kedua yang terasa cukup stagnan. Script yang ditulis ulang oleh Nissar Modi dari novel karya Robert C. O'Brien itu awalnya menarik
tapi semakin jauh ia semakin terasa tipis. Ini sebenarnya bisa jadi ekplorasi
pada manusia yang terisolasi tapi Craig
Zobel menciptakan boomerang yang balik menyerangnya, ia kembali mengurung
karakter seolah ingin menggoda penonton tapi ia terjebak dalam usaha manipulasi
yang ia ciptakan sendiri ketika mencoba mencari jalan keluar.
Ketika Margot Robbie dan Chiwetel Ejiofor masih jadi dua karakter yang mengisi layar Z for Zachariah terasa oke, saya suka
suasana yang mereka ciptakan, menyaksikan pria dengan masa lalu yang misterius
mencoba membangun kepercayaan dua arah dengan wanita yang rindu akan sebuah
intimitas, tapi ketika Chris Pine
masuk, boom, semua menjadi kisah cinta segitiga yang aneh. Hubungan antara Ann
dan Loomis sebenarnya bisa jadi lebih menarik seandainya Caleb tidak datang
dan membuat motivasi masing-masing
karakter jadi samar. Z for Zachariah
terlalu berambisi untuk tampak kompleks dan itu ia lakukan dengan mencoba
memanipulasi penonton dalam dengan cerita yang bergerak lambat serta di bantu
ketegangan yang tidak semuanya bekerja dengan baik.
Saya suka babak
pertamanya, iramanya tepat dan nikmat untuk di ikuti serta tidak pernah ada
rasa monoton ketika mengamati Ann dan Loomis, tapi saya kurang suka dengan
babak kedua. Yang tidak dapat disangkal adalah Z for Zachariah punya sinematografi oke, kemudian chemistry antara Margot Robbie dan Chiwetel Ejiofor yang walaupun tidak istimewa tapi mampu membuat
Ann dan Loomis menarik, tapi masalahnya adalah mereka hidup didalam naskah yang
predictable serta tidak begitu kuat yang coba menghadirkan berbagai pertanyaan
provokatif, kemudian coba di jadikan oleh sutradara untuk tampak misterius dan
menggoda dengan urgensi yang lesu. Seperti kesan ambigu yang ia berikan saya
meninggalkan Z for Zachariah dengan
perasaan ambigu pula, ia tidak buruk tapi jelas terasa underwhelming. Kurang
nendang.
saya setuju gan. lieur saya nonton nya, gara" ada si Caleb.
ReplyDelete