Horor dari Scandinavia punya cara seperti ini untuk
menghibur penontonnya: ia akan mempermainkan kamu dengan mood dari cerita baik
itu menggunakan visual didalamnya untuk kemudian menemani masalah yang standard
namun disisi lain ia memiliki fokus yang kuat terhadap karakter utamanya
sebagai jangkar. Style tersebut digunakan oleh When Animals Dream untuk menampilkan kisah werewolf ini, menangkap
penonton dengan setting dingin, mengurung mereka bersama misteri yang menarik,
lalu perlahan memasukkan ketegangan yang oke untuk melengkapi.
Marie
(Sonia Suhl) merupakan wanita muda berusia 19 tahun
yang menghadapi masalah internal didalam hidupnya. Ayahnya, Thor (Lars Mikkelsen) dan Ibunya (Sonja Richter) sedang sakit,
satu berada dalam kondisi koma dan satu lagi menjalani aktifitasnya menggunakan
kursi roda. Tugas mengurus orangtuanya itu sebenarnya bukan merupakan masalah
yang sedang dihadapi oleh Marie. Sejak bekerja di pabrik pengolahan ikan Marie
merasakan tubuhnya banyak mengalami perubahan, seperti ada sesuatu yang
“tumbuh” didalam tubuhnya terutama pada bagian dada. Hal tersebut menemukan
jawaban karena selama ini ternyata keluarganya menyimpan sebuah rahasia aneh
yang memiliki kaitan dengan masalah Marie tadi.
Jika berbicara impresi
pertama film ini sebenarnya tidak baik, tidak menarik malah, saya datang murni
hanya dikarenakan rasa tertarik pada judul miliknya itu yang memang harus
diakui sukses membuat saya membentuk fantasi pada apa yang ingin ia ceritakan.
Ini juga dimulai dengan lambat, tapi impresi yang tidak begitu baik itu tidak
berlangsung lama karena When Animals
Dream perlahan melangkah kearah yang positif. Geraknya memang
perlahan-lahan tapi Jonas Alexander Arnby
berhasil membuat cerita bukan hanya semakin menarik tapi juga membuat penonton
semakin meningkatkan rasa waspada mereka secara bertahap, ia cerdik dalam
menciptakan citra dari karakter dan cerita dan menggunakan mereka untuk
mengurung kamu.
Iya, mengurung, dari
cahaya yang redup kemudian suasana dingin yang mungkin akan mengingatkan kamu
dengan Under the Skin, kabut
mengelilingi karakter utama yang kesepian, suasana berhasil membuat rasa
isolasi dan misteri berpadu dengan baik. Namun perpaduan tadi tidak menandakan When Animals Dream merupakan horror
misteri yang berjalan lambat, ini secara mengejutkan bahkan dapat dikatakan
terasa sangat cepat, tapi cara Arnby membuat masalah didalam cerita seperti
mengintai secara diam-diam secara efektif menjadikan gerak cerita tidak terasa
mengganggu, sama seperti cara ia memainkan ketegangan didalam cerita meskipun When Animals Dream pada akhirnya terasa
terlalu sesak.
When
Animals Dream seperti punya misi menggunakan horror
untuk menyentuh dan mempermainkan emosi penontonnya, tapi bagian terakhir tadi
terasa sedikit lemah. Mungkin Arnby punya niat lain dibalik durasi yang hanya
84 menit itu, namun materi yang When
Animals Dream sendiri sebenarnya menuntut durasi yang sedikit lebih besar
agar setiap bagian benar-benar berakhir baik. Seperti karakter misalnya, dasar
mereka oke tapi hanya Marie yang punya isi disini, meskipun untung saja Sonia
Suhl memberikan performa yang oke. Sisi rentan dan malu Marie ditampilkan
dengan baik oleh Sonia Suhl, tatapan
tajam miliknya cukup untuk membuat penonton klik dan merasakan apa yang ia
rasakan.
Sebagai sebuah film
werewolf, When Animals Dream ternyata
lebih condong untuk mencoba menggali isu terkait emosi, dan untung saja itu
didukung dengan karakter utama yang punya karakteristik menarik dan ditampilkan
dengan menarik pula oleh Sonia Suhl. When Animals Dream merupakan sebuah
horror, namun meskipun punya elemen fairytale di dalamnya ia tidak berusaha
untuk menakuti penonton dengan cara klasik dari sebuah film horror. Saya lebih
tertarik menyebut ini sebagai sebuah drama misteri yang ketika ia telah selesai
meninggalkan kesan horror yang menarik. Segmented.
0 komentar :
Post a Comment