"You are weak and greedy and selfish. And you are the root of every problem. You are why people betray one another. You are why there is nowhere safe or happy anymore. You are why depression exists."
Sebenarnya disamping
rasa kasihan, lucu, hingga takut ketika menyaksikan orang gila berkeliaran di
jalanan kita seharusnya juga punya rasa "waspada" ketika melihat
mereka. Mereka adalah contoh dari orang-orang yang gagal dalam pertempuran
dengan jiwa mereka, menghadapi serangan dari banyak arah seperti relationship hingga pekerjaan misalnya
sehingga menghasilkan tekanan yang tidak bisa mereka kendalikan dan berujung
pada rasa depresi yang melewati batas aman. Depresi adalah misteri batin yang
mengerikan, dan Queen of Earth coba
menggambarkan itu dalam sebuah pertunjukkan yang chilling dan mesmerizing.
Ini film horor tentang depresi.
Setelah ditinggal pergi
oleh ayahnya yang melakukan aksi bunuh diri, Catherine (Elisabeth Moss) memutuskan untuk mengambil waktu sejenak
untuk menenangkan diri dan memulihkan emosi dengan menuju ke sebuah rumah di
tepian danau milik sahabatnya Virginia
(Katherine Waterson) selama satu minggu. Namun ternyata usaha Catherine
untuk meraih tujuan utamanya tadi tidak mudah karena bukannya membaik keadaan
mental Catherine justru bergerak sebaliknya, masalah berasal dari hubungannya
dengan Virginia, serta tetangga sahabatnya itu, Rich (Patrick Fugit).
Sinopsis diatas
terkesan sangat sederhana, bukan? Bahkan saya merasa mengatakan bahwa tidak
banyak yang terjadi di dalam cerita yang film ini miliki bukan menjadi sebuah
spoiler yang mengganggu. Lantas apa alasan mengapa di bagian pembuka tadi saya
menyebut Queen of Earth sebagai
hiburan yang chilling dan mesmerizing? Dari cerita ia terasa
sangat simple tapi ternyata masalah yang sederhana ini jadi tempat yang begitu
nyaman bagi emosi untuk mempermainkan penontonnya, terus menyelimuti mereka
dengan kegelisahan bahkan perasaan takut yang menyenangkan dibantu dengan score yang cukup menyeramkan,
menampilkan gambaran di layar yang tampak tenang namun terus membuat kamu
waspada karena dibaliknya ada gejolak yang sedang bergerak dan siap meledak.
Iya, terasa menggelikan
sebenarnya karena di awal itu tujuan utama karakter adalah untuk relaksasi tapi
yang terjadi justru ketenangan penuh ketegangan dan rasa tidak nyaman yang
terus mencengkeram penonton dengan menarik. Danau yang indah itu menjadi latar
bagi pertarungan psikologis yang intens, memberikan thrill lewat paranoia karakter yang sejak awal telah
dilanda kesedihan untuk mulai merasa keterasingan, cemas, hingga panik, dan itu
sifatnya kumulatif karena progress mereka terus bertumbuh, dan rasa sesak
karakter yang terus dilanda curiga itu ikut dirasakan oleh penonton. Queen of Earth ini merupakan psychological thriller tapi sama seperti
yang dilakukan oleh The Gift ia
berhasil pula menciptakan rasa horror yang
mengasyikkan, dan itu hadir dari sebuah isu yang sederhana.
Queen
of Earth ini sederhana, ia adalah penggambaran dari sesuatu
yang sangat kita tidak harapkan akan bertemu dengan mereka: depresi yang
berlebihan. Saya lupa apakah dua karakter ini sering saling bertatapan satu sama lain sepanjang cerita tapi penonton dapat merasakan perang batin yang
begitu mendalam baik itu dari eksternal maupun internal karakter. Jarak yang
tumbuh diantara mereka terus di dorong oleh Alex
Ross Perry (Listen Up Philip) untuk menciptakan kesan menderita yang mendalam, lalu
memanfaatkan gerak-gerak sederhana seperti gerak kepala hingga tertawa kecil
dan tatapan kaku untuk memperdalam situasi tadi, dan itu semakin gila karena ia
sering menggunakan close-up dengan gerakan yang periodik sehingga kamu semakin
merasakan apa yang karakter rasakan.
Karakter juga jadi
salah satu kunci kuat dari nilai positif film ini, dan itu berkat penampilan
yang memikat dari dua pemeran utamanya. Katherine
Waterson berfungsi sebagai mata penonton, menyaksikan sahabatnya berhadapan
dengan kondisi buruk yang semakin mengerikan, sikap teguh, sedih, dan frustasi Virginia ditampilkan dengan rapi oleh
Waterson, bahkan penampilannya disini terasa lebih mengesankan dibanding
penampilannya di Inherent Vice. Dan
bintang utamanya adalah Elisabeth Moss,
salah satu calon kuat aktris terbaik tahun ini. Meskipun sedang punya masalah
berat Moss menjadikan Catherine tidak tampak seperti korban, ekspresi wajah
yang memikat membuat kita menaruh simpati dan empati padanya tapi semakin dekat
penonton dengan Catherine ia tampak seperti Joker versi wanita, ia tampak gila,
ia tampak mengancam, tapi kita merasa kasihan dengannya, rasa tidak nyaman yang
terasa menarik.
Queen of Earth lebih
seperti panggung teatrikal, script punya pondasi yang kuat tapi ketimbang
membebani dialog untuk bercerita Alex Ross Perry lebih memilih menjadikan Queen
of Earth sebagai pengalaman emosional dalam bentuk "pertunjukkan" penuh kejutan,
membuat kamu tertarik, terikat, dan tenggelam ketika menyaksikan karakter
menyampaikan apa yang ia rasakan lewat ekspresi yang menawan. Syarat sukses Queen of Earth sangat sederhana, ia
harus berhasil membuat penonton merasa takut mengalami depresi, dan ia sangat
berhasil. Drama? Thriller? Queen of Earth
adalah film horror yang mengganti
hantu dengan sesuatu yang tidak kalah menakutkan, rasa tertekan atau depresi
yang berlebihan. Waspadalah! Segmented.
great review :)
ReplyDelete