Mayoritas dari kamu
mungkin tahu dengan akronim YOLO (you only
live once) yang punya makna kamu harus menikmati semaksimal mungkin
kehidupan yang kamu jalani sekarang, tapi cara memahami konsep tadi sebenarnya
cukup beragam. Mereka yang hidup dengan pola easygoing akan mudah menerapkan hal tadi dengan hidup jauh dari
stress misalnya, tapi disisi lain ada juga mereka yang justru menjadi terbeban
dan seringkali pikiran milik mereka tidak hidup di present time, overthinking
dan akhirnya lelah dengan kehidupan. Itu isi dari The End of Tour, petualangan unik tentang manusia yang sederhana
tapi powerful, dan seksi.
Pada tahun 2008,
reporter Rolling Stone bernama David Lipsky (Jesse Eisenberg) mendengar
kabar bunuh diri yang dilakukan seorang penulis bernama David Foster Wallace (Jason Segel), sosok yang tidak asing bagi
Lipsky. Dua belas tahun sebelumnya, di tahun 1996, novel karya Wallace yang
berjudul Infinite Jest berhasil mencetak hit besar bahkan menjadi international
bestseller. Lipsky yang kala itu sempat pesimis dengan novel tersebut berubah
menjadi kagum setelah selesai membaca Infinite
Jest, dan dari sana pula ia meminta editor di tempat ia bekerja untuk
memberinya tugas melakukan wawancara bersama Wallace.
So, setelah sinopsis
yang kurang begitu luas tadi lalu apa sebenarnya isi film ini? The End of the Tour punya durasi sebesar
106 menit dan dalam jumlah yang sangat besar kamu akan menemukan durasi itu di
isi dengan percakapan diantara dua pria. Hanya itu? Iya, itu pula pertanyaan
yang saya punya ketika membaca premis awal film ini, sekilas terlihat sederhana
bahkan dangkal, tapi ternyata dibalik itu tersimpan sebuah petualangan unik
yang mencengkeram penonton dengan cara yang seksi. Mengapa seksi? Pertama ia
sepintas akan terasa dangkal, selanjutnya cara ia bercerita juga sangat
sederhana, tapi cerita yang berisikan perjuangan menghadapi rasa “sakit” ini
seperti membawa penonton tenggelam bersama pesona, ia menarik perhatian dengan
cara yang unik.
Kesuksesan terbaik yang
dilakukan oleh The End of the Tour
adalah ia berhasil membuat penonton bukan hanya sekedar jadi penonton yang
mengamati proses wawancara, mereka di tempatkan seolah menjadi wartawan lain di
dalam wawancara tersebut. Dan itu semakin menarik karena isu yang film ini bawa
juga sangat menarik. Semuanya ada di sosok Wallace, pria dengan bandana yang
tampak tidak tertarik dengan kehidupan di luar dunia miliknya, ia terus membuat
Lipsky dan kamu sebagai penonton merasa tertantang untuk menggali lebih dalam
masalah miliknya. Masalah Wallace juga unik, ia punya rasa sakit yang dimiliki
oleh orang-orang kreatif, memikirkan dan mempertanyakan banyak hal sehingga
jadi overthinking dan berujung pada sesuatu yang buruk, rasa lelah pada
kehidupan.
Boom, itu dia alasan mengapa The End of the Tour terasa istimewa, ternyata ini kisah tentang manusia yang berusaha menjadi
manusia dengan pertanyaan apa itu menjadi manusia. Rumit? Hebatnya tidak,
karena meskipun isinya membahas tentang proses penulisan dari sastra hingga
film, lalu melibatkan popularitas dan depresi, cara James Ponsoldt menyajikan itu semua terasa sangat santai dan
lembut, menciptakan setting yang minimalis tapi punya fokus yang begitu kuat. The End of the Tour memang terasa santai
tapi dari fokus terasa ketat dan padat, dibantu dengan score yang manis serta
sinematografi yang cantik koneksi kamu dengan karakter dan cerita akan terasa
seperti magnet, santai dan intim sehingga kamu merasa kagum tapi ketegangan
seperti terus mengintai.
Dan itu semua tumbuh
dengan natural, semua berkat script dan kinerja dua pemeran utamanya yang kuat.
Dengan mengandalkan percakapan untuk membuat cerita bergerak dialog punya peran
yang sangat penting, dan disini mereka terasa empuk. Percakapan antara Lipsky
dan Wallace terasa alami, kita punya situasi hubungan yang kompleks untuk
mengeksplorasi “kehidupan manusia” yang jadi misi utamanya tadi. Bagian ini
terasa sangat seimbang, sama seperti performa Jesse Eisenberg dan Jason
Segel. Tugas Eisenberg sebagai
pengumpan yang tampil pedas, dan itu ia jalankan dengan sangat baik. Sedangkan Jason Segel menjadi pencetak gol,
menjadikan Wallace tampak berlapis tapi tiap lapisan menarik untuk di amati. Chemistry mereka yang juga sangat
cantik menjadikan proses eksplorasi bagi penonton terus menarik.
Sebagai informasi
penutup tidak banyak yang terjadi didalam The
End of the Tour dari segi plot, kamu akan menyaksikan dua pria didalam
sebuah wawancara yang santai tapi menghasilkan hit yang oke terkait manusia.
Itu alasan mengapa saya menyebut ini sebagai petualangan unik yang seksi, ia
bercerita tentang sisi rentan dari manusia dengan presentasi yang jauh dari
kesan menyedihkan, memberikan kamu perjalanan yang santai dan intim namun
meninggalkan kamu dengan sesuatu yang begitu kuat. Setelah Smashed dan The Spectacular Now, The End of the Tour resmi
menambah panjang daftar drama simple tapi powerful dari James Ponsoldt. Segmented. For Your Consideration: Best Adapted Screenplay.
Baca premisnya juga pesimis banget deh. Tapi penasaran sama kisah hidup David Foster Wallace (sering banget dengar namanya sebagai penulis best seller) dan karna baca review ini jadi makin penasaran :D
ReplyDelete:)
DeleteBang Rory produktip banget nulis review, gw juga lumayan sering nonton (downloadan) tapi males nulisnya di blogspot gw hahaha.
ReplyDeleteYang produktif kontributor, bukan saya. :)
Deletesebelumnya saya selalu jadi silent reader nih tp saya ga pernah ketinggalan sama review2 di blog ini, 70% hampir sepemikiran hehe.
ReplyDeleteboleh saya req untuk me-review film "Me and Earl and the Dying Girl"? Thank you and keep doing good work! :)
coba kunjungi blog saya juga bro di www.gumimedia.wordpress.com, isinya tentang review film juga. (Bang Rory, sorry ya, saya izin promosi blog) hehe thanks
Delete