Pernahkah anda
menemukan orang tua atau sosok yang menjalani masa muda mereka pada 20-30 tahun
yang lalu merasa jengkel dengan kelakuan anak muda sekarang ini? Sering? Tidak
heran karena meskipun memberikan dampak positif yang begitu besar modernisasi
di berbagai sektor juga tidak luput dari dampak negatif, hal-hal yang dahulunya
tabu dan sangat penting kini di nilai sebagai sesuatu yang ringan dan jika
dilanggar masih tampak normal. Apa salah satu hal penting yang sekarang ini
tampak begitu sepele? Janji, sebuah komitmen yang kini tidak lagi tampak begitu
penting dan berarti. Film ini mencoba menggambarkan hal tersebut, The Piper: simple fairytale with sweet
impact.
Tidak lama setelah Perang Korea berakhir seorang musisi
pengembara bernama Woo-ryong (Ryu
Seung-ryong) segera berusaha untuk menjalankan misi yang ia miliki, membawa
anaknya Young-nam (Goo Seung-hyeon)
bertemu dengan kesembuhan. Sebuah tulisan di selembar kertas yang ia anggap
sebagai alamat menjadi pedoman Woo-ryong untuk menuju Seoul dan mengobati
penyakit paru-paru anaknya itu, namun menariknya ketika sampai di sebuah hutan
harapan dari pria yang masih menderita cedera di kakinya itu perlahan semakin kecil.
Ya, mereka tersesat karena lokasi tersebut ternyata tidak tercantum pada peta
yang ia miliki meskipun setelah jauh berjalan akhirnya Woo-ryong dan Young-nam
masuk kedalam sebuah desa kecil dengan lokasi yang sangat terpencil.
Setelah mendapat ijin
dari Village chief (Lee Sung-min) Woo-ryong
dan Young-nam dapat menetap sementara disana. Namun walaupun tetap aman dan
tentram penduduk desa ternyata selalu diganggu oleh kelompok tikus yang
jumlahnya semakin hari semakin bertambah. Sosok penting desa dari Village
chief, anaknya Nam-soo (Lee Joon), dan
dukun desa Mi-sook (Chun Woo-hee)
tidak menemukan solusi untuk masalah tersebut, dan mereka menawarkan imbalan
uang kepada Woo-ryong jika dapat mengatasi masalah misterius tersebut. Tapi ada
satu perintah lain dari Village chief
yang harus Woo-ryong tepati: jangan katakan kepada penduduk bahwa perang telah
berakhir.
The
Piper sebenarnya bukan sebuah kemasan yang istimewa namun
jika anda mencari sebuah film yang ketika hadir ia tampak sederhana namun
setelah kalian berpisah anda akan ditinggalkan dengan sesuatu yang terasa kuat
dan manis, maka film ini merupakan sajian yang tepat untuk di nikmati. Ini
menarik, objek yang menjadi sumber masalah awal dalam film ini adalah
tikus-tikus yang ketika ia muncul mungkin dapat membuat anda sangat terkejut
tapi The Piper ternyata tidak
sesederhana itu. Sang sutradara sekaligus penulis, Kim Gwang-tae, memang tidak memberikan modifikasi yang berarti pada
cerita Pied Piper of Hamelin yang
menjadi sumber utama cerita film ini, namun menariknya cara ia membentuk
kembali dongeng tersebut mampu meninggalkan penonton dengan sesuatu yang sederhana
dengan makna yang menarik.
The
Piper bukan sekedar pria, tikus, penduduk desa, dan
anak-anak belaka, seperti yang disinggung pada bagian pembuka tadi ini adalah
tentang komitmen, memasukkan unsur-unsur pembentuk The Pied Piper of Hamelin kedalam kombinasi drama, misteri,
romance, horror, serta kemudian disokong dengan sedikit komedi. Ya, tampak
seperti gado-gado memang namun masing-masing diantara mereka menciptakan rasa
yang menarik ketika disatukan. The Piper
tidak bergerak dengan cepat, seperti film Korea pada umumnya di beberapa titik
ia mencoba mempermainkan cerita untuk sedikit melayang sejenak sembari berusaha
memperdalam power di masing-masing elemen tadi, tapi yang menarik adalah
sesuatu yang sangat potensial untuk mengundang rasa bosan dan monoton itu
disini justru mampu terus memaku atensi penontonnya.
Sangat suka dengan cara
Kim Gwang-tae menciptakan pondasi
atmosfir atau nada dari cerita, penonton dengan mudah merasakan ada sesuatu
yang salah dan tidak normal bukan hanya dari satu atau dua namun berasal dari
banyak karakter, dan itu pula mengapa ada unsur horror didalamnya karena yang
kita saksikan adalah aktivitas sebuah desa yang normal dan penuh kedamaian.
Desa itu tidak ada didalam peta, desa itu punya masalah dengan tikus, tapi
pemimpin desa itu juga punya rahasia yang tidak boleh diketahui oleh penduduk
desanya, dari misteri sederhana itu The
Piper perlahan mulai membangun dan mempermainkan nada cerita dengan
menarik, semua tampak sederhana tapi dibaliknya eksis sesuatu yang mampu
mencengkeram penonton dengan rasa ingin tahu serta waspada.
Lantas apa kekurangan
dari The Piper? Cara ia bercerita
dengan mengandalkan kesan misterius itu menjadikan sensasi cerita punya grafik
naik dan turun, perpindahan alur juga tidak semuanya mulus, dan ini punya
potensi untuk mengganggu bagi beberapa penonton. Sebut saja ketika ia hendak
memasukkan unsur drama laju cerita menjadi sedikit kendur, begitupula dengan
romance dan komedi yang ditampilkan secara implisit itu dapat membuat beberapa
penonton menilainya sebagai sesuatu yang mentah, berlebihan, hingga canggung.
Harus diakui memang beberapa sub-plot tidak punya power yang begitu kuat tapi
bukan berarti kehadiran mereka menjadi sesuatu yang tidak berarti, romance memberikan kontribusi yang manis
bagi cerita terutama pada karakter Woo-ryong walaupun memang komedi disini
sering kali terasa off.
Tapi apakah kekurangan
tadi bersifat merusak? Tidak, seperti yang disebutkan sebelumnya meskipun
tampak tenang ketika bergerak ia terus mampu memaku atensi sehingga kesan
monoton tidak pernah hadir. Memang The
Piper menuntut rasa sabar penonton yang sedikit lebih besar ketimbang
drama-drama normal, dibantu dengan sinematografi yang manis ia merupakan sebuah
presentasi sederhana namun penuh detail yang jika anda amati dengan sabar dan
seksama akan menjadikan akhir yang juga tampak sederhana itu terasa kuat dan
emosional. Namun The Piper pada
dasarnya merupakan penggambaran tentang komitmen yang tricky, ia tidak
seutuhnya menuntun penonton melainkan mempersilahkan mereka menafsirkan sendiri
isi cerita, dan dengan cerita yang sederhana serta karakter yang terhitung
tipis itu The Piper juga punya
potensi untuk dinilai sebagai petualangan setengah matang yang terasa percuma.
Divisi akting merupakan
salah satu elemen film yang stabil sejak awal hingga akhir, disamping
presentasi atmosfir dan misteri, dan penampil terkuat adalah Ryu Seung-ryong dan Lee Sung-min, dengan Chun
Woo-hee mengikuti tepat dibelakang mereka. Ryu Seung-ryong merupakan
penggerak utama The Piper dan ia
berhasil menjadikan Woo-ryong tampak meyakinkan sebagai pahlawan baru desa
penuh masalah itu, karakterisasi Woo-ryong berhasil ia keluarkan dengan tepat
sehingga meskipun sepanjang cerita tampak ramah dibagian penutup ia juga mampu
tampak menakutkan. Lee Sung-min ada dibelakangnya, memainkan ambiguitas dengan
oke, begitupula dengan Chun Woo-hee (Han Gong-ju) yang menariknya di beberapa bagian cerita sempat mencuri posisi
utama lewat karakter sederhananya itu.
Overall, The Piper (Sonnim) adalah film yang
cukup memuaskan. Sejak awal ia tidak memasang target yang begitu tinggi
sehingga penonton juga ikut melakukan hal serupa, tapi menariknya ketika ia
telah berakhir aksi menggabungkan elemen-elemen klasik dari berbagai genre itu
berhasil mencapai potensi yang The Piper
miliki sebagai sebuah dongeng tentang komitmen yang sederhana dan efektif. Ya,
sederhana dan efektif, tidak bergerak cepat dimana terkadang ia naik tapi sempat pula turun, namun dengan menawarkan misteri yang punya daya cengkeram
oke dibalik narasi yang terkesan santai itu The
Piper berhasil memaku atensi penonton hingga akhir, dan kemudian ditutup
dengan sesuatu yang sederhana namun kuat dan manis.
0 komentar :
Post a Comment