"It’s late, darling it’s
late, the curtain descends, everything ends too soon, too soon."
Selalu menyenangkan
memang saat menyaksikan sebuah film yang mampu membuat penontonnya bukan hanya
sekedar mengamati apa yang terjadi di hadapan mereka tapi juga seolah terlibat
didalam cerita, masuk dan dikunci untuk kemudian dilepaskan kembali dengan rasa
gembira ketika film tersebut telah selesai. Christian
Petzold berhasil melakukan itu di Barbara,
dan di film terbarunya ini ia mengulang kesuksesan tersebut dengan Phoenix, sebuah drama post-Holocaust dengan power kuat yang
meninggalkan penonton dengan horror emosi dan psikologi.
Nelly
Lenz (Nina Hoss) muncul di Berlin dengan wajah
mengerikan akibat luka bakar yang ia peroleh saat Perang Dunia II. Luka yang
Nelly peroleh saat mencoba melarikan diri ketika di tangkap pada akhir tahun
1944 itu ternyata dapat di pulihkan namun dengan catatan bahwa Nelly tidak akan
mendapatkan wajah aslinya kembali, yang kemudian membuat Nelly tidak dikenali
oleh suaminya, Johnny (Ronald Zehrfeld),
yang sedang mencarinya dan berusaha mengamankan warisan Nelly. Sahabat Nelly, Lene Winter (Nina Kunzendorf),
mengatakan kondisi tersebut akan menguntungkan sahabatnya itu karena ia yakin
Nelly telah di khianati oleh Johnny demi Nazi.
Celakanya Nelly masih sangat cinta pada suaminya.
Ketika Phoenix selesai saya terus tersenyum ketika
mencoba beralih untuk melakukan aktifitas selanjutnya, bukan hanya karena
ending yang ia miliki yang membuat saya bertanya-tanya itu tapi juga karena
kecerdikan dari Christian Petzold
dalam meramu setiap bahan yang ia punya disini. Phoenix menyebut dirinya sebagai sebuah drama yang dipadukan dengan
sejarah tapi mengapa ada unsur romance, thriller, bahkan horror yang melekat
dengan lembut didalamnya? Bahkan ada momen sentimental dalam kuantitas yang
pas! Christian Petzold cemerlang, ia
pakai konflik dimana suami terpisah dengan istrinya lalu masukkan mereka
kedalam basis cerita tentang peperangan, lalu aduk mereka bersama dengan
berbagai isu sensitif lain kedalamnya.
Menyaksikan film ini
mengingatkan saya pada Ida tahun lalu, mereka pada dasarnya punya tujuan yang
sederhana lalu digambarkan juga dengan kesan atau tampilan yang sederhana,
namun dibalik kesederhanaan itu ada isu atau materi kuat yang akan menghujam
penonton dengan kuat ketika ia telah berakhir. Dari menyamar hingga manipulasi
serta hadirnya potensi pengkhianatan, penonton terus di tuntut oleh Phoenix untuk sabar dengan permainan
emosi yang ia berikan. Hal tersebut tricky karena potensi akan besar untuk jadi
monoton, tapi disini Petzold terus
membangun ketegangan dengan baik, kita dibiarkan terombang-ambing dengan
kehadiran perspektif dari karakter lalu ditemani pertanyaan-pertanyaan yang
semacam menjadi media baginya untuk menebar rasa takut kepada penonton pada apa
yang akan terjadi selanjutnya.
Tapi kembali lagi ke apa
yang saya singgung di awal tadi, walaupun terlihat kompleks pada dasarnya Phoenix ini merupakan sebuah drama
psikologis yang cenderung menggunakan permainan suasana pada hati dan emosi
untuk membawa kamu menyaksikan dua perang sekaligus. Phoenix punya dua karakter dengan dua sisi yang ambigu namun
menarik, Nelly mungkin terlihat seperti karakter utama yang harus kamu dukung
tapi disisi lain Johnny diberikan
amunisi yang oke untuk membuat penonton tertarik padanya. Nah, seorang suami
yang mencoba mengembalikan wanita yang dahulu pernah ia cintai, seorang istri
yang mencoba merebut kembali masa lalunya, dan kondisi dimana dua karakter pada
dasarnya punya masa lalu yang indah sebelum terjadinya perang semakin menambah
rumit peperangan yang tampil dengan momentum oke itu.
Hal yang membuat Phoenix menarik bukan hanya terletak
pada alur cerita tapi juga pada bagaimana cerita itu dikemas. Cinematography terasa manis, visual
kerap membantu menekankan tekanan didalam cerita, hal yang mempermudah Christian Petzold dalam memberikan nafas
pada cerita. Petzold sangat terampil dalam membakar cerita, perlahan tapi tetap
membuat kamu terpaku, ada perasaan tenang didalam cerita yang disertai pula
dengan rasa gugup. Nilai positif tadi juga banyak dibantu oleh kinerja pemeran
yang sangat oke, terutama Nina Hoss. Ronald
Zehrfeld tampil baik, Nina Kunzendorf
juga memberikan dukungan yang oke, tapi bagaimana cara Nina Hoss mengambarkan Nelly yang sedang “rusak” menjadi senjata
mematikan bagi Phoenix, wajah dan juga gerak tubuh yang ekspresif, menampilkan
berbagai emosi Nelly dengan mumpuni. One
of the best this year so far.
Kengerian dan kegilaan
dari Holocaust dipadukan dengan
sangat baik bersama drama psikologi klasik oleh Christian Petzold, pria asal Jerman ini yang sekali lagi mampu
meyakinkan penonton untuk stick bersama karakter dan cerita yang ia berikan
berkat kemampuannya dalam membuat dan mengontrol cerita dan karakter tersebut
seolah bernafas sehingga kita bukan cuma mengamati segala intrik yang ia
berikan tapi juga seolah berada disamping karakter, ikut merasakan perih,
thrill, bahkan saat-saat tenang yang horror. Phoenix menuntut atensi yang lebih besar dari penonton pada cerita, karakter, dan
emosi, sehingga bagi penonton yang Phoenix
“cari” mereka akan menilai finale tersebut seperti sebuah sesuatu yang
menghantui. Vertigo. Segmented.
Thanks to: rory pinem
pembawaan actingnya kuat walau ceritanya uman 'yaaah gitu doang yahhh
ReplyDeletetapi setuju atmosfirny kuat sekali apalagi ketika adegan baca surat dan endingnya sih yang emang klimaks ahhh