Kamu pasti pernah
menemukan kalimat dengan inti seperti berikut ini, “kita tidak hanya belajar
menjadi sosok yang lebih baik dari hal-hal positif yang kita temui, karena
hal-hal negatif juga punya power yang sama besar untuk membawa kita menjadi
individu yang lebih baik lagi.” Secara garis besar hal tersebut yang coba di
sajikan oleh The Riot Club (Posh) kepada
penontonnya, membuat kamu semakin mencintai kehidupan dengan menyaksikan para
pria yang mencintai kehidupan mereka dengan cara yang “rotten”.
Meskipun memiliki
tradisi keluarga yang baik di Oxford
University karena saudaranya yang merupakan seorang mahasiswa legendaris,
mahasiswa baru bernama Miles (Max Irons)
justru memilih untuk tidak menjadikan hal itu membatasi kehidupannya di kampus.
Bersama temannya yang bernama Alistair
(Sam Claflin), Miles justru memilih untuk bergabung dengan The Riot Club,
sebuah organisasi laki-laki yang sedang mencari anggota baru. Namun ujian
datang menghampiri Miles karena kegiatan hedonistic penuh pesta pora yang dilakukan
The Riot Club justru membawa kehidupannya
menjadi lebih buruk.
Menyaksikan The Riot Club seperti mengamati para
“penjahat” yang akan membuat kamu merasa jengkel dengan apa yang mereka lakukan
tapi disisi lain juga mampu membuat kamu tidak ingin meninggalkan mereka. Itu
yang menjadikan The Riot Club dapat
mempertahankan atensi penontonnya hingga akhir, karena dibalik aksi filthy, spoilt, dan rotten yang mereka sajikan kita juga menemukan pesona dari
karakter-karakter di dalam cerita. Terasa aneh memang karena selalu tidak mudah
menyaksikan film dengan karakter utama yang memilih menjadi loveable dengan
hal-hal negatif, meminta penonton berjalan bersama dengan mereka untuk
melakukan aksi yang akan membuat kamu merasa gusar karena sepintas seolah merayakan
berbagai tindakan buruk.
The
Riot Club memang terasa kasar, tapi disamping membuat
penonton gusar ia memiliki isu utama yang oleh Lone Scherfig cukup berhasil diolah untuk terus menarik. Hal yang
paling mengejutkan disini adalah kita akan menjumpai emosi yang terbilang oke
dari karakter, kehancuran dari pribadi yang rusak. The Riot Club juga punya
intensitas yang oke meskipun tidak bisa dikatakan istimewa, tumbuh secara
stabil dalam gerak mondar-mandir yang sukses memanipulasi penontonnya. Iya, manipulasi,
itu pula yang mungkin akan memecah film ini menjadi dua bagian, usaha untuk
memberikan kamu kisah destruktif dengan bumbu terkait moralitas disampingnya
yang mampu berdiri kokoh di pusat bersama dua karakter utama, tapi tidak
sedikit pula mereka tenggelam didalam kesan hiperbola yang membuat gusar.
Love and hate memang,
dari sinematografi terasa mumpuni, begitupula dengan kualitas akting yang
meskipun tidak luar biasa tapi sangat efektif terutama dua karakter utamanya,
tapi disisi lain ada hal yang akhirnya hanya membuat The Riot Club (Posh) sebatas menjadi film yang okay. Hal yang paling
menganggu selain konsistensinya bermain tarik dan ulur bersama penonton adalah
hal terpenting terletak di bagian akhir tapi setelah kita sampai disana jalan
menuju titik akhir tadi jadi terasa kurang bermakna. Itu yang menjadikan kesan
yang ditinggalkan oleh The Riot Club
terasa kurang kuat, ia punya pesona, ia punya isu yang menarik, ia juga tampil
berani dengan menyajikan penonton hal-hal yang membuat mereka suka dan gusar
secara bergantian, tapi ia tidak meninggalkan kesan yang istimewa dibalik
eksplorasi yang ia sajikan.
0 komentar :
Post a Comment