“Where is our daughter?”
Membentuk kembali Shakespeare's
plays kedalam tampilan baru merupakan sebuah pekerjaan yang tidak mudah
apalagi ketika ia tidak hanya dibentuk ulang namun diterjemahkan dan di
modifikasi kedalam bentuk yang sedikit berbeda. Perlu sensitifitas yang begitu
tinggi untuk dapat berhasil melakukan hal tersebut dengan baik, Kenneth Branagh berhasil melakukan itu
di Henry V dan Hamlet, Joss Whedon
dengan Much Ado About Nothing, serta Ralph Fiennes juga oke membentuk kembali
Coriolanus, meskipun disisi lain
tidak sedikit pula yang gagal atau kurang berhasil salah satunya play Romeo and Juliet, dan yang terbaru, Cymbeline.
Cymbeline (Ed Harris) merupakan seorang pemimpin
klub motor yang marah kepada putrinya Imogen
(Dakota Johnson) karena menjalin hubungan asmara dengan seorang pemain
skateboard bernama Posthumus (Penn
Badgley). Karena hal itu Posthumus dimasukkan kedalam pengasingan dimana ia
lalu bertemu dan jatuh kedalam manipulasi dari Iachimo (Ethan Hawke) yang membuat Posthumus menghubungi Pisanio
(John Leguizamo) untuk menjadi eksekutor dari sebuah rencana miliknya.
Disamping itu selain sedang terlibat sebuah perang dengan kepolisian Cymbeline
juga sedang berada dalam bahaya dari istri keduanya, Queen (Milla Jovovich), yang juga memiliki sebuah rencana buruk.
Sebenarnya tidak ada yang begitu mengganggu dari
sinopsis diatas tadi karena secara garis besar itu yang kita cari dari kisah
karya Shakespeare, beberapa masalah besar yang kemudian menyebabkan
kesalahpahaman yang perlahan menjadi besar, serius, bahkan terkadang liar dan
menggila. Itu yang membuat impresi awal Cymbeline
tampak menjanjikan karena bukan hanya jajaran cast yang ia miliki terhitung
oke, materi dasar yang ia miliki juga mumpuni, sebuah jaminan dari tampilan
penuh eksperimental dari seorang Michael
Almereyda (Hamlet) juga semakin membuat film ini tampak menjanjikan. Tapi
ternyata hal yang awalnya menjadi sebuah daya tarik tadi justru menjadi
penyebab utama mengapa Cymbeline
terasa membosankan, karena ia berekspresi terlalu liar dan lepas sehingga
menghilangkan cita rasa Shakespeare itu sendiri.
Hal yang paling menjengkelkan dari film ini ketika kamu
seperti dijanjikan sebuah pertarungan berbagai masalah yang menarik namun pada
akhirnya yang kamu peroleh adalah sebuah kekacauan yang kusut dan monoton. Cymbeline terlalu sombong dalam usaha
menjadikan kisah klasik itu tampil dengan rasa modern, ia bahkan tidak tampak
serius dan menjaga magis dari materi dasarnya, eksperimen sana sini dengan alur
yang kusut dan tidak jarang menghasilkan kesan absurd yang mengganggu. Ini
seperti menyaksikan seorang pria penggila EDM
yang menari-nari ditengah keramaian menggunakan headphone dan menghasilkan
gerakan-gerakan liar yang mengganggu orang-orang disekitarnya. Cymbeline punya momen yang menarik tapi
dengan modernisasi yang tidak cermat
jangan heran jika kamu akan menemukan saat-saat konyol yang mengundang
tawa.
Ya, tawa, padahal Cymbeline
sendiri merupakan sebuah kisah tragedi dengan masalah utama berupa kejahatan.
Tidak adanya rasa takut dalam bereksperimen menyebabkan Almereyda gagal
membangun karakter untuk dapat meraih hati penonton, hal yang sebenarnya
penting dalam rangka menciptakan intimitas sehingga kita dapat merasakan
sensitifitas dari pertunjukkan yang ia berikan. Tidak peduli seberapa ekstrim
modifikasi yang ia tampilkan salah satu tugas utama Cymbeline sebagai film yang menggunakan Shakespeare sebagai jualan utamanya adalah merangsang kita untuk
tenggelam bersama pesona yang ia miliki sembari merasakan berbagai makna
referensial yang ia bawa. Jangankan mencapai hal tersebut untuk membuat
penonton merasa tidak canggung saja dengan sajian yang mereka dapatkan film ini
gagal, dialog Bard yang kaku, narasi berbelit-belit, hingga para pemeran yang
seperti terasa sia-sia dibalik usaha keras dan tidak buruk yang mereka lakukan dalam membangun karakter, kerap stuck karena cerita dan menyisakan Dakota Johnson sebagai satu-satunya penampil yang cukup memikat.
Cymbeline seperti sebuah film yang
menganggap Shakespeare's plays
hanyalah sebuah panggung teatrikal, ia seolah tidak memikirkan isi dan apa yang
terjadi di atas panggung itu. Penuh ambisi sehingga panggung terasa penuh
sesak, ia memberikan kamu banyak isu dan konflik yang menarik namun banyak pula
dari mereka yang perlahan mati kehabisan waktu. Jangankan meninggalkan sebuah
impresi yang epik, untuk menjahit cerita menjadi satu kesatuan yang menarik
sehingga membuat penonton merasakan debaran dan intensitas dari sebuah drama Shakespeare saja film ini tidak mampu.
0 komentar :
Post a Comment