“Mankind wait for you, with hope, beyond the wall.”
Tahun lalu saya menyebut Divergent
sebagai film tentang pemberontakan yang terlalu lembut, kurang bergairah,
monoton, dan sedikit membosankan. Tidak hanya itu ia juga tidak memiliki
petualangan dalam gerak cekatan sehingga tampak seperti membangun drama dengan
bumbu adegan sci-fi dan action, ketimbang menjadi kodratnya
sebagai sebuah film sci-fi action dengan dukungan drama. Well, hal tersebut
yang kemudian meninggalkan saya speechless
ketika melangkah keluar sesaat setelah kejutan dari Naomi Watts yang berdiri dibelakang Kate Winslet. The Divergent
Series: Insurgent: when kids from Nickelodeon start a rebellion.
Setelah berhasil mencegah upaya yang dilakukan oleh Jeanine Matthews (Kate Winslet), Tris (Shailene Woodley), Caleb (Ansel
Elgort), Four (Theo James), dan Peter
(Miles Teller) kini telah berada di lingkungan Amity yang berada dibawah komando Johanna Reyes (Octavia Spencer), tempat paling aman dibalik darurat
militer yang telah aktif di reruntuhan kota Chicago.
Tapi masalahnya tidak hanya itu karena disamping mimpi buruk yang terus
menghantuinya dengan memutuskan melarikan diri Tris dan teman-temannya kini
juga menyandang status buronan dari pasukan yang dipimpin oleh Eric Coulter (Jai Courtney) yang
melakukan patroli untuk menemukan seorang Divergent.
Permintaan tersebut berasal dari Jeanine dimana ia membutuhkan seorang Divergent yang dapat menaklukkan semua
tantangan dari sebuah kotak misterius yang ia temukan di reruntuhan rumah
orangtua Tris. Jeanine sendiri sangat yakin bahwa kotak tersebut berisikan
pesan yang merupakan sebuah rahasia besar dan berharga yang dapat menolongnya
untuk memusnahkan semua Divergent,
sosok yang selama ini ia anggap sebagai sebuah ancaman yang sangat berbahaya.
Sekilas Tris memang tampak tidak memiliki masalah dengan ambisi Jeanine tadi,
tapi dengan sebuah kelicikan yang Jeanine selipkan kedalam kaum Factionless yang dipimpin oleh Evelyn Johnson-Eaton (Naomi Watts)
memaksa Tris untuk keluar dari tempat persembunyiannya.
Sesungguhnya menggambarkan apa yang diberikan oleh Insurgent sangat
mudah, cukup dengan menyebutkan Divergent
dalam kemasan yang serupa dan sedikit diperbaharui. Ceritanya tentu saja
berbeda tapi cita rasa yang di tampilkan film kedua yang berganti nahkoda
ketangan Robert Schwentke ini masih
sama saja dengan kakaknya yang hadir satu tahun lalu itu, sebuah kisah yang
bercerita tentang pemberontakan tapi kurang berhasil tampak seperti sebuah
“pemberontakan”. Hal tersebut yang menjadi induk dari berbagai nilai minus lain
yang akan anda dapatkan dari Insurgent,
bagaimana tema utama yang di film pertamanya dahulu seperti masih malu-malu
untuk maju ke posisi tertinggi kali ini bukannya semakin bergerak ke atas
justru harus semakin tenggelam. Dan ini akan terasa membosankan, Divergent adalah sahabat satu kelas
dengan The Hunger Games, dan
kewajiban utamanya adalah membuat penonton terbakar dengan semangat isu
utamanya.
So, dengan cara bermain yang masih identik dengan film pertamanya maka
jangan heran jika anda akan menemukan kata atau kalimat yang pernah anda baca
di review Divergent tahun lalu. Salah
satu penyakit Divergent yang masih
hadir di Insurgent adalah begitu miskinnya energi dan pesona di dalam cerita,
meskipun ada sedikit perubahan positif dari naskah hasil racikan Brian Duffield, Akiva Goldsman, dan Mark Bomback namun dengan eksekusi yang
masih terlalu tenang dari Schwentke termasuk editing yang kurang mumpuni justru
menjadikan Insurgent seperti sebuah
film yang sedang mencari tahu ingin menjadi seperti apa. Start yang tidak
begitu empuk dari film pertama meninggalkan Insurgent
sebuah tugas besar yang celakanya harus ia lakukan dengan materi yang terbilang
sangat tipis, baik itu dari konsep yang masih melayang-layang, rasa percaya
diri, motivasi, hingga pada karakter dan juga cerita yang tidak memberikan sebuah
pergerakan mengesankan.
Hal lain yang juga terasa menjengkelkan disini adalah Insurgent sebenarnya punya dua opsi yang
dapat ia lakukan, pertama menampilkan perubahan positif skala besar, atau
berikutnya at least menjadi sebuah
jembatan penghubung yang mampu menjaga dan kemudian mempercepat laju The Divergent Series. Namun celakanya
Insurgent tidak memilih satupun dari dua opsi tersebut sehingga hasilnya sebuah
sekuel yang stagnan di minus yang sama. Anda akan dengan sangat mudah merasakan
bahwa tidak banyak yang terjadi didalam cerita, sejak sinopsis awal hanya berputar-putar pada sebuah dilemma sederhana
dan berlarut-larut untuk kemudian di tutup dengan sebuah konklusi yang tidak
meninggalkan kesan bahwa anda semakin dekat dengan garis finish (Divergent dan Insurgent layak dijadikan
satu film, btw). Tapi ada satu hal lain yang jauh lebih mudah untuk anda
rasakan: nyawa, soul dari cerita dan juga karakter, Insurgent sangat miskin dalam hal ini.
Bukan hanya karakter Johanna,
Evelyn, bahkan Jeanine yang
menderita dalam hal pesona disini, namun juga empat karakter utama. Bagaimana
caranya sebuah pemberontakan dapat tampil mempesona jika karakter kunci yang ia
miliki justru terasa pasif bahkan kerap tampak sebagai karakter sekunder
didalam cerita. Bukan hanya intimitas yang gagal bertumbuh disini sehingga
penonton yang di film pertama gagal merasakan emosi dan pentingnya perjuangan
Tris dan teman-temannya akan mengalami hal serupa, tapi juga intensitas dari
perjuangan tersebut. Tris masih gagal menjadi ikon dan pemimpin disini, ia
seperti boneka penuh dilemma yang terombang-ambing dengan seorang pria
disampingnya yang terus membuka jalan. Shailene
Woodley memang berhasil memberikan kompleksitas yang baik pada karakter
Tris, naik satu level meskipun tidak punya impact berarti karena titik start
yang juga berada di level rendah, hal juga dialami oleh Theo
James.
Satu-satunya karakter yang cukup oke dalam membuat penonton rooting pada
aksi yang ia lakukan adalah Peter, yang diolah dengan baik oleh Miles Teller, meskipun dampak yang ia
hasilkan tidak cukup mampu menolong. Sebenarnya jika sektor divisi akting
sedikit diberi perhatian Insurgent dapat
tampil lebih baik dari pendahulunya, karena ketegangan yang ia hasilkan sering
kali jatuh akibat karakterisasi yang sangat minim dan motivasi yang lemah,
tidak punya kedalaman sehingga membuat eksistensi mereka berarti. Ada sebuah
kejutan di babak akhir dan ketika hal tersebut terjadi ada seorang penonton
yang tertawa didalam teater, dan itu cukup untuk mewakili minus tersebut. Itu
mengapa diawal saya menyebut Insurgent
sebagai sekuel yang masih meraba-raba ingin menjadi apa, ia punya beberapa
karakter yang menarik dan dipegang oleh pemeran yang berkualitas, tapi setelah
mereka ia hidupkan kemudian mereka tidak ia manfaatkan dengan tepat.
Hal pertama yang terlintas di pikiran saya ketika meninggalkan Insurgent
adalah The Host, sci-fi rilisan tahun
2013. Yay, serupa, tone masih bermain-main dengan rasa bingung ingin menjadi
sebuah sci-fi yang seperti apa, banyak makan waktu untuk komposisi cerita yang
terasa di gantung sejak awal hingga akhir dan seolah melayang-layang tanpa
tujuan yang jelas, begitupula dengan pace cerita yang tidak dinamis. Insurgent juga mampu memberikan impresi
lewat kualitas visual yang cukup mampu menggoda imajinasi di beberapa bagian
walaupun porsi gemuk yang ia miliki seperti upaya untuk mengalihkan perhatian
anda dari betapa jenuhnya cerita yang ia punya, proses menunggu yang tidak
ditemani dengan sensasi yang menyenangkan. Momentum juga jadi masalah disini,
meskipun tidak pernah terasa terputus-putus tapi alur kerap kali terasa
canggung sehingga menghasilkan sebuah aksi bercinta yang tidak terasa
bergelora.
Overall, The Divergent Series:
Insurgent adalah film yang kurang memuaskan. Tahun lalu saya optimis Insurgent dapat tampil lebih baik dari Divergent, namun setelah melihat ia
menolak untuk tampil beda dalam kuantitas yang besar dari pendahulunya maka
yang akan saya lakukan selanjutnya adalah menantikan sejauh mana series ini
akan tenggelam, karena novel Allegiant secara
tersirat juga terbagi menjadi dua part, dan bagian awal juga kurang terasa
istimewa. Minim intimitas, minim energi yang intens, alur kurang menarik dan
sering canggung tanpa motivasi dan urgensi, Insurgent adalah sebuah film
pemberontakan yang terlalu lembut serta terasa lemah dan lesu. It’s like watching a group of kids from
Nickelodeon start a rebellion.
Terlepas dari permasalahan alur cerita atau konsep, para jajaran cast menurutku tampil cukup menghibur dan profesional tentunya. Rating IMDb juga tidak terlalu buruk. Meskipun reviewers disana kebanyakan mengkritik konsep penceritaannya. Well, udah pada tahu kan kalau ini film adaptasi dari novel ?? Gue berani sumpah mereka yang bisanya cuma mengkritik tidak akan bisa membuat film ini lebih baik. Seharusnya pengkritik juga punya semacam arahan agar tampak seimbang. Ya minimal mereka Actor, Writer, atau Director. Yang jelas kita tidak tahu apa yang dipikirkan Robert Schwentke ketika mengerjakan film ini. Any Director has a style, kira-kira apa yang akan kamu katakan andaikan dulu yang menyutradarai film ini Christopher Nolan ?? Atau David Fincher mungkin ?? Tebakanku mungkin isi review lebih menjurus pada sisi positif nya.
ReplyDeleteSaat membaca empat kalimat awal dari komentar anda saya sebenarnya sudah punya gambaran respon yang tepat, tapi ketika menemukan apa yang muncul setelah empat kalimat tadi saya memutuskan untuk sebatas menerima pendapat anda. Thanks komentar dan kunjungannya Bisri. :)
DeleteSetelah nonton insurgent ini, cuma 1 hal yg ada di benak saya. Duh, 1 jam 59 menit yang sia-sia. Setuju sama om penulis film ini kaya nonton sponge bob minta naik gaji sama tuan krab. Mungkin yang menyelamatkan film ini cuma efeknya yg keren. Padahal ide cerita film ini udah cukup menarik tapi yahh apa daya sebagai penonton cuma bisa ngutruk
ReplyDelete