"Don't kill it! Tire it."
I don’t know about you guys tapi saya percaya semua agama menjadikan kasih sayang
sebagai ajaran utama yang harus diterapkan oleh semua umatnya, meskipun
faktanya tidak semua manusia mampu menyerap dan kemudian menerapkan hal
tersebut dalam kehidupan mereka. Selalu saja ada kaum atau kelompok ekstrimis
yang melakukan tindakan “kotor” dengan mengatasnamakan agama, mereka yang
selalu mudah untuk kamu nilai sebagai manusia-manusia yang menggelikan. Timbuktu mungkin tidak akan mampu
menjauhkan ataupun menghancurkan niat mereka yang ingin mencoba melakukan
tindakan ekstrimis, tapi ia berhasil menjadikan kita semakin menilai para
pelaku ekstrimis itu sebagai orang-orang yang lahir dan tumbuh dalam kebodohan. Harrowing and Heartbreaking.
Kidane (Ibrahim Ahmed, alias Pino)
merupakan pria yang bekerja sebagai gembala sapi dengan keluarga yang bahagia,
dari bermain gitar hingga mengobrol bersama istrinya Satima (Toulou Kiki) serta dua anak mereka, Toya (Layla Walet Mohamed) dan Isan
(Mehdi Ag Mohamed). Namun suatu ketika kegilaan ekstrimis yang mewarnai kota
masuk kedalam lingkungan mereka, menguasai jalanan dengan pengeras suara untuk
menyebarkan larangan-larangan dari rokok hingga sepakbola di bawah pemimpin
jihad bernama Abdelkrim (Abel Jafri).
Mungkin dari sinopsis diatas tadi kamu akan menilai film ini mencoba
memberikan penontonnya hiburan berisikan kekerasan yang ekstrim, tapi sayangnya
itu tidak terjadi secara berlebihan dan kehilangan kontrol, namun justru
menjadi alasan mengapa film ini terasa menarik. Ya, sepertinya Abderrahmane Sissako sadar bahwa isu
yang ia coba gambarkan di sini sangat sensitif dan oleh karena itu ia coba
memutar sudut pandang cerita menjadi lebih halus namun tanpa kehilangan
kemampuan pesan utamanya untuk menghujam kamu. Ketimbang menjadikan penonton
membenci karakter antagonis karena tindakan mereka dengan memasukkan kekerasan
brutal kedalam cerita disini kita justru dibuat oleh Abderrahmane Sissako agar menilai bahkan mereka adalah sosok bodoh
yang tidak mampu mencerna ajaran yang agama mereka ajarkan.
Contoh yang ia gunakan memang agama Islam namun bukan berarti di agama
lain kelompok-kelompok ekstrimis agama seperti itu tidak pernah eksis, mereka
punya tujuan utama dengan cara yang berbeda. Itu yang menjadikan Timbuktu menarik, ia tidak membuat kamu
terjebak dalam isu agama namun membawa kamu untuk mengamati humanisme secara
lebih luas tapi tetap mampu memberikan impresi bahwa yang kamu saksikan
merupakan sebuah "penyakit" yang mengerikan. Tapi tunggu dulu,
dibalik isu berat yang ia tawarkan itu secara mengejutkan film ini juga
berhasil memberikan penonton momen-momen lucu yang menggelitik. Abderrahmane
Sissako pintar menyelipkan sindiran yang menarik di cerita, ia menggunakan
beberapa ironi yang akan membuat kamu menilai karakter antagonis sebagai sosok
yang absurd, sebut saja seperti rokok
hingga Barcelona dan Real Madrid.
Kombinasi itu yang terasa memikat, ada isu kontroversial di posisi pusat
tapi tidak menjadi sebuah materi yang begitu berat untuk di nikmati. Ada
keseimbangan yang bagus dengan ditemani hal-hal cenderung ringan yang
menyegarkan. Hal-hal lucu itu belum termasuk penggunaan visual yang terasa
manis, script yang tipis terkadang sering terbantu gambar-gambar indah yang
mampu menyuntikkan emosi dan rasa mengerikan kepada penonton, sederhana namun
terasa efektif dari pilihan untuk sedikit berlama-lama. Tapi script tipis tadi
juga menjadi sumber minus film ini, yang paling terasa ketika karakter dan
cerita utama telah terbentuk ia terasa seperti berputar-putar untuk memperdalam
perspektif kita pada kebodohan yang dilakukan oleh kelompok ekstrimis tadi.
Timbuktu mungkin akan sedikit terasa seperti sebuah khotbah mungkin, seperti
mengajarkan penonton pada apa yang baik dan buruk, tapi uniknya hingga berakhir
ia tidak terasa menjengkelkan. Penyebabnya adalah kemampuan Abderrahmane Sissako dalam
menyeimbangkan materi yang ia miliki, fanatisme terhadap agama serta humanisme dalam kehidupan sosial
berhasil ia gabungkan dengan baik, tidak pernah berhenti menebar kesan
mengerikan dari tindakan ekstrim tersebut tapi disisi lain ia tidak membuat
kita membenci kaum fundamentalists yang melakukan tindakan kotor tersebut melainkan
mengasihani mereka sebagai orang-orang bodoh yang kehilangan arah. Heartbreaking and Harrowing.
aduh. komentar saya yg panjang lebar kok gak masuk ya?
ReplyDelete