"The right place to do wrong."
Salah satu kondisi
menjengkelkan dalam movie experience
adalah ketika kamu dibuat oleh film tersebut untuk berada dalam kondisi
menunggu sesuatu yang sesungguhnya tidak kamu nantikan dengan begitu antusias.
Ya, saya sangat benci dengan film yang mencoba tampil pintar dengan cara yang
tidak pintar, menjadikan penontonnya terombang-ambing bersama materi yang
perlahan tidak lagi menarik untuk di ikuti. Penyakit yang fatal itu dimiliki
oleh The Loft. What a dicky thriller.
Seorang arsitek bernama
Vincent (Karl Urban) melemparkan
sebuah ide kepada empat sahabatnya, Lukas
(Wentworth Miller), Chris (James Marsden), Marty (Eric Stonestreet), dan Philip (Matthias Schoenaerts), untuk
membagi sebuah apartemen sebagai tempat rahasia mereka. Disana mereka dapat
melakukan segala sesuatu yang tidak dapat mereka lakukan di dunia luar tanpa
batas, seperti contoh ketika masalah dengan istri dan keluarga mereka. Namun
suatu ketika sebuah peristiwa mengejutkan menjadikan tempat yang seharusnya
menjadi surga bagi lima pria itu berubah menjadi sebuah neraka, ketika seorang
gadis terbaring tak bernyawa di atas tempat tidur.
Saya bukan hanya tidak
mengerti apa yang Erik Van Looy
selaku sutradara ingin capai di sini, tapi juga Bart De Pauw dan Wesley
Strick sebagai screenwriter. Tiga pria tadi seperti tidak pernah menjadikan
narasi dan eksekusi sebagai sebuah kesatuan yang menarik di The Loft, dan semakin kacaunya adalah
karena sejak awal mereka sudah tidak mencoba menjadikan ini sebagai film yang
berdiri tunggal. Maksudnya adalah sejak awal The Loft terasa seperti thriller yang mencoba memadukan berbagai
sisi menarik dari thriller dan film dengan tema serupa menjadi satu, ketimbang
menaruh fokus pada materi yang ia miliki. Ada sedikit Hitchcock disini, lalu ada Fatal
Attraction, tapi celakanya semakin jauh kamu berjalan bersamanya ini
menjadi seperti Modern Family bersama
lima orang lelaki.
Ya, ketimbang menjadi sebuah misteri dalam ruang sempit The Loft justru tampak seperti sebuah keluarga yang di penuhi rasa bingung yang disengaja. Iya, sengaja, banyak gimmick yang celakanya sangat mudah untuk kamu nilai sebagai sesuatu yang konyol, berputar-putar dalam permainan menebak siapa tersangka dibalik peristiwa tersebut yang sesungguhnya dapat diselesaikan dengan sangat mudah terlebih dengan keputusan mereka dalam melibatkan polisi kedalam cerita. Tapi pada akhirnya The Loft justru terasa mati segan hidup tak mau, sudah dibangun dengan buruk ia terus menerus menawarkan narasi berbelit-belit yang sejak awal sudah gagal menjadikan salah satu dari lima karakter untuk mencengkeram atensi penontonnya. Itu menjengkelkan, mengikuti narasi yang mencoba tampil layaknya lima detektif sedang berupaya memecahkan masalah tapi ditemani pesona dalam kualitas yang sangat rendah.
Cukup disayangkan
memang hasil akhir yang film ini berikan mengingat para pemeran yang ia miliki
sendiri terhitung punya kualitas akting yang tidak buruk, tapi materi yang
diberikan menjadikan mereka sulit untuk meyakinkan penonton bahwa karakter
mereka punya arti yang menarik bagi cerita. Red herring jadi masalah utama di
sini, karakter seperti di set oleh Erik
Van Looy untuk terus menjauh dari logika yang mampu membawa kamu mendekat
menuju jawaban, lantas berputar-putar dalam pilihan bodoh yang ditemani dengan
dialog hambar yang tidak jarang terasa konyol sehingga akan mampu membuat kamu tertawa
atau setidaknya tersenyum geli. Tapi yang paling menjengkelkan dari film ini
adalah cara ia bercerita yang terkesan menganggap penonton sebagai sosok yang
bodoh, sosok yang tidak akan mengerti apa yang mereka saksikan tanpa diberikan
penjelasan, sesuatu yang sangat murahan jika mengingat materi yang film ini
miliki pada dasarnya tidak rumit dan sangat dangkal.
Merangkumnya dalam
sebuah kalimat sederhana, The Loft
adalah sebuah dicky thriller, sebuah thriller yang tidak tahu diri karena
dengan materi yang tidak berkualitas ia terus menerus mencoba menciptakan
situasi dimana ia tampak sebagai sosok yang berkualitas dan disisi lain
penonton sebagai sosok yang bodoh, menampilkan misteri miskin pesona yang
perlahan terasa konyol. Ibarat mentalist yang
masih amatir, film ini mencoba menghipnotis penontonnya tapi justru ia sendiri
yang terhipnotis sehingga terombang-ambing di alam bawah sadar.
Habis nonton ini..penilaian saya gak jelek2 amat kok. Plotnya sekilas hampir mirip dengan novel detektif Agatha Christie yang berjudul Pembunuhan di Orient Express. Hanya dengan motif dan ending yg berbeda. Flashback dan segala gimnick memang diperlukan dalam film semacam ini. Tujuannya ya apalagi kalo bukan untuk membingungkan penonton. Membuat penonton menebak2 siapa yg motifnya paling kuat diantara semua motif yg ada. btw, tebakan saya tepat tuh..dari awal kalo Luke lah otak semua ini. Alasannya karena dia yang paling 'bersih'. Sementara yang lainnya digambarkan secara jelek dari awal. Seperti yg sering saya baca di novel detektif. Curigalah kepada orang yang paling tidak mencurigakan. Overall saya kasih nilai 7/10
ReplyDeleteYou should watch the original one first before watching this remake.
ReplyDeleteHahaha, kalian harus nonton loft original nya yang dari belgium deh! Disitu keren banget, dari segi tokoh, alur cerita, lokasi tempat! Difilm loft yang itu, emg dapet banget suasana mencekam dan karakter para tokoh yang passs. Awalnya gue ga sengaja nonton versi belgium, baru gue nonton yang versi remake. Dan ngeliat yg versi remake, jelek bgt sumpah. Hahaha kayak aneh gitu yaa. Bagus yang versi belgium so recommended!!
ReplyDelete