"If you were mine, you wouldn't be able to sit down for a week."
Fifty
Shades of Grey is like a foreplay without climax.
Ya, mayoritas dari kamu pasti sudah tahu bahwa tema yang dibawa oleh film yang
berhasil menciptakan kehebohan dengan menjadi film R-rated dengan penjualan
tercepat dalam sejarah Fandango ini
adalah seks, apa yang ia jual adalah relationship penuh gairah membara, dan apa
yang kita harapkan sebagai penonton adalah hiburan yang mampu menggoda hingga
membakar gairah dan imajinasi kita. Jika anda merupakan salah satu penonton
yang mencintai novelnya, maka bersiaplah kecewa. Jika anda bagian dari tim yang
bahagia ketika Twilight Saga telah berakhir, maka bersiaplah untuk waspada. A
softcore porn version of Cinderella. (Warning: review contains some strong image who might be an age-inappropriate content).
Sakit yang diderita
oleh teman sekamarnya justru membawa Anastasia
"Ana" Steele (Dakota Johnson) kedalam sebuah masalah. Ana diminta
oleh temannya mewawancarai Christian Grey
(Jamie Dornan), pria berusia 27 tahun yang juga merupakan seorang miliarder
muda. Mister Grey punya aura yang mengintimidasi yang kemudian membuat Ana
menerima sebuah permintaan dari Grey setelah mereka beberapa kali bertemu
secara “sengaja”. Celakanya permintaan Grey bukan sesuatu yang biasa. Grey
meminta Ana untuk terlibat dalam sebuah hubungan seksual yang mengharuskannya
menuruti dan patuh pada Grey, meskipun perlahan Ana yang merupakan seorang
perawan mulai merasa bingung dengan segala sesuatu yang terjadi didalam
hubungan tersebut.
Menjelaskan film ini
sebenarnya sangat-sangat mudah, bahkan ia dapat diwakili oleh sebuah kalimat
yang terdiri dari beberapa kata yang saya suka dari Fifty Shades of Grey, “He was
polite. Intense. Smart. Really intimidating”. Sopan, intens, pintar, dan
sangat mengintimidasi, kamu putar makna dari masing-masing kata tadi atau
tambahkan kata tidak didepannya, maka itu yang akan kamu dapatkan dari film
ini. Ketimbang jadi hiburan yang mampu mempermainkan gairah penontonnya dibawah
kontrol Sam Taylor-Johnson film ini
justru terasa seperti satu pria dan satu wanita yang tersesat dalam hubungan
penuh melodrama. Ini seharusnya menjadi film yang membakar fantasi penonton,
membawa mereka bergembira dengan masuk kedalam berbagai imajinasi liar dari
percakapan yang menggoda hingga aksi BDSM
penuh kinky, bukannya menjadi
drama romance standard yang menyia-nyiakan materi erotis yang ia punya.
Mari mulai dengan
mengintimidasi, sesuatu yang sulit saya temukan di sini. Sam Taylor-Johnson membentuk set dingin pada cerita di awal dengan
oke tapi setelah itu ia seperti tidak mau untuk tumbuh menjadi panas. Masalah Fifty Shades of Grey tidak berhenti di
situ karena gerak cerita sendiri terasa lambat, tidak dinamis, mengalami
beberapa pengulangan yang mengganggu sehingga Ana dan Christian seperti hanya
berputar-putar di sebuah lingkaran yang kacaunya lagi eksis didalam cerita yang sejak sinopsis hingga secara keseluruhan sangat minimalis. Tidak ada ketegangan yang mengancam
seperti yang diberikan oleh sumbernya, Sam
Taylor-Johnson seperti mengandalkan suasana untuk membuat penonton merasa
gelisah tapi celakanya tidak ia sertai dengan hal penting lainnya: karakter
yang mempesona. Dari sini semua semakin kacau, sudahlah tidak intens ia juga
gagal menciptakan intimitas yang menarik untuk penonton saksikan.
Cukup kaget juga
sebenarnya karena intimitas merupakan hal utama yang menjadikan Nowhere Boy tampil menarik ditangan Sam Taylor-Johnson, dan disini ia lebih
sering berusaha mencoba berbagai cara untuk menciptakan intimitas itu,
mempertahankan materi yang gelap sambil menghadirkan upaya-upaya nakal, tapi
mayoritas dari mereka tidak bekerja dengan tepat. Dialog misalnya, ditulis
ulang oleh Kelly Marcel lebih sering menjadikan percakapan tampak menggelikan
ketimbang mengintimidasi, dan contoh lainnya adalah teknik close-up seperti
adegan seks yang tidak jarang terasa kosong. Iya, Fifty Shades of Grey terasa kosong, dan kejutan lain juga hadir
dari sini, dari durasinya yang dua jam itu adegan seks mendapatkan jatah yang
sangat minim, dan sudahlah minim banyak dari mereka berada di kualitas yang
miskin, bahkan terhitung kalah telak jika dibandingkan dengan beberapa humor
yang sukses membuat saya tertawa.
Lengkap sudah, dari
rasa mengintimidasi yang nihil, pesona karakter yang juga tidak baik, emosi dan
intimitas yang seperti sulit untuk tumbuh, lalu ada humor yang menarik
didalamnya. Ketimbang merasa tergoda dan mulai berfantasi saya lebih sering
mengernyitkan dahi karena rasa aneh yang film ini berikan. Chemistry juga jadi
masalah besar, dan sepertinya isu hubungan yang kurang harmonis antara DJ dan
JD bukan sebuah upaya membangun hype belaka. Di beberapa scene kamu dapat merasakan bahwa keduanya terasa tidak nyaman saat berinteraksi, contohnya scene bathtub. Obsesi antar karakter yang mereka mainkan juga lemah, dan secara individual
juga mereka tidak berhasil tampil menarik, Dornan gagal memberikan kita power dan control yang
dimiliki oleh Grey, sedangkan Dakota mungkin merasakan apa yang dialami oleh Kristen Stewart di Twilight, naskah dan eksekusi yang tidak mumpuni sehingga
menghalanginya untuk bersinar. Ana seharusnya menjadi puppy yang menjengkelkan
sehingga tampak menggoda, dan film ini juga seharusnya tentang bagaimana Ana
bertumbuh, bukannya justru mengamati kondisi kacau di psikologi miliknya.
Oh ya, yang terakhir
tidak sopan. Seperti yang saya sebutkan di awal tadi ini seperti foreplay yang
tidak mau membawa kamu menuju klimaks. Alasannya? Sekuel!! Ya, waspadalah. Fifty Shades of Grey meman berhasil
membuat penonton gelisah tapi bukan dengan menggoda fantasi dan imajinasi
mereka melainkan gelisah dengan kekakuan yang ia tampilkan dengan gerak
mondar-mandir yang lamban bersama dialog yang menggelikan, meskipun beberapa hal konyol bisa dibilang terasa cukup menghibur. Tidak
mengintimidasi, tidak intens, tidak pintar, dan hingga akhir ia hanya ingin
menggoda sehingga juga tidak sopan. Fifty
Shades of Grey mungkin tidak membosankan tapi ia merupakan kumpulan imajinasi yang melelahkan. Acceptable? Maybe yes. Boring? Probably. Dissapointing? Absolutely yes. A softcore porn version of Cinderella, it’s like a foreplay
without climax.
Sebagai penggemar novel dari E.L James ini, saya absolutely agree with this review!
ReplyDeleteyep....jamie terlalu manis untuk jadi Mr.grey kurang gelap,intense,misterius dan garang hahahahaha :) kak @riringina recommend film YA yg bagus dong XO
ReplyDeleteSemua perasaan saya terhadap film ini tertumpahkan dalam review ini. I mean, Twilight film yang menyek2, FSOG? Entahlah.. Chemistrynya benar2 hancur, romancenya juga gak dapet, adegan sex-nya pun payah. Saya tertawa geli ketika Ana bilang mengintimidasi.. Seriously? Kalau yang semacam itu mengintimidasi, mungkin si Ana bakal kecing berdiri kalo ketemu dr. Hannibal Lecter di Silence of The Lamb.
ReplyDelete