"As long as I'm yours, I'm alive."
Memang tidak semua
penonton akan mengalami hal ini tapi pasti ada diantara kita yang akan
mengalami perubahan pada sistem indera ketika adegan sensual hadir di layar,
contohnya seperti kissing scene hingga bed scene. Hal apa yang sering kamu
lakukan saat adegan tersebut hadir? Beragam pastinya, dari tersenyum,
memalingkan mata sampai wajah, mengatur posisi duduk, hingga yang paling
menjengkelkan ketika mendengar beberapa penonton lainnya mulai menghasikan
bunyi-bunyi seperti batuk kecil misalnya. Tapi hal paling favorit bagi saya
diantara itu semua adalah dengan meneguk air atau soft drink. Lalu apa
hubungannya dengan film ini? Tidak dalam kondisi dehidrasi The Duke of Burgundy sukses membuat saya menghabiskan satu
softdrink ukuran medium, air mineral 600ml, dan satu botol juice 360ml pada percobaan pertama. Beautiful sexotic erotica, it make Fifty Shades of Grey looks like a joke! (Warning: review contains some mild image who might be an age-inappropriate content).
Cynthia
(Sidse Babett Knudsen) merupakan wanita paruh baya dengan
rutinitas yang konsisten setiap harinya, dari ke perpustakaan, lalu seminar
hingga mempelajari serangga seperti kupu-kupu. Buku dan serangga sangat dominan
didalam rumahnya yang mewah dimana Cynthia tingal bersama seorang wanita
bernama Evelyn (Chiara D'Anna). Ada
sebuah hubungan yang aneh diantara dua wanita ini, contohnya ketika Cynthia
selalu mencoba menemukan kesalahan pada pekerjaan yang dilakukan oleh Evelyn, hingga suatu ketika Cynthia
meminta Evelyn untuk melakukan role-playing dengannya, ia menjadi penguasa dan
Evelyn menjadi budak seks. Celakanya hubungan mereka mulai goyah ketika batas
antara fantasi dan dunia nyata mulai menghadirkan rasa yang aneh.
Memang tidak bisa
dipungkiri kalau rasa puas yang diberikan oleh The Duke of Burgundy sedikit di pengaruhi oleh rasa kecewa saya
pada Fifty Shades of Grey yang
memiliki kemiripan tema bahkan sinopsis
utamanya, tapi ketika mencoba menyaksikannya untuk kedua kali saya kata keren
yang saya gunakan saat selesai menonton sebelumnya berubah menjadi luar biasa
di kesempatan kedua. Kebalikan dari Fifty
Shades of Grey, ini seperti membawa kamu kedalam foreplay, lalu menu utama hingga berakhir pada klimaks yang
meninggalkan kamu denga perasaan terpukau dan bahagia. Beginilah seharusnya
sebuah film erotis dibuat, ia tidak menjanjikan nudity yang berlebihan tapi ia
mampu membuat kamu sebagai penontonnya mulai merasakan gesekan-gesekan yang
menggairahkan bukan hanya bagi mata lewat tampilan visual tapi juga
menghadirkan hal tersebut bagi imajinasi penontonnya.
Film ini seperti anak
tangga bagi Peter Strickland untuk
melangkah naik setelah Berberian Sound
Studio dan semakin mengukuhkan diri sebagai pria unik yang mampu mengubah
hal sederhana menjadi hiburan yang menarik. Ini pada dasarnya hanyalah kisah
dua wanita yang terlibat sebuah hubungan lalu kemudian salin memeriksa satu
sama lain hingga akhirnya terjebak, tapi darisana kita justru dibawa masuk
kedalam kerumitan yang bahkan disajikan dalam alur yang dapat membuat penontonnya hanyut dan bingung. Peter Strickland sangat cerdik dalam
menyusun narasi, kita seperti diputar-putar bersama tiga hal, karakter dan
cerita yang fokus dan menarik, ada rangsangan pada imajinasi, lalu ada rasa
waspada bukan hanya terkait apa yang akan datang selanjutnya tapi juga pada
kemungkinan kehilangan arah bersama setting dingin yang ia gunakan. Tiga hal
tersebut yang membuat segalanya berputar penuh kejutan.
Iya, penuh kejutan dan
hebatnya film ini adalah ia memiliki banyak momen yang terasa adiktif, momen
yang seperti ingin kamu ulang kembali, dan akhirnya melakukan rewatch. Tapi meskipun begitu tanpa rasa
ragu saya akan mengatakan The Duke of
Burgundy sebagai film yang segmented, ia menampilkan hal-hal aneh yang bisa
saja tidak berakhir menjadi sesuatu yang menarik bagi penonton tapi sebagai
sesuatu yang menjengkelkan. Sebenarnya jika di perhatikan lebih jauh ini
merupakan film yang mudah untuk terasa seksi bagi semua penonton karena ia
tidak hanya memberikan kamu hidangan visual, dibalik itu ia punya cerita dengan
inti yang tidak kalah menarik. Sadomasochism/BDSM,
itu pusat utamanya tapi disamping itu ada isu tentang relationship yang dikupas
disini, dari kasih sayang, rasa takut dan cemas, hingga kejujuran yang
menjadikan aksi mengamati menjadi lebih berisi bukan hanya sekedar rangsangan
pada imajinasi.
Dua aktris utama
bermain dengan sangat baik, Sidse Babett
Knudsen yang akan membuat Anda bertanya-tanya pada misi utama dibalik
permainan yang mereka lakukan, begitupula dengan Chiara D'Anna yang menampilkan kelembutan yang terkendali, tapi
daya tarik utama The Duke of Burgundy adalah
bagaimana semua materi di jadikan dinamis oleh Peter Strickland. Dari daya tarik masalah dan karakter dengan
empati yang bagus di bagian awal lalu ia menciptakan fokus yang kuat, setelah
itu ia memberikan kita keintiman dan emosi yang dapat berubah dari dingin dan
panas, tapi setelah itu kita ditemani dengan kesan misterius yang mencoba
mengeksploitasi isu relationship tanpa terkesan murahan. Itu semakin lengkap
dengan gambar-gambar cantik yang memanjakan imajinasi, setting dingin yang
manis, dan menariknya ia tampil seperti bermain tarik ulur dengan penonton, ia
memberikan sesuatu yang serius tapi jangan kaget ketika kamu bertemu dengan
humor-humor (human toilet!!) yang memberikan hit dengan positioning yang unik.
Sangat pintar menggoda
indera, mungkin itu kalimat paling sederhana yang cocok buat The Duke of Burgundy. Dari setting
dingin yang menampilkan kelembutan, lalu ada elemen sedih dengan emosi yang
pas, setelah itu kita dibuat panas dengan dengan perpaduan seksi dan erotis
yang tampil gelap dan indah, dibangun bersama teknis yang manis, ia punya humor
yang membuat kamu tersenyum tapi ia tidak pernah lupa pada tujuan utamanya
untuk mengeksplorasi berbagai isu relationship dan duniawi dengan cara
mempermainkan penonton bersama fantasi ataupun imajinasi penuh thrill yang
menggairahkan tanpa terkesan berlebihan. Beautiful
and sexotic experience!
0 komentar :
Post a Comment