“Whatever we did had
some crazy ripple effects.”
Saya suka dengan film
tipikal seperti Project Almanac ini,
film yang sejak awal tidak menjadikan penontonnya untuk menaruh ekspektasi yang
tinggi, kemudian ketika ia hadir ia tidak mencoba menampilkan segala sesuatu
dengan upaya utama untuk memberi impresi agar mereka tampak pintar, film yang
bahkan tanpa malu-malu dengan berani melakukan hal-hal konyol yang akan membuat
penonton bergumam “stupid”, tapi juga merupakan film akan membuat anda bergumam
“yeah, itu hiburan yang baik” ketika ia telah berakhir terlepas dari hal-hal
minus yang baru saja ia ciptakan. Project
Almanac: process, hit and miss, but still an okay simple and stupid time-travel
adventure.
David
Raskin (Jonny Weston) merupakan seorang remaja cerdas yang
sedang mengajukan permohonan beasiswa untuk dapat masuk ke MIT, sumber dari
kedatangan sebuah amplop yang ia buka bersama adik perempuannya, Christina (Virginia Gardner), dua orang
sahabatnya Quinn Goldberg (Sam Lerner) dan
Adam Le (Allen Evangelista), serta
ibunya Kathy Raskin (Amy Landecker)
yang kala itu hendak pergi untuk menghadiri interview. Tapi ternyata isi
didalam amplop tersebut merupakan sebuah kombinasi antara baik dan buruk yang membuat David mulai mencoba
altenatif lain untuk dapat mewujudkan ambisi yang ia miliki.
Berawal dari sebuah
camcorder yang ia temukan bersama adiknya, David melihat sebuah kejanggalan
didalam video ulang tahunnya yang ketujuh hasil rekaman mendiang ayah mereka.
David menemukan sesosok aneh di cermin yang ia sinyalir merupakan pantulan dari
dirinya sendiri. Hal tersebut menuntun mereka ke sebuah gudang dimana tersimpan
sebuah kotak kecil aneh lengkap dengan beberapa blue print ciptaan ayahnya
dahulu, benda yang sangat mereka yakini merupakan sebuah mesin waktu. Ya,
terbukti memang dari hasil trial dan error benda tersebut mampu memindahkan dan
menghilangkan sebuah objek, namun tindakan ceroboh yang David lakukan terutama
terkait wanita muda bernama Jessie Pierce
(Sofia Black D'Elia) menghasilkan sebuah kekacauan dalam timeline yang
telah eksis.
Tidak serta merta
datang dengan zero expectation memang
terlebih dengan kesuksesan yang pernah dihasilkan oleh film dengan tipe yang
sama berjudul Chronicle, tapi ketika
melangkah keluar dari studio film yang sulit untuk ditampik punya banyak lubang
di berbagai bagian pada struktur yang ia miliki ini secara mengejutkan berhasil
memberikan rasa cukup puas. Ya, terasa aneh memang karena jika menilik cerita
ia tidak menawarkan sesuatu yang benar-benar special, anda bisa temukan di film
dengan tema serupa sebut saja konflik akhir terkait timeline yang mirip dengan film time travel terbaru About Time,
kemudian metode found footage yang ia
gunakan sendiri sangat kental terasa seperti sebuah upaya untuk mengikuti jejak
Chronicle, dan tidak cukup sampai di
situ karakter juga secara individual tidak punya pesona yang memukau.
Lantas apa menjadikan Project Almanac pada akhirnya berhasil menyajikan sebuah hiburan yang menarik? Simplicity dengan eksekusi yang berani, mungkin itu jawaban paling sederhana. Ada sesuatu yang menarik dari metode yang diterapkan oleh Dean Israelite pada debutnya ini, ia seperti tidak takut untuk memasukkan ide-ide liar yang ia miliki ketika melakukan eksekusi pada cerita, ia tahu ada resiko besar dari pilihan yang ia ambil namun sikap berani tersebut ternyata cukup mampu memberikan penonton sebuah cerita yang dinamis sehingga segala minus tidak jatuh kedalam level unforgivable. Kesan eksperimen sangat terasa di film ini, masukkan sebuah konflik paling klasik, karakterisasi seadanya termasuk kisah cinta yang terkesan dipaksa, kemudian bangun mereka dengan cara dokumenter yang paling klasik pula, kemudian warnai mereka dengan segala kekacauan lewat gerak cepat yang sangat mudah untuk anda nilai sebagai gimmick yang mencoba menipu.
Hasilnya? Cukup
menyenangkan. Penyebab utamanya terletak pada bagaimana fokus perlahan bergeser
dengan cukup halus, seperti ada beberapa babak dimana masing-masing dikemas
dengan efektif meskipun jika berbicara kualitas tidak semuanya berhasil tampil
memikat. Dari beasiswa di awal tadi, kemudian kita dibawa masuk kedalam proses
yang uniknya mampu meninggalkan kesan yang cukup kuat, lalu bergeser menuju
kembali ke masa lalu, dan di tutup dengan hal paling klasik lainnya, masalah
karena cinta. Ya, mereka terjalin dengan cukup baik dibalik segala kesesakan yang
Israelite ciptakan sehingga meskipun
ada lompatan didalam narasi fokus di masing-masing tetap eksis dan tidak
tenggelam dibalik aksi mondar-mandir yang cukup ketat itu. Saya sangat suka
dengan bagian proses, ketika semuanya masih dikemas dengan simple mengandalkan
impuls remaja dilengkapi aksi aneh bahkan gila mereka, bagian yang punya lelucon
hit yang cukup melimpah.
Namun dengan mengatakan
simplicity sebagai kunci kemampuan Project
Almanac memberikan sebuah hiburan yang menarik bukan berarti ia tidak
pernah mencoba untuk tampil sedikit rumit. Hal tersebut terjadi di paruh akhir,
dan ketika upaya itu muncul anda akan dengan mudah merasakan perubahan dari
rasa fun yang ia tampilkan. Ketika mencoba menjadi sedikit lebih kompleks film
ini terasa goyah, bukan dalam skala kecil namun cukup besar, narasi mulai
terasa seolah terjebak dan stuck serta mulai tampak seperti bertele-tele, dan
penyebabnya adalah kesederhanaan yang menjadi kunci kesuksesannya tadi. Babak
akhir sangat mengandalkan simpati dan empati penonton pada karakter dan masalah
yang mereka hadapi, hal yang celakanya di bagian awal seperti sudah
diperlakukan oleh Dean Israelite
seperti anak tiri. Ketika lima orang itu bersatu mereka terasa fun, teamwork
oke dan saling menyokong, namun ketika narasi mulai mengandalkan satu individu
untuk sendirian menggerakkan cerita ini mulai terasa hambar.
Benar, hambar, dan
seperti gerak cepat dari permainan kamera yang punya potensi menjadikan
penonton merasa pusing itu Project
Almanac juga dengan sangat cepat kehilangan pesona dan fun yang ia miliki
sebelumnya. Apa yang ia alami seperti remaja yang sedang pesta kemudian mabuk
dan setelah itu mulai bingung ingin menyelesaikan pesta mereka dengan cara
seperti apa. Ketika David mulai berususan dengan timeline di situ pula Project Almanac mulai keluar dari
lintasan yang sudah terbentuk dengan nyaman sejak awal, ketika kita dibawa
untuk masuk ke masalah hubungan antara obsesi dan konsekuensi dan kemudian
beralih ke cinta, mereka terasa datar, mereka tidak punya kedalaman yang mampu
menyambung hal-hal menyenangkan di awal tadi untuk menciptakan konklusi yang
lebih serius dengan punch yang kuat.
Overall, Project Almanac adalah film yang cukup
memuaskan. Ketika ia masih murni mengandalkan situasi untuk mencuri atensi
penontonnya film ini masih berhasil memberikan sebuah hiburan yang oke,
mondar-mandir gerak cepat beserta gimmick
yang dengan tepat, terlebih dengan sokongan teamwork yang mampu menutupi minus
karakter secara individu serta kesederhanaan konflik yang sedang berlangsung,
serta tidak berupaya menjadi tampak ilmiah kelas berat. Tapi sayangnya
kesederhaan itu pula yang menjadi boomerang
bagi film ini, karakterisasi yang lemah menjadikan babak akhir terasa
goyah dan kurang menarik. Hit and miss,
but still okay.
Good review. Project Almanac is a science friction and full of thrill based movie.
ReplyDeleteAku punya pertanyaan, apakah benar ayahnya david yaitu ben merupakan david sendiri?
ReplyDeleteBukan, Ayah david bikini david
Delete