"What comes first, the
chicken or the egg?"
Film yang mengusung
tema time-travel sebagai senjata utamanya selalu punya sensitifitas yang lebih
besar untuk meraih titik tertinggi atau justru berada di posisi terendah
ketimbang tema lainnya. Sebuah kesalahan kecil dapat menghasilkan dampak yang
sangat besar, materi yang pintar dapat menjadikannya tampak bodoh lewat sebuah kesalahan kecil, materi yang dangkal dapat pula menghasilkan sebuah
hiburan yang pintar jika mampu di olah dengan cermat. Film ini terjebak diantara
dua hal tadi. Predestination: just like
winning a baseball games without home run.
Seorang pria yang
dikenal dengan nickname Temporal Agent
(Ethan Hawke) sedang berupaya menjinakkan sebuah bom waktu yang telah mulai
menghitung mundur, namun celakanya menjelang menit terakhir ia mendapatkan
gangguan dari seorang teroris yang dikenal dengan sebutan Fizzle Bomber. Bom tersebut pada akhirnya meledak dan meninggalkan
bekas yang cukup parah pada wajahnya, dan dari sana ia harus menjalani operasi
wajah untuk kemudian menjalani rehabilitasi agar dapat kembali menjalankan
tugasnya, melompati timeline dengan mesin waktu berbentuk case gitar untuk
kembali berupaya menangkap Fizzle Bomber.
Tapi suatu ketika
Temporal Agent bertemu dengan seorang penulis yang menyebut dirinya The Unmarried Mother (Sarah Snook), yang
dalam waktu singkat mulai bercerita tentang kisah kelam yang ia alami hingga
harus berganti identitas dari Jane menjadi John. Sumber masalah tersebut adalah
sebuah lembaga pemerintah penuh misteri Space
Corps yang berada di bawah komando Mr.
Robertson (Noah Taylor), lembaga rahasia yang mencoba menemukan rekrutmen
baru untuk menjadi agent yang melaksanakan upaya utama mereka, memperbaki
timeline dengan melakukan perjalanan waktu untuk kemudian mencegah bahkan
merubah hal buruk yang pernah terjadi di masa lalu.
Cerdik mungkin
merupakan kata yang paling tepat untuk mewakili Predestination dibagian awal,
bagaimana ketika baru di mulai Michael
Spierig dan Peter Spierig (Spierig brothers) sukses menciptakan
sebuah masalah yang menarik untuk di ikuti, dan itu kemudian mereka lengkapi
dengan karakter yang dibangun dengan sangat sangat cermat. Bagian awal terasa
lambat memang tapi justru dibagian tersebut Predestination
benar-benar terasa menarik, usaha untuk memperluas ruang cerita dengan
menciptakan hubungan-hubungan paralel yang kala itu masih ia sembunyikan dengan
rapi berhasil terus menggoda imajinasi pada apa yang akan terjadi selanjutnya.
Perkembangan secara perlahan dibagian ini sanggup menarik minat penonton untuk
terlibat lebih jauh bersama karakter terutama pada pertanyaan ayam atau telur
itu.
Tunggu dulu, sebelum
masuk kedalam konsep ayam dan telur yang juga didampingi oleh Spierig brothers dengan konsep lain
dimana ular menggigit ekornya mari bahas terlebih dahulu konsep utama yang
mereka gunakan, konsep predestinasi. Sebenarnya bukan lagi menjadi sesuatu yang
baru di genre time-travel tapi disini konsep nasib atau destinasi telah
tercipta jauh sebelum seorang manusia tercipta disusun dengan gimmick yang
menarik. Kita punya Temporal Agent
tapi setelah itu hadir The Unmarried
Mother yang punya kaitan dengan pihak ketiga dimana pihak ketiga tersebut
ternyata juga memiliki kaitan pula dengan Temporal Agent. Tidak hanya itu
karena sebuah kejutan besar akan menanti anda di penghujung cerita, Spierig
brothers dapat dikatakan cermat dalam menciptakan set hubungan tersebut
meskipun sayangnya justru seperti sebuah karet yang mementalkan semua
kompleksitas yang telah terbangun sejak awal.
Seperti yang saya
katakan di bagian pembuka tadi film ini ibarat sebuah tim yang memenangkan
pertandingan baseball tapi tidak melakukan home run. Predestination berhasil menciptakan kerumitan untuk kemudian di
selesaikan melalui eksposisi yang seolah dikebut penuh kepanikan, tapi tidak
ada sensasi yang kuat dari konklusi yang ia hasilkan. Penyebabnya? Timing
adalah jawaban paling tepat. Cerita terlalu lama terjebak didalam lingkaran
yang sesungguhnya sudah tidak lagi mampu menjaga misteri yang ia miliki ketika
ia telah mencapai titik tengah durasi, bagian dimana sihir yang muncul di awal
telah kehilangan kekuatannya. Cerita tidak lagi sama menariknya dengan karakter
dimana obsesi untuk berputar-putar pada agent, mother, hingga Robertson terasa
berlebihan dan liar, kurang terkendali.
Minus tadi memang
bukanlah sebuah kejutan karena Predestination
sejak awal telah kurang cermat dalam menciptakan aturan main dari cerita yang
ia punya. Hubungan sebab akibat dari mesin waktu tidak eksis sehingga karakter
dapat melompat dengan bebas yang sayangnya justru menggerus rasa peduli kita
pada mereka. Tidak ada taruhan besar disini, ia juga tidak menyajikan
tikungan-tikungan kecil di sepanjang cerita yang mampu menciptakan shock
moment, semua perputaran hanya mengusung satu misi untuk memecahkan jawaban di
awal tadi, siapa yang terlebih dahulu antara ayam atau telur. Hasilnya impact
yang ia berikan tidak kuat, dari cara pengungkapan juga terkesan dangkal
sehingga inti yang tertinggal di pikiran penonton adalah sebuah aksi show-off
untuk menunjukkan ia merupakan sebuah kemasan yang pintar dan penonton berada
di posisi pihak yang bodoh, meskipun akhirnya posisi itu terbalik.
Ada beberapa cara untuk
menjadikan Predestination terasa lebih
menarik, salah satu yang paling sederhana tentu saja dengan sedikit mengurangi
fokus dalam melindungi misteri yang mudah dicerna itu karena pada dasarnya
jawaban yang ia sediakan di bagian akhir juga tidak begitu keren. Clue, clue,
dan clue, biarkan mereka terurai dengan kesan berantakan lalu tutup dengan
sebuah kesimpulan yang terasa hanya sebatas datang lalu pergi, tidak tinggal di
pikiran dan mempermainkan imajinasi untuk kemudian membuat kita berkata “wah,
keren” atau “wow, gila”. Saya bahkan tidak menemukan sebuah pesan yang kuat dan
menarik dari cerita yang di paruh kedua hadir dengan eksplorasi yang sedikit
monoton. Untung saja Ethan Hawke dan Sarah Snook tampil manis, Hawke dalam
menjaga intensitas masalah utama dan Sarah Snook dengan kerentanan yang sukses
mencuri atensi serta kesan misterius yang berperan besar dalam menjaga
kehidupan didalam cerita.
Overall,
Predestination adalah film yang cukup memuaskan.
Pendekatan minimalis yang ia gunakan akhirnya hanya menghasilkan Predestination
sensasi yang juga minimalis. Ia memberikan pertanyaan yang berhasil menarik
perhatian dan kemudian menutupnya dengan sebuah jawaban yang juga dapat
diterima, tapi diantara dua hal tadi kita dibawa masuk kedalam sebuah
eksplorasi yang cukup monoton, dan setelah itu ia tidak meninggalkan impact
lain yang lebih berarti, impact yang merubah excitement dan sensasi ketika
menonton menjadi hal menarik yang setelah itu akan tinggal dan bermain-main di dalam
memori penontonnya. Just okay. (Spoiler alert!!! Temporal Agent = The Unmarried Mother).
film ini bagus, plotnya diatur dan disusun dengan cermat walaupun pada akhirnya semua twits yg dihadirkan terjawab seiring berjalannya cerita, hanya saja masih ada yg tertinggal dari film ini sampai di akhir cerita, apa maksud dari cerita film ini? apakah film ini memang sengaja dibuat untuk meninggalkan kebingungan di kepala penonton? cerdas tpi tidak memukau
ReplyDeleteBenar, jadi terasa sebatas show off belaka, pesan terkait predestinasi juga lemah banget saat selesai. :)
Delete