"She never forgives. She never forgets. She never left."
Mudah sekali untuk
mengatakan bahwa The Woman in Black 2:
Angel of Death merupakan sekuel yang dipaksakan kehadirannya, karena film
pertamanya yang muncul dua tahun lalu pada dasarnya juga kurang berhasil
meninggalkan impresi yang kokoh. Bukan berarti ia tidak menarik tapi The Woman in Black meninggalkan materi
yang terhitung tipis untuk dilanjutkan dan celakanya dari situ pula kemunculan
masalah besar yang menyakiti film ini. Sebuah horror yang gagal tampil
menakutkan.
Guru sekolah bernama Eve Parkins (Phoebe Fox) dan Jean Hogg (Helen McCrory) melakukan
evakuasi pada siswa mereka menuju sebuah pedesaan kala London diserang diserang
Jerman pada perang dunia ke dua. Celakanya ketika telah berhasil dari kandang
harimau mereka ternyata harus masuk kedalam kandang singa, masuk kedalam Eel Marsh House, rumah yang 40 tahun
lalu memberikan pengalaman mengerikan pada Arthur
Kipps (Daniel Radcliffe), berawal dari tingkah aneh Edward (Oaklee Pendergast) hingga fenomena aneh yang berujung pada
roh jahat.
The
Woman in Black 2: Angel of Death terasa identik dengan pendahulunya dua tahun
lalu, tapi celakanya itu hanya terjadi di bagian pembuka. Sebenarnya awalan
yang diciptakan oleh Tom Harper serta
screenplay karya Jon Croker dapat
dikatakan tidak begitu buruk, cara mereka membuka masalah sebelum akhirnya
kembali menuju cara paling klasik dari sebuah film horror dengan menjebak
karakter dengan misteri sebuah bangunan terhitung cukup baik. Saya suka dengan setting awal yang mereka berikan, suasana creepy
cukup oke, karakter juga terasa menarik untuk di ikuti, tapi tidak tahu apakah mereka
bingung atau pemalas setelah bagian awal yang cukup menjanjikan itu yang saya
peroleh adalah perjalan yang monoton, menjengkelkan, membosankan, dan yang
lebih kesal adalah terkesan sok hebat.
Itu yang saya benci
dari film ini dimana ia seperti memposisikan kita sebagai penonton yang mengemis
untuk di takuti. Bukan berarti saya menuntut ia untuk tampil pintar, sesuatu
yang tidak menjadi acuan utama kenikmatan sebuah film horror, takuti saja saya
dan itu cukup. The Woman in Black: Angel
of Death tidak tampil seperti itu, seolah ingin bermain-main dan membuat
kita menanti tapi ketika “momen” itu hadir bukannya sebuah “Booo!!” mengejutkan
dan menakutkan yang saya dapatkan melainkan sebuah gothca lembek yang justru
akan membuat kamu menertawakannya. Ya, tertawa, bukan sesuatu yang taboo untuk
hadir di sebuah film horror tapi jika terlalu sering penonton tertawa ketimbang
merasa waspada akibat atmosfir yang mereka rasakan itu menandakan film horror tersebut
sudah gagal menjadi “horror”.
Dan seperti yang
disebutkan di awal tadi kalau pada dasarnya sebagai penerus film ini memang
tidak memperoleh dasar yang kuat dari pendahulunya. Tapi itu tidak bisa
dijadikan alasan dari kegagalannya karena jika mereka masih menerapkan nilai
positif dari film pertamanya disini saya rasa ia dapat berakhir di posisi yang
lebih baik. Film pertama tenang dan punya proses yang menarik di ikuti dan
sabar dalam membuka misteri, itu membuat kita terus berjalan bersamanya
meskipun cerita tidak istimewa. Film ini tidak melakukan itu, ia tidak tenang
dalam memainkan proses, ia tidak sabar dalam mengembangkan materi baik itu
drama hingga hal-hal creepy, dan hasilnya cerita yang sejak awal tidak istimewa
perlahan menjadi bahan canda penonton untuk tertawa. Itu aneh karena seperti
yang saya singgung tadi setting awal film ini sudah bagus tapi ia tidak
berhasil membuat penonton mengantisipasi apa yang kemudian akan terjadi.
Kamu masih ingat dengan
Annabelle? Ya, begitulah kira-kira
hiburan yang diberikan oleh The Woman in
Black 2: Angel of Death. Sebuah sekuel yang underwhelming, petualangan bersama narasi yang miskin urgensi, jump
scare yang bukannya menakutkan namun justru terasa norak, sebuah horror membosankan
yang tidak mampu menjalankan tugas paling sederhana dari sebuah film horror:
membuat penontonnya merasakan rasa takut di sekitar mereka. As Above, So Below; Ouija, Annabelle, sambut
dengan hangat teman baru kalian. Oh ya, coba lihat gambar terakhir di atas, kira-kira begitulah ekspresi saya sepanjang film.
0 komentar :
Post a Comment