"However bad life may seem, there is always something you can do, and succeed at."
Apakah kamu pernah
mengikuti tantangan berantai yang tahun lalu sempat membuat kehebohan bernama Ice Bucket Challenge? Banyak orang pasti
menilai itu sebagai aksi seru-seruan belaka tapi pada dasarnya tantangan
tersebut punya tujuan yang menarik, meningkatkan kepedulian kita pada Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS),
penyakit saraf yang dapat mengakibatkan disfungsi otot. Lantas apa hubungannya
dengan film ini? Sosok yang coba digambarkan The Theory of Everything adalah penderita penyakit tersebut, dan
perjuangan yang ia berikan dari akademi hingga kisah cinta menurut saya punya
power yang bukan hanya lebih kuat dalam dari sekedar menuangkan seember es
tadi, tapi juga meninggalkan kita penontonnya dengan inspirasi sederhana yang
menyenangkan.
Stephen
Hawking (Eddie Redmayne) merupakan mahasiswa pascasarjana
di Cambridge, pria kurus dan canggung
berusia 22 tahun yang punya ambisi besar dibalik sikap pemalas yang terkadang
ia tunjukkan. Hawking sedang menyusun tesis tentang studi blackhole dan asal
usul alam semesta yang hamper rampung, dan kebahagiaannya seolah hamper lengkap
ketika ia jatuh cinta pada mahasiswi kesenian bernama Jane Wilde (Felicity Jones). Tapi sayangnya rasa bahagia itu tidak
berlangsung lama karena setelah itu Hawking mendapati bahwa ia memiliki
penyakit ALS, penyakit yang melemahkan kerja otot tubuhnya.
Mungkin dikarenakan Stephen Hawking sendiri yang merupakan
salah satu sosok terkenal dan dihormati di dunia sains jadi akhirnya film ini
akan sulit untuk memuaskan banyak penontonnya. The Theory of Everything tidak berbicara secara terlalu mendalam
tentang teori ilmiah dari kosmologi hingga waktu yang akan membawa kamu
berjalan-jalan bersama mekanika kuantum hingga teori relatifitas, jualan
utamanya adalah perjuangan dari seseorang yang hidup dengan segala keterbatasan
untuk dapat sukses di dunia physics
lengkap dengan bumbu asmara. Itu yang film ini coba sajikan, dan itu indah,
pendekatan episodik yang dikemas dengan cekatan tapi tetap mengandalkan
kelembutan sehingga cerita mampu menantang dalam rasa yang halus.
Tidak bisa dipungkiri
memang kalau ini adalah hiburan yang predictable, James Marsh memakai banyak formula standard dari elemen yang coba
ia usung, dari drama paling klasik, kemudian biografi dengan usaha meninggalkan
pelajaran dari tokoh yang kita amati, komedi dalam kapasitas yang pas, hingga romance yang mengelilingi elemen-elemen
tadi dalam kelembutan yang memikat. Ya, lembut, mungkin itu kata yang dapat
saya gunakan untuk menggambarkan film ini, semua bagian dari itu yang bersifat
ilmiah sampai dengan cinta saling berpotongan dengan manis didalam screenplay karya
Anthony McCarten yang terasa aman
itu. Ada kecermelangan dari seorang Hawking
yang kita tangkap, ada sikap berani yang ia tonjolkan bergitu pula dengan Jane,
ada kegigihan yang kuat, dan yang paling menarik ia tidak mencoba memaksakan
semuanya untuk terus menerus terasa manis, keindahan juga hadir lewat tragedi.
Hal termanis dari The Theory of Everything adalah
perjuangan dua karakter yang ia jual dengan tepat meskipun memang segmented,
jika kamu klik dengannya maka kamu akan hanyut bersama permainan psikologi dan
emosi yang menarik, tapi kalau sejak awal saja tidak klik semua yang ia berikan
akan sulit bahkan saya jamin di pertengahan film kamu akan langsung menilai
film ini sebagai sebuah miss buat kamu, bukan hit. Saya suka dengan intensitas
yang diberikan oleh James Marsh dan
itu semakin menarik karena sepanjang film cerita terkesan disampaikan secara straightforward, langsung menuju sasaran
yang ia ingin sampaikan tanpa melibatkan dramatisasi yang berlebihan, jadi
banyak hal-hal menarik terutama terkait pernikahan yang tersebar didalam alur
yang lurus dan mulus itu.
Tentu saja ia menjadi
salah satu film favorit di daftar film yang saya saksikan tahun lalu, tapi
dengan begitu banyaknya film dengan kualitas yang sama dengannya sedikit sulit
untuk mengatakan The Theory of Everything
sebagai film terbaik tahun lalu, namun Eddy
Redmayne yang tampil mengagumkan serta Felicity
Jones yang sukses membawa perjuangan dan penderitaan untuk hadir sepanjang
film jelas merupakan dua aktor dengan penampilan paling memikat tahun lalu.
Bukan film yang benar-benar memukau dengan menghadirkan segala ledakan baik itu
pada cerita dan juga karakter miliknya, tapi dengan segala kelembutan yang
tajam dalam setiap pesan yang ia bawa jika kelak ada yang meminta saya untuk menyusun
film bertemakan pernikahan yang paling menarik, The Theory of Everything pasti akan menjadi salah satu bagiannya.
0 komentar :
Post a Comment