“If they offer coffee
or tea, say tea.”
A
Most Violent Year saya saksikan pada tanggal 31 desember
tahun lalu, dan ketika saya melangkah keluar saya membawa sebuah senyuman yang
sangat lebar di wajah saya yang kala itu seperti tidak mau berhenti memancarkan
kebahagiaan. Ya, bagaimana tidak karena kala itu saya baru saja mendapatkan
sebuah film yang sangat memikat untuk menutup movie experience saya di tahun
2014, sebuah drama yang mencekam dibalik ketenangan, kuat dari cerita,
eksekusi, hingga kinerja pemeran, sebuah drama bertemakan criminal yang cantik
dan indah secara bersamaan. Darn, another
very good movie from 2014.
Abel
Morales (Oscar Isaac) merupakan seorang pengusaha ambisius
yang sedang berupaya membeli sebuah fasilitas untuk memperluas kerajaan bisnis
yang ia beli dari ayah istrinya, Anna
Morales (Jessica Chastain). Namun ambisi pria imigran yang pintar bermain
dengan intrik yang ia pelajari ketika dahulu masih menjadi sopir ini mendapati
bahwa ada pihak yang hendak meruntuhkannya. Dari pembajakan truk hingga
serangkaian serangan lainnya membuka mata Abel bahwa ia kini berada dalam
sebuah peperangan dalam kompetisi bisnis yang ia jalani.
Saya tidak ingin
mengatakan kalau keberhasilan film ini memuaskan saya lebih di karenakan faktor J. C. Chandor, sutradara yang dua film
terdahulunya juga berhasil meninggalkan impressi yang kuat bagi saya, Margin Call dan All Is Lost. Sulit memang untuk meninggalkan sikap subjektif dalam
kasus seperti itu tapi walaupun harus benar-benar menilai secara objektif saya
tidak ragu untuk mengatakan bahwa A Most
Violent Year adalah salah satu film terbaik tahun lalu, dan tanpa mencoba
merendahkan kandidat lain yang juga sama kuatnya jika berbicara masalah drama
ini adalah kemasan yang paling komplit. Ya, saya lupa sudah berapa kali
mengatakan kata komplit dalam review yang saya tuliskan dan tidak etis pula
jika mengatakan ini hiburan komplit yang terbaik, namun ia berada di posisi
atas di dalam daftar film paling komplit.
Oke, mari lepas dari
masalah komplit tadi. Apa yang saya suka dari A Most Violent Year adalah ia menyediakan kita elemen-elemen
penunjang sebuah drama dalam kuantitas dan kualitas yang cantik. Ya, cantik,
dari segi cerita saja film ini bukan cuma membuat kita merasa bahwa apa yang
akan ia berikan tampak menjanjikan, tapi juga ada pesona di dalamnya sehingga
apa yang ia berikan selanjutnya akan dengan mudah menyerap kedalam pikiran
bahkan imajinasi penontonnya. Berikutnya adalah kepiawaian dari J. C. Chandor dalam mengeksekusi cerita
tadi. Bukan hanya dari cerita tapi juga hal-hal teknis di sekitarnya, dari score
sampai dengan permainan gambar, pelengkap yang sedap bagi narasi yang meskipun
berjalan lambat tetap memberikan kita setruman kecil yang menggigit. Manis,
kesan misteriusnya itu eksis tapi tanpa eksploitasi yang berlebihan, memberikan
kita ketegangan dalam ketenangan.
Itu mengapa A Most Violent Year akan meninggalkan
kesan mendalam bagi penonton yang mencintai proses, kesabaran dalam menanti
tanpa harus lupa juga untuk menikmati mereka. Ia tidak mencoba menginspirasi,
ia juga tidak membuat kita mencari-cari jawaban di dalam cerita, hanya menikmati
proses yang mengalir dengan lembut, punya energy yang kuat, mencampur action,
drama, dan thriller yang mungkin akan hit pada mereka yang sudah
terombang-ambing bersamanya sejak awal. Hypnotic
memang, seperti versi yang lebih baik lagi dari A Most Wanted Man, pusat yang kuat dengan berbagai perangkap yang
juga kuat di sekitarnya, tidak pernah mencoba tampil overdo tapi dibalik rasa
stabil yang ia berikan ia tetap mampu membuat kita penontonnya terus merasa
gregetan dengan godaan yang silih berganti hadir.
Tapi di balik segala
kelebihan tadi terasa kurang lengkap kalau tidak membahas kontribusi dari para
pemeran, terutama dua pemeran utamanya yang diberikan ruang dan sokongan
mumpuni dari J. C. Chandor untuk
berekspresi, tampil seperti mesin yang tidak pernah berhenti menghasilkan
listrik, seperti lokomotif yang pengapiannya terus menerus diisi dengan kayu. Oscar Isaac di sini seperti Llewyn Davis yang telah sukses dan telah
dewasa, terus membara tapi kali ini dilengkapi dengan karisma yang cantik. Tapi
di sampingnya Jessica Chastain juga
tampil sama baiknya, memberikan kita kejutan lewat tindakan cepat dan brutal
yang memikat, dan bersama Oscar Isaac konsisten memberikan penonton momen-momen
kuat yang menjadikan film semakin terasa kuat.
A
Most Violent Year mungkin datang paling akhir tapi bukan
berarti ia akan sulit untuk mendapatkan tempat di daftar film terbaik
yang saya tonton tahun lalu. Bukan hanya masuk namun saya yakin ini sangat
layak untuk ikut dalam pertarungan film terbaik 2014, sebuah kemasan yang
dewasa dengan fokus yang kuat, karakter dan cerita sama-sama memikat, bergerak
perlahan namun terus merayap masuk kedalam pikiran, crime dan character study
bersanding harmonis, drama dengan thrill yang cerdas, rapi, segar, menegangkan,
bersama dua penampilan akting berhasil menyajikan sebuah cerita kejahatan
dengan gabungan cita rasa klasik dan modern yang memukau.
Kalo sempat review PREDESTINATION. Bingung sama film ini .:))
ReplyDelete