"A moment she couldn't resist. An obsession he can't control."
Tidak perduli kamu pria
maupun wanita kita semua tahu satu situasi yang tidak dapat di hindari pada
tahap awal perkenalan, wanita akan terkesan jual mahal dan penuh misteri. Bukan
berarti hal tersebut berlaku secara general tapi yang saya tahu kami para
wanita senang melakukan hal tersebut untuk menambah ketertarikan para pria.
Tapi imo cara tersebut sangat tabu untuk dilakukan dalam waktu yang lama,
karena bukannya malah tertarik terlalu lama menunggu akan membuat para pria
pergi dan menjauh. Itu yang dialami film ini mencoba tampak misterius namun
celakanya menjadi sebuah erotic thriller yang memberikan penonton tawa negatif.
The Boy Next Door, from the producer who
brought you Whiplash.
Claire
Peterson (Jennifer Lopez) sedang berada di dalam sebuah
dilema dimana ia menemukan suaminya telah berselingkuh namun disisi lain ia
ingin tetap menjaga keutuhan keluarganya. Kondisi tersebut membuat Claire
berniat untuk kembali membakar gelora asmaranya, tapi celakanya ia lakukan pada
orang yang salah. Pada suatu malam ketika suami dan anaknya sedang pergi
berkemah melalui jendela wanita kesepian itu menemukan kembali gairah asmaranya
pada pria bernama Noah Sandborn (Ryan
Guzman), anak laki-laki berusia 19 tahun.
Yeah, ini awal tahun
dimana disamping kita akan menemukan film-film awards season yang mulai di
rilis setelah kampanye ketat di akhir tahun kita juga akan menemukan banyak
film yang rilis dikarenakan rasa percaya diri studio pada mereka untuk berhasil
meraih kesuksesan box-office juga sangat rendah. The Boy Next Door adalah salah satu bagiannya yang mungkin akan
sangat sulit saya lupakan, sebuah film yang pada dasarnya mencoba untuk menjadi
sebuah thriller erotis layaknya Basic
Instinct namun harus jatuh sangat dalam. Ini bukan hanya B-film, ia berada
di grade yang jauh lebih rendah dari itu, sebuah film yang mampu memberikan
awalan yang bagus namun tidak lama sejak ia dimulai penonton hanya mendapatkan
sesuatu yang off, off, dan off hingga akhir.
Hal utama yang saya
benci dari film ini adalah upaya ia untuk tampak misterius, memaksakan hal
tersebut meskipun Rob Cohen sudah
tahu bahwa cerita yang ditulis oleh Barbara
Curry sudah sangat miskin daya tarik. Dari karakter saja mereka sudah dibangun
dengan sangat tidak meyakinkan, terkesan asal jadi padahal kesuksesan cerita
sangat bergantung pada sukses atau tidaknya dua karakter utama “mempermainkan”
penontonnya. Obsesi disertai mabuk cinta tidak ada disini, segala sesuatu yang
mereka set untuk tampak menggairahkan juga berakhir datar, dan bahkan tidak
sedikit yang terasa konyol dan saya jamin akan mampu membuat kamu bukan hanya
tersenyum namun juga tertawa geli dengan kekonyolan mereka, baik itu dari
cerita, dialog konyol, hingga bagaimana mereka menjual sisi erotis karakter.
Tidak semua film bodoh
gagal untuk menjadi sebuah film yang menghibur, tapi tidak sedikit pula film
bodoh yang tetap berakhir bodoh dan tidak menghibur. The Boy Next Door menjadi bagian dari film bodoh yang gagal
menghibur, dengan cerita yang bergerak lambat dia ajak untuk menyaksikan wanita
yang dipenuhi dengan gairah tapi tetap saja bertingkah jual mahal seolah ia
seorang wanita yang suci, tarik ulur yang bukannya tampak menarik tapi
memberikan rasa frustasi pada penonton. Masalah tidak berhenti di situ karena
sejak awal hingga ketika ia berakhir kamu akan merasakan bahwa The Boy Next Door terus berupaya untuk
menyajikan konflik yang ia miliki agar dapat terasa serius, dan yang
menjengkelkan adalah eksekusi yang Rob
Cohen justru jauh dari kesan serius, ia seperti mengambil cara paling
mudah, sinopsis yang terkesan seadanya, karakterisasi buruk, dan taruh mereka
di pundak Jennifer Lopez untuk dapat
mempermainkan imajinasi penonton, yang celakanya gagal total.
Dengan segala kekurangan
tadi sangat sulit bagi saya untuk merekomendasikan The Boy Next Door karena meskipun durasinya sendiri hanya 91 menit
tapi saya mereka menyesal sudah menghabiskan waktu yang terhitung singkat itu
bersama hiburan konyol seperti ini, hiburan yang membuat saya menderita. Ia
memang punya beberapa bagian yang mungkin akan mampu membuat kamu tertawa geli,
ia juga mungkin dapat terasa worthed jika sejak awal kamu hanya datang untuk
menyaksikan Jennifer Lopez atau Ryan Guzman, namun
selain itu I’ll say no.
0 komentar :
Post a Comment