"He loves his family, but he has a lot of enemies."
Bryan
Mills merupakan pria dengan dua sosok yang ia cintai,
seorang mantan istri dan seorang anak perempuan. Di film pertama ia menelusuri
kota Paris untuk menemukan anak
perempuannya yang di culik, di film kedua giliran mantan istrinya yang kini
menghilang di kepadatan kota Istanbul.
Nah, yang kemudian sedikit membingungkan adalah dengan konsep yang sama di dua
film sebelumnya siapa lagi yang akan menghilang di film ketiganya ini? Siapa
lagi yang akan Bryan coba selamatkan dengan genggaman pistol di tangannya?
Uniknya ternyata rasa bingung itu juga dimiliki oleh film ini. Taken 3, trying to look thoughtful but ends
dull, an impotent superdad goodbye.
Lenore
Mills (Famke Janssen) ternyata masih belum bisa lepas dari
ketergantungan kepada mantan suaminya, Bryan
Mills (Liam Neeson), dan itu terbukti ketika ia memiliki sebuah masalah
wanita dengan nama panggilan Lenny itu memilih untuk datang dan bercerita
kepada Bryan. Lenny memiliki masalah dengan suaminya kini, Stuart St. John (Dougray Scott), pernikahan yang ia sebut tidak
lagi memberikannya semangat untuk dijalani bersama. Mengerti akan masalah yang
dialami mantan istrinya Bryan kemudian memberikan kunci rumah yang akan ia
tinggalkan selama beberapa hari kedepan sebagai antisipasi jika Lenny
memerlukan tempat untuk menyendiri. Namun Stuart menilai berbeda kedekatan
diantara Bryan dan Lenny.
Stuart meminta agar
Bryan menjauhi Lenny sebagai upaya membantu agar pernikahannya kini dapat
kembali pulih, permintaan yang keesokan harinya kembali bersambung dan kali ini
berasal dari Lenny yang ingin bertemu dengan Bryan. Anehnya adalah Lenny yang
meminta Bryan untuk membeli beberapa roti untuk mereka santap justru telah
terbaring lemah di atas tempat tidur ketika Bryan tiba di rumahnya. Hal
tersebut menjadikan emosi Bryan meledak dan memberontak ketika polisi hendak
menangkapnya, melarikan diri untuk menemukan pelaku serta menyelamatkan satu
lagi sosok yang sangat ia cintai Kim
Mills (Maggie Grace) meskipun harus berhadapan dengan Inspector Franck Dotzler (Forest Whitaker) beserta tim miliknya.
Upaya untuk menjadikan Taken 3 berbeda dari dua pendahulunya
pada dasarnya patut untuk di apresiasi, ya setidaknya ada niat untuk memberikan
sedikit penyegaran dari konsep menghilang lalu search and rescue yang telah
identik dengan Taken. Tapi yang menjadi masalah disini adalah Taken 3 tidak melakukan itu dalam
kuantitas yang sedikit dimana ia menciptakan perubahan yang cukup besar, cukup
signifikan, yang kemudian menghasilkan boomerang bagi film ini yang faktanya
cukup menyakitkan. Kita tahu bagaimana Taken
berjalan, kita tahu apa yang menjadi jualan utamanya dan bagaimana cara ia
menjual daya tariknya, namun hal-hal yang sekalipun tetap bermain aman namun
jika di modifikasi dengan tepat dapat memberikan sebuah penyegaran itu
menghilang dari film ini, sebuah finale yang seharusnya menjadi sebuah puncak
namun celakanya justru tampak seperti sebuah film yang terpisah dari pendahulunya.
Segala upaya klise pada
premis dasar cerita mungkin tidak perlu di bahas lebih jauh terlebih jika anda
sudah mengerti bagaimana cara Luc Besson
menciptakan konflik, tapi bagaimana cerita tadi dikembangkan itu yang
menjengkelkan. Ibarat jalan raya Taken memberikan kita tikungan dengan sudut
yang sangat tajam tepat di titik terdalam turunan, setelah kita turun dengan
cepat dari puncak dan harus berbelok dengan tajam untuk kemudian kembali
berusaha melakukan pendakian. Melelahkan. Perubahan yang radikal menjadikan
film ini sulit untuk dinikmati, dan semakin kacau karena ia sendiri dengan
berani seperti menghapus identitas ikonik yang selama ini ia miliki dan
menggantinya untuk menjadi sebuah penutup bersahaja. Salah? Tidak, jika di olah
dengan tepat, tidak asal berantakan seperti yang dihasilkan Olivier Megaton berserta timnya,
terkesan asal tempel dengan kesuksesan bergantung pada keberhasilan gimmick.
Ya, banyak sekali
gimmick disini, dan tidak dapat dipungkiri beberapa dari mereka mungkin akan
berhasil mengelabui perhatian dan membuat anda tertarik pada mereka. Sebut saja
sebagai pembuka gerak kamera yang menampilkan pergeseran sangat cepat dari satu
bagian ke bagian lain pada aksi pengejaran Bryan di tahap awal itu, ia
berpotensi terlihat keren padahal itu merupakan aksi licik dari editing untuk
menciptakan tensi bagi cerita. Kembali lagi, apakah itu salah? Tidak, tapi
usaha itu tetap saja tidak menghasilkan tensi yang baik. Ya, irama menjadi
masalah besar lainnya dari film ini dan semua dikarenakan keinginannya untuk
berubah tadi, menyuntikkan sedikit momen melodrama yang celakanya menjadi
tempat dimana thrill benar-benar menghilang. Hasilnya, kita tidak mendapatkan
alur cerita yang terus memompa kita bersama usaha Bryan yang penuh semangat,
sering kali terputus dibanyak bagian.
Jadi jangan heran jika
anda akan sering bertemu dengan momen canggung bahkan hambar didalam film ini,
karena sama seperti ekspresi Bryan sepanjang film ini merupakan sebuah penutup
yang pada dasarnya sudah lelah dari segi cerita, ia eksis hanya sebagai usaha
untuk memanfaatkan sisa-sisa potensi keuntungan finansial belaka. Kemarahan
seorang ayah dan suami yang rela melakukan apa saja untuk sosok tidak ada
disini, kebrutalan yang ia ciptakan tidak lagi mempesona karena posisinya dalam
cerita yang juga telah di tukar, aksi menyiksa, aksi bersembunyi, aksi
kejar-kejaran menggunakan mobil, mereka hadir dalam wujud potongan-potongan
terpisah yang tidak berhasil Olivier
Megaton gabung menjadi satu kesatuan, membuang percuma potensi dari
karakter utama yang tersisa karena sibuk untuk menjadikan ini terlihat lebih
thoughtful meskipun yang ia hasilkan justru sebuah petualangan yang tumpul.
Divisi acting tidak
menghasilkan masalah yang begitu besar. Tidak ada masalah berarti yang dihasilkan
oleh Liam Neeson disini, ia melakukan
apa yang harus ia lakukan sebagai Bryan. Yang menjadi masalah adalah sinar dari
karakter miliknya itu tidak lagi dijadikan tumpuan utama disini, bahkan sering
kali seolah dijadikan sebagai poacher yang membawa kita menuju dua karakter
lain di sekitarnya, Kim dan Dotzler. Performa dari Maggie Grace masih dalam batasan yang wajar dalam artian tugas yang
ia bawa dapat ia tampilkan dengan tepat, dari rasa kehilangan hingga rasa takut
pada potensi kehilangan selanjutnya, yang menjadi masalah adalah Forest Whitaker sebagai Franck Dotzler. Sejak awal saya mencoba
untuk mengamati mau dijadikan seperti apa karakter Dotzler, polisi yang
eksentrik ia gagal, polisi layaknya Sherlock Holmes ia juga gagal, dan sering
kali kehadirannya menjadikan alur cerita stuck dan terasa canggung.
Overall, Taken 3 adalah film yang kurang
memuaskan. Film ini ibarat mobil yang selama ini selalu melewati jalan bebas
hambatan namun kali ini harus terjebak dalam sebuah kemacetan jalanan normal.
Ia tidak malu untuk mencoba berubah tapi ia juga tidak malu untuk menghilangkan
kekuatan utama yang menjadi andalannya selama ini. Melodrama sebagai upaya
untuk tampak bersahaja, sayangnya hal tersebut menjadikan ini sebagai hiburan
yang hambar, miskin semangat, miskin tensi, miskin momentum, trying to look thoughtful but ends dull.
Yeah, it ends here, it ends dull.
0 komentar :
Post a Comment