“It's like a candle
burning on both ends, but it's beautiful.”
Jujur saja sangat sulit
menyembunyikan senyuman ketika kami berbicara tentang Birdman, bukan karena ia
memiliki kekurangan yang mengganggu tapi justru sebaliknya dimana ia berhasil
memberikan sebuah petualangan yang sejak awal bertemu hingga ketika harus
berpisah terus mengisi penontonnya dengan senyuman karena caranya mempermainkan
imajinasi dengan cara yang unik dan lezat. Tanpa sedikitpun rasa ragu Birdman adalah film yang langka bagi
saya, ia seperti Gravity dengan drama
yang lebih berisi layaknya Biutiful,
menjadikannya sebuah kemasan lengkap yang akan memberikan anda pernikahan yang
sangat harmonis antara style dan substance.
Birdman or (The Unexpected Virtue of Ignorance): what we talk about when we
talk about life. What a strange magic!
Riggan
Thomson (Michael Keaton) merupakan seorang aktor yang
sedang dilanda banyak masalah pribadi, dengan karir menjadi fokus utama.
Setelah membintangi sebuah film blockbuster
dimana kala itu ia menjadi sosok superhero bernama Birdman, popularitas dan karir Riggan perlahan menurun, dan yang
membuat ia semakin merasa tertekan karena dalam aktivitas sehari-hari yang ia
lakukan Riggan masih merasa ia merupakan seorang Birdman dengan segala
kemampuan super, hal menyebabkan mengapa ia sering di hampiri suara karakter
yang pernah ia mainkan, suara yang selalu mencoba mengejek dan menghasut
dirinya.
Riggan sendiri bukannya
tidak mencoba berubah, yang terbaru ia mencoba untuk mengadaptasi cerita
Raymond Carver kedalam bentuk pertunjukkan panggung broadway, tapi kendalanya
adalah disekitarnya telah eksis berbagai masalah lainnya. Dari putrinya Sam Thomson (Emma Stone) yang baru
keluar dari rehabilitasi, dua sahabatnya Jake
(Zach Galifianakis) yang merupakan seorang produser dan Lesley (Naomi Watts), seorang aktris,
hingga sosok baru bernama Mike Shiner
(Edward Norton). Tidak cukup sampai disitu, Riggan juga berhadapan dengan
polemik cinta yang melibatkan Sylvia (Amy
Ryan) dan Laura (Andrea Riseborough),
serta hubungan dingin dengan kritikus bernama Tabitha (Lindsay Duncan).
Birdman
adalah apa yang kita bicarakan ketika kita berbicara tentang kehidupan, dan
menariknya itu ditampilkan dalam bentuk sebuah komedi dengan mengandalkan
pertunjukkan teatrikal sebagai senjata utamanya. Menyaksikan film ini seperti
menjadi seorang pengunjung yang diberi kesempatan untuk mengunjungi belakang
panggung dari proses persiapan sebuah pertunjukkan, dan yang mengejutkan ketika
kita menemukan banyak masalah yang terjadi didalamnya, karakter-karakter yang
runtuh akibat ego dan sesuatu dari masa lalu yang belum selesai. Kondisi
tersebut yang akan memberikan anda sebuah pengalaman dengan sensasi layaknya
mengendarai sebuah rollescoaster,
kita seperti terjebak didalam sebuah labirin penuh liku-liku menarik disertai
gesekan yang dapat kita lihat dalam jarak yang sangat dekat, seolah memaksa
anda untuk memecahkan sebuah masalah antara nyata dan tidak nyata walaupun pada
dasarnya ia hanya ingin menjadi kritik dengan cara mocking pada apa yang
terjadi dalam kehidupan manusia.
Hal tersebut yang saya
sangat suka dari Birdman ketika ia
pada dasarnya ingin menjadi sebuah kritik tapi tanpa mencoba mencela, ia justru
membawa anda mempertanyakan semua hal-hal serius tentang kehidupan itu dalam
bentuk sebuah kemasan yang terkesan kurang serius, dengan menjadi sebuah
komedi. That’s it, dari keluarga,
kemudian budaya selebriti, hingga mencampur ambisi dan obsesi yang dapat
mengacaukan setiap pribadi jika tidak mampu ia kendalikan dengan tepat, semua Alejandro G. Iñárritu eksekusi dalam
komposisi yang sangat pas, ia menampilkannya lewat hal-hal yang simple di
setiap bagian kecil sehingga terasa jujur dan tidak menjadikan berbagai
pertanyaan tadi terlalu filosofis dan membebani, kontemporer tapi dibentuk
dengan cermat. Itu yang menarik, ketika anda berjalan-jalan bersamanya anda
akan tenggelam dalam kenikmatan yang ia berikan, menertawai kesalahan dan
kekonyolan yang karakter lakukan, tapi ketika ia telah berakhir anda akan
melakukan recall pada apa yang baru anda lihat tadi dan kemudian bergumam,
“wah, yang tadi itu keren”.
Tapi jangan heran jika
anda akan menemukan mereka yang menyebut Birdman
sebagai kemasan penuh tipu muslihat, atau kemasan penuh gimmick, karena pada dasarnya ia memang melakukan hal tersebut pada
bagian teknis. Namun pertanyaannya adalah apakah itu salah? Tentu tidak,
asalkan gimmick tersebut di bentuk dengan cantik, dan itu yang dilakukan oleh Alejandro G. Iñárritu disini,
menciptakan seolah cerita bergerak terus menerus tanpa pernah sekalipun
terputus. Di situ letak salah satu faktor paling keren dari Birdman, bagaimana ia memanipulasi
imajinasi penonton untuk merasa bahwa mereka tidak bisa berhenti dan
terus mengikuti karakter bergerak, dibantu dengan pencahayaan yang praktis
kamera terus bergerak bersama kesan misterius yang tidak pernah padam, sukses
mempermainkan kita diantara realita dan ilusi yang menariknya karakter
ditampilkan bukan seperti sebuah objek yang kita amati, tapi seperti subjek
dimana kita juga merasakan gejolak dan emosi yang sedang ia alami.
Itu mengapa diawal tadi
saya menyebut Birdman sebagai
pernikahan yang sangat harmonis antara substance dan style karena ia mampu
bermain-main diantara dua hal tadi, memiliki transisi yang sangat sangat halus,
sangat mudah untuk di ikuti dan di nikmati sehingga kita tidak merasakan
substance dan style sebagai dua hal yang terpisah namun mereka hadir sebagai
satu kesatuan di tiap scene. Tiap scene? Ya, itu dia hal lain yang menjadikan
Birdman terasa cantik karena ia sukses memperdaya penonton sehingga merasa
semuanya di rekam tanpa putus, dan editing melakukan pekerjaannya dengan sangat
baik terlebih dengan kecerdikan mereka dalam mempermainkan warna hasil dari
pencahayaan dan cinematography racikan Emmanuel
Lubezki tadi. Tidak hanya itu, score juga punya andil yang besar dalam
menciptakan irama petualangan yang memikat, sentuhan drum dari Antonio Sánchez (Why AMPAS? Why?) yang sukses mempertebal kesan unik dari sihir
yang diciptakan oleh elemen-elemen lain.
Nah, semua kelebihan
yang telah di bahas tadi yang pada akhirnya menjadi alasan mengapa ensemble cast merupakan kunci yang
paling penting dari kesuksesan yang Birdman
raih. Konsep teatrikal yang mencoba membawa penonton menelusuri masing-masing
karakter membutuhkan eksekusi yang tepat pula oleh jajaran cast, terlebih
dengan menggunakan beberapa take panjang resiko yang mereka bawa juga cukup
besar. Michael Keaton adalah bintang
utamanya, ia berhasil meraih atensi dan simpati kita, membuat masalahnya tampak
serius tapi di sisi lain tidak pernah miss ketika Riggan menjalankan tugas
lainnya, membuat penonton tertawa, namun pemeran lain juga punya andil yang
sama pentingnya terutama menjadikan karakter mereka bukan hanya sebagai
tempelan belaka dan tanpa guna, masing-masing menampilkan performa yang tajam
dan efektif sehingga membuat masalah mereka tampak menarik, dan akhirnya
menyebabkan Birdman berhasil menjadi
sebuah studi karakter yang kurang ajar tingkat tinggi.
Overall, Birdman adalah film yang memuaskan.
Lorong teater bersama kecemasan dalam ruang sempit, karakteristik yang simple
dan menarik, performa cast yang powerfull, mampu mencampur substance dan style tanpa
terkesan memaksa, melepas penonton untuk tertawa dan bertepuk tangan bahagia
bersama kegelapan di persenjatai dengan emosi yang terus eksis di sampingnya,
eksekusi teknis yang rapi dan cemerlang dari editing yang halus, cinematography
yang kurang ajar, hingga score yang
sangat “soulful”, dan semua itu dibungkus dengan pesona yang kuat dan luar
biasa, Birdman berhasil menjadi
sebuah studi karakter tentang kehidupan yang dikemas serius namun santai berkat
kemampuannya memanipulasi penonton dengan brilian, berhasil memberikan sebuah movie experience yang akan sulit untuk
dilupakan. What a strange magic!
baru tau film ini....
ReplyDeletehttp://obatlukadiabet.blogspot.com/2015/06/cara-mengatasi-luka-bakar-di-kulit.html