"Why don't you take a picture, it'll last longer!"
Film ketiga dari
kehidupan malam di museum yang pertama kali hadir delapan tahun yang lalu ini
seperti sebuah kendaraan sewaan dengan durasi sewa yang belum habis sehingga
membuat sang peminjam memilih untuk mengisi waktu sisa tadi dengan
berputar-putar tanpa arah. Memang ada momen lucu, memang ada momen ketika
nostalgia pada karakter hadir kehadapan kita, tapi Night at the Museum: Secret of the Tomb tidak berhasil menjadi
sebuah perpisahan yang akan dikenang lama oleh penggemarnya.
Dr.
McPhee (Ricky Gervais) bersama dengan Larry (Ben Stiller) berencana untuk
mengumpulkan seluruh isi Museum of
Natural History dalam rangka menyelenggarakan sebuah acara yang tidak akan
terlupakan. Celakanya kekuatan magis dari Ahkmenrah mulai hilang yang
menjadikan Larry bersama timnya, Teddy
Roosevelt (Robin Williams), Jedediah (Owen Wilson), Octavius (Steve Coogan),
monyet Dexter (Crystal), Sacagawea (Mizou
Peck), Attila the Hun (Patrick Gallagher), dan juga Ahkmenrah (Rami Malek) untuk kembali ke museum London, bertemu
dengan Merenkahre (Ben Kingsley) untuk
membantu mereka memulihkan kekuatan dari tablet milik Ahkmenrah.
Jika kamu perhatikan
dengan seksama synopsis diatas kamu pasti akan mengerti perumpamaan yang saya
gunakan di awal tadi. Yang tersisa dari film ini sesungguhnya sudah sangat
sedikit, kasarnya malah tidak ada lagi materi menarik yang dapat Shawn Levy gunakan untuk bersama-sama dengan karakter
mengucapkan salam perpisahan, dan hasilnya film ini ibarat daur ulang dari dua
film pendahulunya dengan hasil yang tidak lebih baik, dan tidak lebih segar,
dan tidak lebih menarik. Saya tidak ingin mengatakan ini sebuah hiburan yang
mengerikan karena faktanya saya tidak memperoleh kondisi dimana saya merasa
terpaksa untuk tetap tinggal di kursi saya, tapi kalau kesan dipaksa untuk
merasakan hingga tertawa bersama karakter oleh Shawn Levy itu terasa sangat
jelas.
Ya, ini film yang
terasa sangat dipaksakan kehadirannya, seperti melayang-layang dengan semangat
yang juga sudah sangat kecil. Bagaimana bisa terasa menyenangkan ketika
karakter sendiri tidak tampak senang melakukan apa yang mereka lakukan, momen
energik banyak sekali yang terasa datar, momen lucu dan menggemaskan juga sulit
untuk ditemukan. Awalnya menarik tapi setelah itu semua terasa sangat lesu,
berisikan pengulangan dari metode lama yang mungkin akan berhasil di jika di
terapkan di film pertamanya dahulu, skenario suram yang kehilangan kekuatan
imajinatif yang kita rasakan di film pertamanya itu, kurang cekatan dan cermat
dalam mengolah materi serta senjata yang ia miliki, banyak blunder yang
menjadikan apa yang mereka berikan sering terasa miss.
Bukannya tidak ada
momen yang lucu, contohnya seperti kehadiran Rebel Wilson yang kerap selalu mencuri atensi ketika gilirannya
tampil tiba, tapi bersama dengan Ricky
Gervais ia kurang dimanfaatkan. Contoh lainnya adalah tingkah childish yang
diterapkan dalam menyampaikan elemen komedi juga tidak sedikit yang setidaknya
memberikan kamu senyuman kecil, tapi sisanya adalah manipulasi yang semata-mata
hanya memanfaatkan sisa potensi yang masih ia miliki untuk meraih keuntungan di
sector finansial. Ini menyedihkan ketika kita mendapatkan perpisahan yang sulit
untuk dikenang, sebuah perpisahan dimana kita dipaksa untuk suka dengan mereka
hanya karena kita telah mengenal karakter-karakter tadi sejak lama, merasa
peduli pada narasi yang kurang tangkas dalam mempermainkan energi yang ia
miliki.
Apa yang selama ini
kita kenal dari Night at the Museum
memang kembali hadir pada Night at the
Museum: Secret of the Tomb, namun sayangnya tidak semua dari mereka hadir
dengan kualitas yang sama baiknya. Film ini adalah contoh dimana hasil yang
tercipta selalu tidak jauh berbeda dengan usaha yang kita berikan, film ini
terasa tidak mencoba untuk menjadi kemasan penutup yang memorable, sebuah formalitas yang kurang energik dan miskin
imajinatif, sehingga hasilnya adalah sebuah perpisahan yang kurang
menyenangkan.
0 komentar :
Post a Comment