"Once brothers, now enemies."
Ia memang punya Alien
dan Gladiator di daftar filmography,
tapi karya-karya Ridley Scott selalu
hit or miss bagi saya dalam jumlah yang berimbang, bahkan bukan hanya ketika ia
menjadi sutradara hal yang sama juga terjadi ketika ia menjadi produser. Masih
membekas di ingatan bagaimana Robin Hood
jatuh datar empat tahun lalu, bahkan tahun lalu dengan cast yang sangat
menjanjikan Ridley Scott seperti
kehilangan magic miliknya di Prometheus
dan menjadikan The Counselor sebagai
thriller yang ompong, dan magic itu masih belum kembali di Exodus: Gods and Kings. Lost in Egypt.
Moses (Christian Bale) dan Ramesses II
(Joel Edgerton) yang tumbuh besar sebagai suadara angkat merupakan calon
pewaris kerajaan Firaun dari tangan Seti
I (John Turturro). Moses yang ketika itu telah menjabat sebagai jenderal
perang dianggap memiliki kapabilitas yang lebih baik sebagai pewaris tahta,
namun hal tersebut tidak disetujui oleh Queen
Tuya (Sigourney Weaver) yang ingin agar anak kandungnya Ramesses yang
menjadi pewaris. Hal tersebut memaksa Moses untuk keluar dari Mesir, tapi
ketika telah menjadi gembala Tuhan mengirimkan sebuah tugas kepadanya, Moses
harus kembali ke Mesir untuk
menyelamatkan umat-Nya dengan membawa mereka keluar dari sana.
Film ini sebenarnya punya hal-hal yang ia butuhkan
untuk menjadi hiburan yang epic, dari sutradara, cast, budget juga sangat besar, tapi pendekatan yang dipakai oleh Ridley Scott malah membuat ini terasa
sangat jauh dari kesan epic,
cenderung kearah cerita kitab suci yang tampak frustasi mengolah materi. Dari
sinopsis singkat diatas tadi mudah untuk menilai ini adalah usaha untuk
memberikan kita perjuangan yang mendebarkan, upaya yang kompleks yang menarik
tapi disisi lain juga mampu meninggalkan kita inspirasi sederhana tanpa harus
mampu untuk menguatkan iman penontonnya, tapi kenyataannya justru sebaliknya: datar,
kompleks tapi tidak menarik, dan sangat miskin inspirasi, bahkan terasa sulit
untuk merasakan semangat dari perjuangan Moses.
Masalah yang saya rasakan disini adalah Ridley Scott seperti ingin membuat kita
menunggu dengan penuh misteri, padahal faktanya cerita yang ia punya sudah
sangat umum, dan dari cerita yang ia punya juga tidak ada sesuatu yang baru
dari cerita dasar. Kita dibuat melakukan apa yang Moses lakukan, menunggu dan bertanya-tanya yang sayangnya banyak
diantara momen itu yang terasa kosong. Yang paling menjengkelkan itu ada kesan
bahwa ia akan terjadi sesuatu yang menjanjikan yang membuat kita terus menerus
sabar menanti, begitu juga dengan kesan provokatif yang seolah ingin
mempertanyakan tindakan Tuhan pada manusia, itu juga terasa sangat lemah,
terbukti ketika berbagai tulah itu hadir tidak ada yang memberikan sensasi yang
menarik, semua tenggelam dalam CGI
dengan kekuatan makna yang sangat lemah.
Yang menarik dari film ini mungkin adalah penampilan
dari Joel Edgerton, ego yang karakternya
miliki terbentuk dengan baik, sedangkan Christian
Bale terasa kurang kuat, ia sebenarnya adalah kunci utama film ini karena
ia sosok sentral tapi sayangnya Bale tidak mampu menciptakan kesan heroik
seperti contohnya Russell Crowe di Noah, dan dampaknya menyebar ke bagian
lainnya. Momen terbelahnya laut merah jatuh datar, kematian anak sulung tidak
memberikan kesan menakutkan, dan meskipun tidak semuanya buruk tapi visual
sering kali menjadi sumber rasa frustasi penonton, ia bukan sebagai pelengkap tapi
justru seperti sebagai jualan utama film ini, dan jika ditambah pergeseran
fokus antara Tuhan, manusia, dan alam yang banyak terjadi sulit untuk menikmati
irama yang Exodus: Gods and Kings berikan.
Durasi film ini sebesar 150 menit, dan saya sarankan anda
membawa cukup banyak snack dan kopi meskipun kemungkinan kamu untuk merasa
gerah dan memutuskan sejenak keluar studio untuk membeli makanan atau sekedar
menyegarkan tubuh juga cukup besar. Sebegitu menyiksa kah? Tidak, tapi punya
potensi yang cukup besar, dari kuda, darah, lalat, pedang dan perisai, tornado,
kemudian api yang besar, Exodus: Gods and
Kings ternyata tidak berhasil menjadi sebuah film biblically-inspired yang menjadikan kisah itu terasa epic, ia hanya meminjam sinopsis untuk
kemudian memasukkannya kedalam formula paling standard dari film-film yang
mengandalkan CGI, mungkin akan terasa
cantik di visual tapi minim sensasi pada bagian cerita, menunggu hingga
berujung frustasi, dramatisasi yang lemah, ini seperti dua setengah jam
tersesat di sekitar Mesir. Segmented.
0 komentar :
Post a Comment