"Movie God, if I can make a hell of a movie, I don't mind dying now."
Ia bisa membuat anda menangis sedih, ia bisa membuat anda tertawa bahagia, ia bisa membuat anda menutup mata, ia juga dapat menjadikan anda bertepuk tangan bahagia. Banyak hal yang dapat diberikan oleh sebuah film kepada penontonnya, baik itu dengan mengandalkan narasi yang kuat dan rapi, atau justru menggunakan style lewat sebuah permainan visual, tapi ada satu hal yang paling penting yang wajib diberikan oleh sebuah film kepada penontonnya, sebuah pengalaman dengan sensasi yang memuaskan dan menyenangkan. Need a fun time? Let’s play with this hell. Why Don't You Play in Hell?, a holy-shit loveletter to filmmaking from Sion Sono. (Warning: review contains strong language and image).
Saat mereka masih muda dulu Hirata (Hiroki Hasegawa) bersama dua temannya yang bertugas sebagai
cameramen, serta seorang pria dengan baju kuning yang mereka sebut Bruce Lee dari Jepang, bersama-sama
mendirikan sebuah klub film bernama The
Fuck Bombers, klub kecil yang celakanya punya mimpi sangat besar. Mereka
bahkan meminta kepada sosok yang mereka sebut Movie God sebuah kesempatan untuk menciptakan satu film yang luar
biasa, dan setelah itu tercapai mereka bahkan bersedia jika harus mati.
Ternyata keinginan itu datang dengan cara yang sangat aneh, melalui pria
bernama Koji Hashimoto (Gen Hoshino).
Koji terjebak dalam sebuah perangkap yang melibatkan Michiko (Fumi Nikaido), wanita yang
dahulu punya iklan pasta gigi dengan jingle mengasyikkan yang sangat mudah
untuk di ikuti. Ia meminta bantuan Hirata untuk memenuhi perintah dari ayah
Michiko, Muto (Jun Kunimura), yang
ingin mewujudkan mimpi sang istri, Shizue
(Tomochika), pada sebuah film dimana anak mereka menjadi bintang utamanya.
Celakanya Hirata punya ide yang gila, ia ingin melibatkan musuh Muto didalamnya, Ikegami (Shinichi Tsutsumi) bersama
pasukannya yang telah memilih bergaya ala samurai. Masalah terbesarnya adalah
Muto dan Ikegami bukan sekedar musuh biasa, mereka pemimpin dua klan Yakuza yang sangat ditakuti.
Anda pasti pernah mengalami situasi seperti ini,
kondisi dimana anda sedang asyik mengamati sebuah film menjabarkan cerita yang
ia miliki namun perlahan presentasi yang ia tampilkan justru menjadikan anda
merasakan apa yang ia berikan tidak lagi tampak menarik. Banyak film menderita
karena hal tersebut bahkan pada mereka yang pada dasarnya hanya membawa sesuatu
yang sangat sederhana untuk disampaikan pada penontonnya, perjuangan untuk
tidak hanya membangun tapi juga menjaga hal-hal yang berputar dalam cerita
terus menerus mencengkeram atensi penontonnya. Lantas apa hubungannya hal tadi
dengan film ini? Kesuksesan film ini menghadirkan sebuah hiburan yang
menyenangkan berasal dari kemampuannya mengatasi kesulitan tadi, ia punya sebuah pesan utama, ia punya banyak
masalah yang terjadi dalam cerita, dan sejak awal hingga akhir terangkai dengan
manis.
Ya, meskipun punya judul yang sangat jauh dari kesan
lembut, kemudian hal-hal yang ia berikan juga tidak pernah jauh dari tumpahan
darah hasil permainan pistol dan katana, karya dari sutradara kenamaan Jepang
bernama Sion Sono ini sukses
memberikan penonton sebuah movie
experience yang terasa manis. Why
Don't You Play in Hell? ibarat Love
Exposure dengan durasi yang dipangkas setengah namun kadar kegembiraan dan
kegilaan yang ia miliki tidak dikurangi oleh Sion Sono sehingga hasil yang
tercipta jauh lebih menyesakkan, kumpulan kekerasan brutal yang tanpa malu-malu
tampil dengan cita rasa kartun, dengan berani menggunakan style over-the-top yang terbukti tak pernah berhenti memberikan
ledakan untuk menemani plot yang terus di jaga tampak penuh kegelisahan,
menyajikan mereka dengan humor-humor yang keren, tapi disisi lain tidak pernah
menghapus fokus kita pada inti utama yang ingin isa sampaikan.
Why Don't You Play in Hell? adalah film pintar yang memilih tampil dengan wajah
yang bodoh. Kita punya sekelompok anak muda yang hanya bisa menunggu rejeki
datang menghampiri mereka, kita punya seorang wanita gila yang perkasa yang
memiliki hobby menindas para pria, dan yang lebih menghebohkan kita punya dua
kelompok Yakuza, mereka kemudian
dijahit dengan baik oleh Sion Sono
kedalam sebuah alur yang bebas, bijak, dan lembut meskipun penuh kesan meta
yang terasa absurd. Tidak ada pertanyaan disini sehingga kita tidak punya tugas
untuk mencari jawaban, ini hanyalah sebuah puzzle
yang dirangkai dengan santai namun ketika gambar akhir itu muncul tercipta
sebuah hook yang kuat dari semua kekacauan yang baru saja kita saksikan, sebuah
sentilan manis pada budaya industri perfilman serta semangat atau pengingat
bagi pada filmmaker pada makna sesungguhnya
dari pekerjaan membuat film yang mereka lakukan.
Bagian paling akhir mungkin menjadi kunci penting bagi
film ini setelah membawa penontonnya keluar dari petualangan penuh aksi
mondar-mandir dengan bumbu pertarungan yang tampil gila dan lucu secara
bersamaan itu, apakah ini akan miss atau hit bagi mereka. Tidak akan heran jika
ada penonton yang merasakan ini kurang bahkan tidak menghibur, atau mungkin
akan ada yang menilai ini sebagai sebuah nonsense serta omong kosong ketika
kejutan di akhir itu muncul, namun bagi mereka yang sejak awal telah klik
dengan sistem mockudrama yang kemudian memutar-mutar obsesi dan ambisi dengan
cekatan dan eksentrik itu, kata-kata seperti sialan, wth, wtf, hingga bajingan mungkin frekuensi kehadirannya akan
besar. Ya, bagaimana tidak ketika api dan air dicampur bersama dengan bensin,
ada kamera genggam 8mm, sepatu roda, sedikit drama terkait keluarga, teriakan
disana-sini, kepanikan diselimuti aksi slapstick, hingga obedient Yakuza.
Tapi selain kepiawaian Sion Sono dalam merangkai kombinasi genre yang ia miliki itu
kinerja yang diberikan oleh para aktor juga memiliki kontribusi yang terbilang
tidak kecil. Banyak karakter disini namun anehnya masing-masing dari mereka
berhasil tampak menarik. Ada tiga bagian besar, klub film, Michiko problem, dan gesekan dua Yakuza, dan tiga bagian itu tidak pernah terasa membosankan hingga
akhir. Para aktor mampu menampilkan keunikan dari karakter mereka sehingga
penonton mudah dalam menerima apa yang mereka berikan, dan dampaknya tidak
hanya sampai disana karena alur provokatif diserta berbagai benturan yang cepat
itu menjadi semakin mudah dan menarik untuk di ikuti. Aktor yang bersinar lebih
terang tidak hanya satu namun lima, dari Shinichi
Tsutsumi, Jun Kunimura, Hiroki Hasegawa, Gen Hoshino, hingga Fumi Nikaido yang terasa sangat kickass
itu.
Overall, Why
Don't You Play in Hell? adalah film yang memuaskan. Terakhir kali saya
merasakan pengalaman seperti ini adalah ketika menyaksikan Holy Motors, petualangan yang “kacau”, random, tapi adiktif dan
terus menarik, meskipun ia sedikit lebih unggul pada faktor misteri. Why Don't You Play in Hell? berhasil
menyegarkan pengalaman dengan tipe tersebut, sajian drama, komedi, action,
bahkan sedikit sentuhan romance yang tampil cepat, tepat, dan cekatan, penuh
dengan kegilaan over-the-top, penuh
darah, penuh tawa, tapi dengan visi yang kuat berhasil meninggalkan sebuah
inspirasi terkait filmmaking dengan
cara yang menyenangkan. Segmented.
0 komentar :
Post a Comment