"Will you follow me, one last time?"
Sebelum bercerita
terlalu jauh sebagai informasi awal yang mungkin juga akan terkesan telat bahwa
The Hobbit merupakan adaptasi dari novel dengan judul sama yang memiliki
ketebalan sebesar 320 halaman untuk versi English,
dan 340 something untuk terjemahan Bahasa Indonesia. Jika informasi tadi
merupakan sesuatu yang baru bagi anda maka anda tidak perlu merasa aneh pada
keterkejutan yang bisa saja anda alami, karena dahulu saya juga mengalami hal
yang sama. Benar, 320 lembar tadi coba diterjemahkan oleh Peter Jackson menjadi
film yang ia pecah menjadi tiga bagian, dan dengan materi yang terbilang tipis
hasilnya adalah: film pertama okay, film kedua kurang okay, dan finale terasa
kering. The Hobbit: The Battle of the
Five Armies, a dry and drudgery entertainment from an “ambitious” effort.
Kedatangan Bilbo Baggins (Martin Freeman) beserta
13 kurcaci yang dipimpin oleh Thorin
Oakenshield (Richard Armitage) menyebabkan Smaug (Benedict Cumberbatch) yang kala itu sudah menduduki Gunung Erebor marah dan menghancurkan
sebuah kota dekat danau menggunakan kekuatannya. Namun ternyata seorang pria
bernama Bard (Lukas Evans) berhasil
menemukan kelemahan Smaug dan kemudian mengalahkan naga tersebut untuk menjadi
pahlawan kotanya, status yang anehnya justru ia tolak. Ketimbang menjadi
seorang pemimpin Brad lebih tertarik untuk bersama-sama mengamankan tempat
penampungan serta negoisasi yang telah mereka buat dengan Thorin terkait harta
di didalam gunung tadi.
Celakanya Thorin
ternyata tidak berniat untuk memenuhi janjinya, sikap yang menjadikan Bilbo dan
kurcaci lain merasa bahwa mereka harus melakukan sesuatu terhadap kondisi
tersebut. Situasi semakin rumit dengan kehadiran kaum elf dibawah pimpinan Thranduil (Lee Pace) yang juga
menginginkan harta didalam Gunung Erebor, dan telah membentuk aliansi. Begitupula
dengan keberadaan Orc di bawah
komando Azog (Manu Bennett) yang
berniat mengejar Thorin untuk membalaskan dendam, begitupula dengan Legolas (Orlando Bloom) dan Tauriel (Evangeline Lilly) yang
mengetahui bahwa ada tentara kegelapan lain yang siap untuk menyerang.
Setelah ia selesai ada
perasaan ambigu yang saya rasakan, kondisi dimana saya sadar bahwa ini adalah
sebuah kemasan mengecewakan jika menilik prestasi luar biasa yang pernah Peter Jackson ciptakan satu dekade lebih
yang lalu dengan kombinasi visual dan cerita yang memikat, namun disisi lain
ada rasa kurang rela untuk mengatakan ini sebagai sebuah bencana. The Hobbit: The Battle of the Five Armies
punya unsur fun yang cukup baik terutama pada elemen action yang ia tampilkan
tapi yang menjadi masalah adalah harapan awal yang tercipta berada jauh lebih
tinggi dari apa yang film ini berikan, bukan sebuah hiburan penuh visual yang
menyibukkan penonton dengan berbagai gerak cepat untuk melindungi nilai minus
dari konflik dan karakter yang membosankan melainkan sebuah finale yang mampu
melengkapi kekurangan yang telah diciptakan dua film pertama serta menutup
semuanya dengan megah. Sayangnya film ini gagal menjalankan tugasnya tersebut.
Jika harus
menggambarkan apa yang menarik dari film ini mungkin jawabannya adalah bagian
pembuka yang memberikan kita kenikmatan yang terbilang cukup baik untuk klik
dengan karakter dan juga masalah, dan bagian penutup yang punya kekuatan cukup
besar untuk memuaskan mereka yang telah menyaksikan The Lord of the Rings karena berhasil menciptakan sebuah jembatan
menuju The Fellowship of the Ring.
Bagaimana dengan sisanya? Datar, kering, miskin pesona, miskin intimitas,
miskin semangat, semua dibungkus dengan alur cerita yang liar namun dalam
struktur yang kurang nikmat. Film ketiga ini seperti sebuah presentasi dari apa
yang sedang dirasakan oleh Peter Jackson
dengan dunia Middle Earth yang telah
ditangani sangat lama itu: jenuh, bosan, dan “hanya” mencoba menyelesaikan apa
yang telah ia mulai. Ya, hanya, semua yang terjadi didalam film ini ibarat
sebuah formalitas tanpa keseimbangan “kualitas”.
Sangat mengapresiasi
sentuhan yang ia ciptakan pada sisi visual namun disini anda dengan sangat
mudah dapat merasakan dampak dari ambisi besar Peter Jackson dan orang-orang penting di balik layar pada
keuntungan yang jelas menjadi sasaran utama mereka. Sebuah buku menjadi tiga
film menyebabkan film terakhir ini hanya berisikan sisa-sisa cerita yang tipis,
rangkaian beberapa konflik yang sesungguhnya sangat sederhana mereka lebarkan
dengan berani, berniat untuk menciptakan banyak ruang agar kisah sederhana tadi
tampak rumit, menghabiskan cukup banyak waktu dengan gerak berputar-putar yang
mayoritas terasa kosong dan menjauhkan atensi penonton dari kekurangan yang
mengganggu tadi dengan menggunakan adegan aksi lengkap bersama HFR yang cantik itu sebagai pengalih
perhatian. Ya, The Hobbit: The Battle of
the Five Armies punya visual yang memukau, namun disisi lain ia ompong.
Benar, ompong, dan
masalah utama seperti disebutkan tadi karena begitu banyaknya gimmick yang Peter Jackson coba bentuk untuk
menyokong dan memperpanjang cerita. Banyak bagian dimana cerita terasa
dipaksakan kehadirannya, ia seolah memaksakan segala sesuatu yang tampil di
layar agar terasa rumit dengan cita rasa epic dan megah, bahkan film ini secara
tidak langsung menggusur nilai dan makna dari film pertama dan kedua. Salah
satu tugas dari sebuah trilogy atau apapun itu nama bagi sebuah series film
tidak hanya serta merta memberikan penontonnya sebuah hubungan sebab dan akibat,
harus ada perjalanan yang menarik, harus ada sensasi yang menjadikan penonton
bukan hanya klik namun ikut merasakan petualangan dan perjuangan dari karakter.
The Hobbit sudah lemah di sektor ini sejak film pertamanya, film kedua tidak
mengalami perbaikan, dan film ketiga seperti meneruskan kesalahan tersebut.
Hal tersebut yang
menjadi faktor utama rasa kecewa pada film ini. Tidak ada yang mengejutkan dari
visual, apa yang kita dapatkan sudah berada di level yang sama dari seorang Peter Jackson, namun yang menjadi
masalah adalah ketika ia tampak murni mengandalkan visual tadi untuk
menyelesaikan ambisinya ini. Harapan pada The
Hobbit tentu saja tidak sama dengan harapan pada Transformers, visual memukau dengan cerita yang macet total dari
segi daya tarik, kita ingin The Hobbit menyajikan
urutan yang bukan hanya menarik tapi juga dilengkapi kemampuan untuk memberikan
kita sesuatu yang imajinatif untuk di konsumsi, karakterisasi yang mumpuni
bahkan memiliki kualitas emosi yang menarik. Film ini kesulitan pada bagian
tersebut, eksposisi dengan materi terbatas dan kemudian berputar-putar mencoba
menciptakan kesibukan yang sayangnya menggerus daya tarik, ketegangan, hingga
antusiasme penonton.
Overall, The Hobbit: The Battle of the Five Armies
adalah film yang kurang memuaskan. Sebuah kemasan yang terlalu
"empuk" dan terlalu longgar, miskin ketegangan, miskin pesona, dan
itu hadir dalam sebuah komposisi yang terasa kasar, komposisi yang akan dengan
mudahnya menjadikan kenikmatan visual dan adegan aksi yang ia berikan turun
kelas dari awalnya luar biasa menjadi biasa karena tidak di sokong dengan
sebuah eksposisi yang menarik dan dinamis. Please
Peter Jackson, move on from Middle Earth.
0 komentar :
Post a Comment