Film ini menciptakan kejutan tersendiri di kalangan
penikmat film ketika ia terpilih menjadi wakil Jepang pada pertarungan Best Foreign Language di ajang Oscar tahun lalu. Ada yang mengatakan ia
bukanlah sebuah drama luar biasa, namun itu masih jauh lebih sedikit jika
dibandingkan dengan rasa bingung karena disampingnya hadir Jepang juga punya Like Father, Like Son karya Hirokazu Koreeda yang notabene akan
menjadi nilai plus bagi negara mereka. Memang benar ini tidak megah, namun ia
punya apa yang kita cari pada sebuah drama dari negeri sakura. The Great Passage (Fune o Amu): an
old-fashioned inspiration.
Mitsuya Majime (Ryuhei
Matsuda) mungkin adalah
contoh paling akurat dari orang-orang yang kita sebuah nerd hingga geek, bukan
hanya dari tampangnya yang kalem dan terkesan sulit untuk didekati, tapi Majime
juga merupakan pria pemalu yang canggung ketika berhadapan dengan hal-hal
sosial, tipe pria yang ibarat sudah punya alur tetap dalam kesehariaannya,
obedient kelas berat. Tapi sikap tersebut pula yang menjadikan pria yang gemar
membaca ini menarik perhatian Masashi
Nishioka (Joe Odagiri) dan Kouhei
Araki (Kaoru Kobayashi), dua pegawai
divisi yang sedang berupaya menyusun sebuah kamus yang sedang mencari pengganti
Araki.
Bergabungnya Majime menjadikan rencana tim tersebut
untuk menciptakan kamus yang kelak akan mereka namai The Great Passage (Daitokai) kembali berjalan, kamus yang
dicanangkan dapat menjadi penghubung antara bahasa tradisional dengan bahasa
modern. Namun ternyata waktu yang diperlukan tidak singkat, bukan hanya dalam
hitungan bulan semua berjalan lebih dari satu dekade, banyak hal terjadi yang
berulang kali hadir mengguncang, dari hal yang terkait Nishioka, kisah cinta
antara Majime dengan seorang koki bernama Kaguya
Hayashi (Aoi Miyazaki), masalah yang menimpa chief editor mereka Tomohiro Matsumoto (Go Kato), sampai hal
sederhana seperti salah ketik dan kualitas kertas.
Bukan mengatakan ini merupakan sebuah drama yang
buruk, tapi setelah selesai menyaksikan film yang berada dibawah kendali Yuya
Ishii ini ada sedikit rasa kesal bercampur mengerti pada keputusan Jepang
memilih film ini menjadi perwakilan mereka di Oscar tahun lalu. The Great Passage adalah drama yang
baik, tapi sayangnya terasa kurang punya sesuatu yang benar-benar tajam,
sesuatu yang menghujam penontonnya sangat kuat baik itu ketika ia tampil atau
disaat ia telah berakhir. Baik namun terlalu aman, sejak awal hingga akhir
semua yang ada dihadapan kita adalah sebuah proses yang stabil dan tenang,
bahkan tanpa ledakan, dan tidak menjadi sesuatu yang mengherankan jika ada
penonton yang merasa ini terlalu monoton dan membosankan karena pintu untuk
menuju kearah sana faktanya selalu terbuka lebar hingga akhir.
Tapi ada sesuatu yang menarik disini, dan mungkin pula
menjadi alasan mengapa The Great Passage
akhirnya menjadi film terbaik di Japan
Academy Prize bulan maret lalu: cita rasa old-fashioned yang total. Jepang selalu handal dalam menciptakan
film dengan tipe seperti ini, terus menarik meskipun berada dalam level
standard ketika ia sedang berjalan, namun ketika semuanya telah selesai rasa
hangat dari apa yang ia tampilkan akan menghampiri penontonnya. Hal tersebut
terjadi di film ini, dalam hitungan tahun kita diajak menyaksikan perubahan
pada masyarakat untuk menemani proses pembentukan kamus yang belum juga
menemukan titik akhir, proses penulisan dengan kesan mondar-mandir yang sangat
lembut, tapi disisi lain rasa penasaran kita tidak dicengkeram tapi seperti
dirawat dengan sangat baik olehnya, potongan drama dalam oktan kecil yang
selalu menghasilkan ruang bagi kita untuk menelisik dan merasakan apa yang
karakter rasakan.
Hal tersebut yang menjadi kesuksesan terbesar film
ini, ia pintar dalam mempermainkan rasa sabar serta sensitifitas dari
penontonnya, dan itu semakin lengkap mengingat isu yang ia bawa pada dasarnya
juga sangat menarik. Dedikasi, komitmen, itu tampil menarik sejak awal, tahapan
dari perjuangan Majime berhasil memutar cerita yang sederhana menjadi tampak
tidak sederhana. Sangat suka pada sentuhan yang diberikan oleh Yuya Ishii bukan hanya dalam upaya
mempertahankan ketertarikan kita pada cerita tapi juga menjadikan kita
merasakan inspirasi yang terbangun secara perlahan itu, sebuah pekerjaan yang
baru akan selesai satu dekade lebih sejak ia pertama kali dimulai, nilai
kehidupan itu mungkin akan melekat cukup lama di memori, dari sikap berani,
rasa percaya diri, ada proses yang menyentil kita pada betapa berharganya
kehidupannya yang kita jalani.
Jika anda benar-benar terikat sangat kuat pada point
menarik tadi maka besar kemungkinan film ini akan terasa megah, tapi masalahnya
adalah ia juga punya nilai minus meskipun terhitung cukup kecil. Minus terbesar
berasal dari eksekusi yang terasa kurang efektif dalam memanfaatkan waktu.
Dengan durasi 133 menit apa yang diberikan film ini sebenarnya dapat berakhir
di bawah dua jam, ada bagian-bagian yang terasa terlalu besar dan lama, mungkin
mengemban tujuan lain dalam kehadirannya namun sedikit yang terasa tajam. Bahan
yang terasa tipis juga meninggalkan dampak pada karakter yang subplot,
contohnya Nishioka yang eksistensinya bahkan terlupakan ketika ia mulai mundur
perlahan, begitupula dengan kisah cinta antara Majime dan Kaguya. Anda akan
mengerti tujuan dari hadirnya subplot ini, tapi cara ia dikemas terlalu kasar,
rasa canggung itu tidak semuanya terasa hangat, emosi juga ada yang terasa
palsu.
Andai saja bagian tadi sedikit di eksplorasi mungkin
akan menambahkan warna pada cerita karena potensinya cukup besar. Ya mungkin
mereka punya maksud lain dari keputusan tersebut, seperti tidak ingin
mengganggu fokus utama kita pada proses penulisan kamus yang otomatis akan
memberikan ruang yang sangat besar bagi Majime. Kesempatan yang ia peroleh
memang terbukti berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh Ryuhei Matsuda, terutama
pada ekspresi yang ia hasilkan meskipun seharusnya ia dapat terbentuk jauh
lebih kuat. Tik-tok diantara karakter juga menjadi salah satu hal menarik
lainnya, terutama ketika Joe Odagiri masih menjalankan tugasnya, ada humor
menyenangkan yang hadir darinya. Sedangkan Aoi
Miyazaki terbilang tenggelam di samping Ryuhei
Matsuda, jika menilik tugas mungkin ia telah melaksanakannya dengan baik,
namun ada rasa jengkel jika menilik potensi yang dimiliki karakternya.
Overall, The
Great Passage (Fune o Amu) adalah film yang cukup memuaskan. Dedikasi,
komitmen, point penting itu akan melekat sangat kuat di ingatan mengingat
proses yang ia hadirkan juga ditemani berbagai hal yang sangat mudah membuat
penonton teringat kembali pada betapa berharganya kehidupan mereka, meskipun
cukup disayangkan hal tersebut hadir dalam kesan yang terhitung terlalu biasa,
terlalu aman, ia stabil, ia cermat, apa yang menjadi tugasnya juga terlaksana
dengan baik, namun akan sulit untuk mengatakannya sebagai sebuah hiburan yang
megah, hiburan yang mampu memberikan sensasi dari inspirasi yang ia miliki
dibalik ketenangan yang ia andalkan.
0 komentar :
Post a Comment