Semakin besar ambisi yang anda miliki maka semakin
besar pula tantangan yang harus anda hadapi dan atasi, begitupula dengan hasil
akhir serta masalah yang mungkin akan anda ciptakan. Ada sinkronisasi diantara
bagian-bagian tadi, dengan kunci terletak pada bagian tengah tadi, bagaimana
itu dihadapi dan diatasi. Film ini sangat besar pada ambisi, namun sayangnya
hal tersebut tidak tampil sama persis di bagian lainnya. Clouds of Sils Maria: a disjointed character study about insecurity.
For your consideration, in best supporting actress category, Kristen Stewart.
Seorang aktris bernama Maria Enders (Juliette Binoche) sedang berada didalam kereta api
yang bergerak membawanya menuju Swiss, tempat dimana ia akan menerima sebuah
penghargaan, namun ketika belum sampai di tujuan melalui asistennya yang
bernama Valentine (Kristen Stewart),
Maria justru menerima sebuah berita dukacita yang langsung membuat emosi Maria
yang tadinya stabil mulai terguncang. Wilhelm
Melchior, penulis dan sutradara sebuah drama panggung berjudul Maloja Snake yang sukses membawa karir
akting Maria melesat pesat telah meninggal dunia, dan berita tersebut semakin
memperkeruh pikiran Maria yang kala itu sedang menghadapi masalah lainnya.
Ternyata masalah tidak berhenti sampai disana dimana
Maria di undang untuk kembali tampil dalam Maloja
Snake versi terbaru. Tentu bukan sesuatu yang sulit jika menilik pekerjaan
tersebut pernah ia lakukan sebelumnya, tapi yang menciptakan sebuah dilemma
besar adalah peran yang Maria kini dapatkan. Dahulu ia memainkan Sigrid,
seorang wanita muda kuat yang penuh gairah dan memikat, namun kini ia harus
memainkan karakter Helena, seorang
boss yang pada akhirnya melakukan aksi bunuh diri karena Sigrid, dan refleksi antara dua karakter itu semakin mengganggu
Maria ketika ia melihat pemeran baru Sigrid, Jo-Ann Ellis (Chloë Grace Moretz).
Karya terbaru dari Olivier
Assayas (Summer Hours, Something in the Air) ini merupakan sebuah studi
karakter yang penuh intrik, posisinya bukan pada misteri yang ia miliki tapi
terletak pada bagaimana cara ia mempermainkan penonton dan juga mempermainkan
dirinya sendiri. Maksudnya apa? Ya, terdengar aneh memang, tapi ketika adegan
di kereta api mulai bergeser menuju pegunungan Alpen itu kita akan memperoleh
sebuah perubahan dan misi sederhana yang tenang menjadi sebuah kekacauan dari
cerita yang berisikan kekacauan, mengamati satu karakter yang berjuang
mengalahkan rasa takutnya, satu karakter yang membantu karakter sebelumnya
untuk keluar dari rasa takutnya, penuh gesekan dan aksi tarik dan ulur bahkan
sedikit kesan frustasi, dan seperti latar yang ia gunakan semua terbentuk
dengan tenang serta cenderung sedingin pegunungan yang sesekali akan menguasai
layar itu.
Awalnya semua terbangun dengan menarik, dan itu tidak
terlepas pada cara Olivier Assayas
menciptakan pondasi pada cerita dan karakter. Dua bagian ini sangat meyakinkan
ketika semuanya baru saja dimulai, perputaran masalah diawal itu terasa menarik
terutama pada pertanyaan apakah Maria akan menerima tawaran yang diberikan
kepadanya, dan karakterisasi yang ditempelkan kepada dua karakter utama semakin
memperbesar daya tarik hal tersebut. Tapi ternyata dibalik kesan sederhana pada
misi yang ia bawa tadi film ini punya keinginan yang jauh lebih besar dari itu,
ia tidak hanya ingin menjadi penggambaran bagaimana aktris bertarung dengan masalah
yang ia hadapi tetapi juga menjadi sebuah sindiran pada industri perfilman itu
sendiri, dan celakanya ambisi tersebut yang justru menjadikan film ini seperti
menjadi beberapa pecahan sketsa kecil yang jika digabungkan terasa kurang
harmonis.
Tidak akan mengatakan alur cerita yang ia miliki
terasa membosankan, rasa penasaran terus hadir dibalik tampilan dingin karakter
serta perputaran masalah yang secara kasat mata memang seolah tidak berkembang
itu, tapi momen dimana kita menyaksikan Maria bermain dengan rasa ragu dan
menimbang-nimbang keputusannya itu terasa monoton. Daya tarik stabil, tapi
tidak dengan energi, semangat yang terus mencengkeram atensi penontonnya, Sils
Maria mencoba terlalu keras untuk mengolah masalah sederhana itu tampak serius.
Tiap bagian memang terasa punya makna sendiri apalagi dengan kehadiran Valentine yang disini tidak hanya
sebatas pelengkap semata, ia juga membawa isu kedalam cerita, tapi seringkali
pesan dari tiap bagian itu dapat ditangkap dengan sangat mudah tapi celakanya
meskipun tidak akan menghasilkan sesuatu yang lebih kuat dan dalam daripada itu
Olivier Assayas justru terus menerus
mencoba memperdalam mereka, sebuah tindakan yang terasa kurang penting.
Jadi jangan heran atensi anda yang dengan cepat ia
raih di awal tadi muncul akan pergi dengan kecepatan yang sama besarnya, karena
dibalik luasnya ruang cerita progress yang ia berikan terasa sangat minim, baik
itu pada cerita juga emosi yang dimiliki karakter. Aksi berlama-lama didalam
nostalgia itu bukannya meninggalkan kesan sebuah upaya untuk memperdalam
masalah tapi justru usaha yang disengaja, seolah berbisik pada kita untuk
melihat jauh lebih dalam pada karakter padahal tidak ada perkembangan yang
berarti yang terjadi disana. Banyak dialog penuh gesekan antara Maria dan
Valentine tapi kurang mampu membantu untuk mengeksplorasi dua individu itu
bahkan potensi untuk tampil provokatif juga sering tenggelam dalam pertarungan
atau distorsi antara persepsi dan motivasi dalam dunia seni yang seolah terus
di jaga ambigu oleh Maria.
Dari sisi teknis ini oke, potensi pada visual didaerah
pegunungan berhasil dimanfaatkan dengan baik, cinematography juga tampil
memikat bahkan tidak sedikit yang terasa manis, tapi itu tidak cukup untuk
membawa Clouds of Sils Maria keluar
dari situasi tersesat yang ia alami, membantunya terus menarik sembari mencari
jalan keluar. Ini terlalu kontemplatif dalam mengembangkan isu yang tidak
terlalu gemuk, seperti menyaksikan dua karakter yang memutuskan keluar sejenak
dari gegap gempita kehidupan dengan melakukan meditasi di sebuah pegunungan dan
perlahan kehilangan sinar mereka, metafora berlebihan dari sesuatu yang
sederhana meskipun terus dikemas dengan cekatan, aksi mengembara yang tersesat
ketika sedang berusaha menemukan tujuan dan makna dari rasa takut atau rasa
tidak aman yang tiba-tiba menghampiri kehidupannya.
Clouds of Sils Maria memang memiliki banyak nilai minus, namun percayalah
anda akan bertahan hingga akhir, itu bukan dikarenakan rasa penasaran pada
masalah yang mereka berikan melainkan pada kualitas akting yang ditampilkan
tiga karakter besarnya, kuat. Chloë Grace
Moretz adalah pelengkap yang sangat kokoh, bahkan kemunculannya pertama
kali didalam layar seperti sebuah jendela yang tiba-tiba terpecah untuk membawa
masuk udara segar kedalam ruangan yang perlahan terasa sesak. Chemistry antara dua karakter utama juga
manis, dan ketika mereka berdiri sendiri juga sama kuatnya. Juliette Binoche menampilkan sebuah
kompleksitas yang pedas, ada kobaran api dibalik ekspresi tenang yang ia tampilkan,
tapi justru ia sering kalah dibandingkan dengan Kristen Stewart. Karakter Valentine seperti pembuktian K-Stew pada franchise Twilight yang membuatnya kehilangan dignity, sebuah penampilan natural yang tajam dibalik kesederhanaan
ekspresi yang ia gunakan. Manis. Good
luck K-Stew.
Overall, Clouds
of Sils Maria adalah film yang cukup memuaskan. Sangat disayangkan ketika
pondasi yang telah terbangun dengan cantik baik pada cerita dan juga karakter
justru harus mendapatkan pengembangan yang tidak sama cantiknya. Sisi teknis
oke, kualitas akting juga mampu tampil memikat, tapi Olivier Assayas kurang berhasil menjadikan ini sebagai sebuah studi
karakter dengan kedalaman yang mampu meninggalkan banyak kesan bagi
penontonnya, justru berbagai pengulangan monoton dengan harmonisasi yang miskin
antar tiap bagian kecil itu yang besar kemungkinan akan meninggalkan impresi Clouds of Sils Maria sebagai hiburan
yang melelahkan.
Screened at Festival Sinema Prancis 2014
0 komentar :
Post a Comment