Film yang merupakan adaptasi dari bagian terakhir
manga series berjudul Kiyoku Yawaku
ini seperti sebuah kisah romansa yang terjebak didalam warna sendu yang ia
gunakan sejak awal hingga akhir, terasa manis, terasa halus, terasa lembut,
namun sayangnya dengan durasi sepanjang 127 menit apa yang ia berikan berada di
bawah potensi awal miliknya yang sangat menjanjikan. Beyond the Memories (Kiyoku Yawaku), a (too) tender love story.
Kanna Seto (Masami Nagasawa) merupakan seorang gadis muda berusia 15 tahun yang
mampu membuat sahabat dekatnya Kazue
Haruta (Kengo Kora) menjadi pria yang selalu dipenuhi rasa ragu pada
perasaan miliknya. Haruta jelas menyukai Kanna, namun disisi lain rasa ragu
menjadikan hubungan diantara keduanya tidak punya sebuah kepastian yang jelas,
selalu berada pada batas persahabatan. Kondisi tersebut otomatis memberikan
kesempatan pada Tomomi Kawaguchi (Haru)
dan Toshikuni Mayama (Aoi Nakamura).
Empat remaja ini mulai akrab, namun ternyata Tomomi
dan Mayama punya rasa suka pada Kanna dan Haruta, dan celakanya rasa suka itu
kembali selalu tidak mencapai kepastian yang jelas, hingga suatu ketika sebuah
masalah menghampiri mereka dan meninggalkan trauma yang sangat buruk. Hampir
satu dekade kemudian Kanna ternyata masih terus dihantui oleh masalah tersebut,
sampai suatu ketika ia bertemu dengan Roku
Akazawa (Masaki Okada), pria yang juga sedang bertarung untuk lepas dari
masalah pada masa lalu yang pernah ia alami.
Film yang menampilkan cerita dengan menggunakan dua
masa yang berbeda seperti ini seolah punya sebuah kewajiban tunggal yang mutlak
harus mereka penuhi, menjadikan dua bagian itu sama menariknya. Hal yang
membuat Boyhood terasa menarik itu terasa kurang mampu di eksekusi dengan pas
oleh Takehiko Shinjo, seperti ada
yang tertinggal atau mungkin saja hilang ketika kita mulai menyaksikan Kanna
versi dewasa berhadapan dengan masalahnya, banyak kenikmatan yang seolah hadir
dengan seadanya di bagian kedua, tidak semua hal menarik ikut berpindah,
meskipun memang interaksi antara Kanna dan Roku yang seolah memoles kembali
materi klise dari sebuah romance juga
terbukti masih memberikan sesuatu yang menarik.
Ya, tidak bisa dipungkiri mereka memang masih manis di
paruh akhir tapi menilik apa yang dihadirkan bagian pembukanya film ini terasa
mengalami kejatuhan yang cukup siginifikan. Ketika saya masih bermain-main
dengan empat sahabat itu ada kesan sweet yang terus terpancar, tik-tok diantara
mereka terasa pas baik itu pada cara Takehiko
Shinjo menggambarkan situasi cinta diantara mereka hingga pemanfaatan momen
yang tepat pada bagian komikal yang memberikan penonton tawa. Ada gejolak cinta
kawula muda dengan mengandalkan konsep cinta segitiga yang sangat manis disini,
dan itu memberikan dampak pada beberapa nilai minus yang mereka ciptakan, sebut
saja alur yang terasa tidak sepenuhnya mulus dan tampak sengaja untuk
menciptakan ruang bagi eksplorasi drama dan cinta.
Hal tersebut yang akan dengan mudahnya membuat penonton
terjebak kedalam kehidupan empat sekawan itu, ada pengamatan yang menarik pada
perkembangan hubungan diantara mereka yang dengan ketenangan minim ledakan yang
akan semakin menambah kesan misterius. Penanganan Takehiko Shinjo yang sabar dan lembut juga memberikan dampak yang
sangat besar, mereka bukan hanya berkembang pada sisi karakterisasi tapi juga
pada pesona yang mereka miliki, hal yang sayangnya tidak terangkut sepenuhnya
ketika sebuah kejutan itu hadir. Dampaknya tidak kecil, apa yang sebelumnya terasa
manis dan menggemaskan itu justru secara mengejutkan berubah menjadi kisah love
and hate yang bergerak tanpa memiliki pijakan yang meyakinkan, melayang-layang
membawa penonton menyaksikan dua karakter bergulat dengan trauma mereka.
Pesona menjadi masalah terbesar disini, dua karakter
utama seperti kurang mampu menjadikan masing-masing masalah yang mereka alami
bukan hanya tampak menarik secara individual tapi juga membentuk kombinasi yang
tepat ketika harus bersatu. Apakah itu penting masalah mereka harus bersatu
dengan baik? Iya, penting, karena mereka punya koneksi pada bagaimana dua
karakter ini saling menguatkan untuk saling membantu keluar dari kesedihan yang
mereka alami, dan itu terasa kurang menarik. Tidak tercipta hubungan yang pas
antara drama, romance, dan tragedy disini, dan itu memutar materi
menarik diawal menjadi sesuatu yang biasa bahkan cenderung monoton, alur
mondar-mandir yang kurang halus, kesan haunting dari kenangan yang mereka
miliki juga tidak berhasil mencapai puncak.
Salah satu sisi positif dari babak kedua pada film ini
mungkin adalah treat kepada penonton yang mengharapkan dapat terus menyaksikan
aktor tampan dan cantik yang mereka sukai. Masami
Nagasawa dan Masaki Okada seperti
dimanfaatkan betul di bagian ini, dan itu semakin kuat dengan sokongan tone
warna yang lembut pada visual, pemandangan yang menarik, serta alur yang tenang
cenderung menghanyutkan. Sekali saja anda terjebak pada cengkeraman hal-hal
tadi mungkin nilai negatif yang ia miliki pada pesona tadi dapat dimaafkan,
apalagi kualitas akting yang kita peroleh tidak terhitung buruk. Memang minim
pesona, tapi masih ada nyawa pada Kanna, Roku, serta karakter lain yang
menjadikan kita bersedia menanti hingga akhir bagiamana itu semua akan
berakhir.
Overall, Beyond
the Memories (Kiyoku Yawaku) adalah film yang cukup memuaskan. Seperti
sebuah kue dengan dua bagian yang memiliki perbedaan pada rasa dan kemampuan
menjadikan konsumennya puas, babak pertama yang sangat menyenangkan ternyata
tidak sepenuhnya berpindah ke babak kedua. Tidak buruk, tapi sesuatu yang
potensial harus berubah menjadi sebuah petualangan yang menghanyutkan dengan
kesan standard yang tidak memiliki pijakan sehingga pesan terkait kehilangan
serta kekuatan cinta itu tidak tersampaikan dengan kuat di akhir cerita. Not bad.
0 komentar :
Post a Comment