Film yang berhasil Palme
d'Or, mahkota tertinggi pada perhelatan Cannes
Film Festival yang lalu ini dapat dikatakan merupakan salah satu kandidat
terkuat di kategori Foreign Language Film
pada Oscar tahun depan, wakil
dari Turki dengan durasi yang dapat kamu gunakan untuk menonton Gravity sebanyak dua kali lengkap dengan
credit. Memang benar Nuri Bilge Ceylan kembali berhasil membuat kejutan, namun
Winter Sleep bekerja kurang sempurna, seperti lost in Cappadocia, atau versi yang sedikit lemah dari A Separation.
Seorang pria bernama Aydin (Haluk Bilginer), pengelola sebuah hotel yang terletak di
perbukitan, sedang berada dalam kondisi sedih karena masalah pada pernikahannya
bersama sang istri, Nihal (Melisa Sozen).
Aydin mendapati bahwa banyak orang ternyata selama ini tidak menyukainya,
termasuk sang istri, dan ketika musim dingin tiba semuanya semakin panas, tensi
semakin tinggi ketika para pengunjung hotel mulai pergi, masalah satu persatu
hadir diantara dirinya, sang istri, penduduk sekitar, termasuk adik perempuan
yang tinggal bersamanya, Necla (Demet
Akbag).
Ketika menonton film ini saya merasa seperti sedang
berada dalam kondisi mati segan tapi hidup tak mau, tidak sedikit momen dimana
saya merasa jenuh dengan berbagai masalah yang silih berganti hadir itu,
terlebih dengan cara bercerita Nuri Bilge
Ceylan yang masih sama seperti film terakhirnya, Once Upon a Time in Anatolia, tenang, sabar, bahkan terasa detail,
tapi disisi lain seperti ada rasa penasaran yang tidak pernah padam terutama
pada apa yang akan terjadi pada tiga karakter tadi. Sebuah dilemma kelas berat,
terlebih dengan durasinya yang tiga jam lebih Winter Sleep dapat dikatakan seolah menempatkan penontonnya duduk
di sebuah kursi dengan kondisi kaki mereka terikat, tapi tangan tidak, mereka dapat
pergi sesuka hati tapi terus merasa ragu karena yang ia berikan bukan hanya
hal-hal yang tidak menarik, yang menarik juga tidak kalah banyaknya.
Visual kembali jadi nilai lebih yang terbesar dari
karya Nuri Bilge Ceylan, wilayah
pegunungan yang dimanfaatkan dengan cerdas oleh Ceylan, batu-batu hingga
bangunan yang ditangkap dengan spektakuler, mereka seperti permen manis yang
diberikan sebagai selingan saat kita merasakan campur aduk rasa lainnya ketika
mengamati karakter yang saling gesek dengan tenang dan halus, membongkar
kehidupan mereka yang kompleks bersama dialog-dialog yang sayangnya tidak semua
terasa menarik. Masalahnya adalah jumlah mereka sangat banyak, dan itu
mengejutkan karena pada dasarnya masalahnya sendiri sangat sederhana, ada yang
kuat dan indah, tapi ada pula yang lemah dan monoton. Saya juga kurang suka
dengan keputusan Ceylan yang kali ini seolah menempatkan kita sebagai pendengar
saja, mendengar dongeng yang ia berikan tanpa akses yang mudah untuk ikut serta
didalamnya.
Itu yang terasa kurang dari seorang Ceylan di Winter Sleep, tidak seperti Once Upon a Time in Anatolia saat saya
diberikan kesempatan untuk seperti ikut berjalan bersama karakter yang sedang
mencari jasad yang hilang, disini saya murni ditempatkan sebagai pendengar,
tidak diberikan ruang yang lebih baik untuk ikut terlibat. Akhirnya isu-isu
menarik seperti moral dan kelas sosial jadinya terasa kurang padat, aksi
memeriksa karakter yang kita lakukan bukannya memperdalam kekuatan masalah dan
karakter itu sendiri, tapi justru menciptakan kesan bertele-tele di beberapa
bagian. Meskipun memang ketika ia selesai ada beberapa hal yang melekat bahkan
meledak dengan kuat di memori, terlebih dengan akting dari karakter utama
yang baik itu, tapi bagian tengah, potret sosial yang seperti kekurangan kekuatan untuk membuat penonton tetap terjaga sepenuhnya bersamanya.
Screened at Jakarta International Film Festival 2014
0 komentar :
Post a Comment