Dibalik judulnya yang terbilang aneh bahkan terasa sedikit kontroversial (dalam bahasa Jerman
berjudul Fack ju Göhte), film
ternyata berhasil meraih satu slot di ajang German
Film Academy Awards pada kategori tertinggi, best picture, dan dari segi
komersial ia juga membukukan pendapatan yang besar tahun lalu. Awalnya saya
berpikir profit yang ia peroleh lebih berdasarkan judul yang ia gunakan, tapi
ternyata Suck Me Shakespeer punya hal
lain yang lebih dari itu, yang sayangnya punya pengaruh dalam kuantitas sangat
kecil.
Zeki Müller (Elyas M’Barek) baru saja keluar menghirup udara kebebasan setelah 13
bulan mendekam di penjara, tapi ternyata hal pertama yang ingin ia lakukan
belum keluar dari tindakan kriminal. Zeki ingin mengumpulkan kembali hasil
rampasan perampokan bank, lokasinya di sebuah gym baru yang dibangun temannya, Charlie (Jana Pallaske), dan akses
menuju tempat tersebut adalah melalui ruang bawah tanah sebuah sekolah. Zeki
memilih untuk menerima pekerjaan sebagai guru pengganti di sekolah tersebut
untuk mempermudah rencananya, tapi ternyata ia tidak masuk kedalam sekolah yang
biasa.
Sedikit kental dengan konsep Bad Teacher, film ini pada dasarnya tidak punya materi yang
terbilang sangat baik, di beberapa bagian malahan sangat lemah, konsep awalnya
kuat tapi setelah itu apa yang kita peroleh lebih banyak menampilkan banyak hal
konyol yang bisa saja akan terasa menjengkelkan bagi beberapa orang. Sangat childish, film yang telah dicanangkan
untuk mendapatkan sekuel ini bahkan punya menit-menit awal yang dapat membuat
kamu merasa gusar, dengan formula hafalan cerita seperti sedikit ditunda untuk
maju, babak awal terasa palsu bagi saya, tapi setelah itu semua berubah. Ya,
mungkin saja perlu waktu yang sedikit lebih lama untuk dapat klik dengan irama
yang diberikan Bora Dağtekin, yang
bisa dibilang satu dari dua hal yang mampu menyelamatkan film ini dari
kehancuran.
Materi yang ia miliki tidak baik, tapi cara Suck Me Shakespeer berjalan mampu
menutupi kelemahan tersebut. Memang terkesan seperti menjadi banyak potongan
kecil yang bahkan tidak semua dari mereka akhirnya terangkai dengan baik dalam
penggunaan warna visual yang mampu terus menarik atensi kita itu, tidak sedikit
yang terasa dipaksakan dan kurang pas, tapi film ini sukses menggunakan banyak
elemen familiar yang ia miliki untuk menghibur berkat kemampuannya menjaga
momentum dari cerita. Trik seperti ini selalu mudah untuk bekerja dengan baik,
materi yang miskin bentuk dalam gerak cepat, dan peluang penonton untuk tidak
begitu menaruh atensi pada nilai minus yang ia miliki akan semakin besar,
apalagi jika ia punya elemen lain yang sanggup mencuri atensi, dan film ini
punya hal tersebut pada bagian akting.
Chemistry mereka memang tidak begitu kuat, tapi para aktor
berhasil membuat karakter mereka terasa menyenangkan untuk di ikuti, tingkah
jenaka over-the-top yang terus
menjaga sensasi cerita, menjadikan cerita terasa variatif meskipun seperti
fakta diatas tadi tidak semua dari materi yang mereka miliki bekerja dengan
baik, beberapa lelucon juga sering jatuh datar ketimbang menghasilkan tawa.
Uniknya dari bagian ini yang terasa memorable justru pemeran pendukung, seperti
Katja Riemann dan Jella Haase, mungkin lebih disebabkan
dua pemeran utamanya sering kali terlalu lama berada di layar melakukan hal-hal
yang tidak semuanya terasa menarik, sehingga ketika pemeran pendukung hadir
mereka sukses mencuri perhatian.
Nah, masalahnya adalah ketika ia selesai saya merasa
bingung apa yang menjadikan film ini begitu popular tahun lalu, bahkan masuk
menjadi nominasi film terbaik. Ia memang tidak buruk, tapi jika harus
dibandingkan dengan Two Lives dan Love Steaks film ini tidak berada di
level yang sama. Memang menghibur tapi tidak pernah meraih posisi tertinggi, ia
terkadang lucu dan menarik, bahkan punya romance yang cukup baik, tapi tidak
jarang pula penonton mendapatkan momen sebaliknya. Kurang konsisten.
Screened at German Film Festival Singapore 2014
0 komentar :
Post a Comment