Film terbaru dari penulis Miss Congeniality ini adalah sebuah hiburan yang licik, ia seperti
tahu apa saja materi yang dapat ia manfaatkan untuk menarik perhatian penonton,
kemudian mempertahankan atensi mereka, semua untuk melindungi berbagai
kelemahan yang ia miliki. Hasilnya tidak begitu buruk, ia standard bahkan
terasa sangat lunak, tapi at least The
Rewrite mampu memberikan sebuah rom-com klise dan klasik yang cukup
menghibur di beberapa bagian kecil.
Keith Michaels (Hugh Grant) merupakan penulis naskah yang pernah meraih Oscar, namun berbagai masalah silih
berganti menghampirinya, dari perceraian hingga kebangkrutan. Tuntutan ekonomi
itu memaksa Keith untuk menerima pekerjaan mengajar screenwriting di Binghamton
University. Tapi ternyata tujuan sederhana tadi mulai bergerak kearah
berbeda ketika ia telah tampil di depan kelas, dan sumbernya adalah wanita,
dari siswanya Karen (Bella Heathcote),
kepala universitas, Mary Weldon (Allison
Janney), hingga seorang single mother bernama Holly Carpenter (Marisa Tomei).
The Rewrite merupakan film keempat Marc Lawrence sebagai sutradara, dan
juga merupakan kerja samanya yang keempat dengan aktor utamanya, Hugh Grant. Hal tersebut mungkin
terkesan kurang penting, tapi nilai positif yang dimiliki oleh film ini banyak
berasa dari kemampuan Marc Lawrence
untuk “memanfaatkan” Hugh Grant, bahkan kesan yang saya rasakan cerita sendiri
seperti tidak di upayakan untuk menjadi fokus utama disini, hanya seperti
sebuah panggung untuk dua karakter utamanya bermain-main dengan chemistry mereka yang tidak begitu buruk
itu, mereka berhasil dibuat agar tampak menarik, dan apa yang mereka hadapi
dalam juga mampu menebar pesona yang dapat dikatakan efektif untuk sesekali
meraih atensi penontonnya.
Tapi sayangnya keputusan itu sendiri terhitung sebuah
gambling, hit or miss, jika apa yang
mereka rencanakan bekerja pada anda mungkin berbagai hal standard yang ia
berikan tidak akan begitu menjengkelkan, tapi tidak jika yang terjadi justru
sebaliknya. Ada beberapa lelucon yang mampu menciptakan tawa, bagian
sentimental juga cukup berhasil mengundang senyuman, tapi dengan keterbatasan
pada materi itu sejak awal hingga akhir film ini tidak pernah mencoba
memberikan sesuatu yang dapat mendorong mereka untuk tidak hanya sekedar
menjadi film dalam level cukup. Memilih bermain sangat aman, berputar-putar dan
minim kejutan, The Rewrite sering
kali terasa datar.
Alur cerita yang kurang mengalir menjadi masalah
utama, kisah cinta antara Holly dan Keith yang sesungguhnya tampak manis itu
juga tidak berhasil di jadikan pusat cerita yang benar-benar kuat, terasa
tanggung, terlalu ringan dalam struktur konvensional yang diterapkan. Kisah
cinta itu tidak mampu Marc Lawrence
bentuk agar lebih berwarna, lebih menggoda, terasa kering dan tipis, dan itu
cukup disayangkan mengingat karakterisasi yang ia berikan sejak awal sebenarnya
sudah menarik. Itu yang menjadikan karakter pendukung sering kali berhasil
mencuri perhatian dengan momen-momen lucu yang mereka miliki, seperti Allison Janney dan J. K. Simmons .
Tidak salah memang menciptakan sebuah film standard
yang bahkan sejak awal sudah tampak memilih untuk bermain aman, tapi tetap saja
ada tugas agar bagaimana film tersebut tetap berada di level aman ketika ia
telah berakhir. The Rewrite cukup berhasil dikendalikan oleh Marc Lawrence
untuk tetap aman ketika ia berakhir, karakter menarik yang mampu menutupi minus
pada cerita di bagian awal walaupun tidak mampu
ia manfaatkan dengan cermat untuk terus menjaga ketertarikan penonton padanya,
sehingga ketimbang menghasilkan rom-com dengan gejolak di level atas untuk
berupaya meraih klimaks, disini kita lebih sering ditempatkan di level bawah,
bermain-main antara datar, cukup baik, datar, cukup baik, dan seterusnya.
0 komentar :
Post a Comment