"Every woman is a lesbian at heart!"
Seperti judul yang ia miliki, Pride bisa jadi merupakan salah satu kebanggaan dari dunia
perfilman British di tahun ini.
Bagaimana tidak ketika ia memiliki banyak warna yang berhasil dicampur atau
disatukan dengan baik, ia punya drama yang terasa hangat tapi juga tetap
berhasil membuat masalah yang ia punya terasa serius, ia juga punya komedi lucu
yang mampu membuat penonton tertawa dalam kadar yang pas, dan mereka bersatu
didalam narasi yang berjalan dengan cepat dan meriah, kombinasi style dan substance yang manis.
Tahun 1984, Perdana Menteri Inggris kala itu Margaret Thatcher menaruh rasa curiga
pada aksi para penambang yang ia anggap menjadi ancaman anti-kapitalis dan
anti-demokrasi. Namun dibalik itu ternyata juga ada sebuah isu lain yang tidak
kalah hangatnya, hak-hak terhadap kaum gay dan lesbian. Hal tersebut yang
menjadi asal mula usaha dari seorang anak muda bernama Mark (Ben Schnetzer) untuk membentuk kampanye LGSM (Lesbians and Gays Support the Miners) dengan mengajak para
penambang untuk bersatu dalam upaya menuntut hak mereka. Tapi semuanya tidak
mudah, dari penolakan hingga respon campur aduk ketika mereka mencoba bergabung
dengan sebuah kota di Wales.
Film yang berdasarkan dari kisah nyata di tahun 1984
ini seperti sebuah inspirational sessions yang santai tapi serius, kalau di Indonesia ibarat sedang menyaksikan
Mario Teguh berbicara di atas panggung, ia punya banyak point cerdas tapi
disampaikan dengan cara yang menyenangkan, jadi tidak terkesan seperti sedang
berkhotbah atau menggurui. Pride tampil seperti itu ditangan Matthew Warchus, cerita yang ditulis
oleh Stephen Beresford seperti
bergerak tanpa pernah melepaskan pijakan pada pedal gas secara total, ada
momen-momen tenang dan halus yang mencoba membuat isu sosial utama itu
mendekati hati nurani kita, terasa sedikit gelap dan intens, tapi ia tidak
pernah berlama-lama disana, langsung disambung dengan elemen lain yang juga
tidak kalah menariknya, seperti contohnya gesekan antara konsep kuno dan modern
yang berlandaskan hak asasi manusia sebagai materi utamanya.
Itu juga yang membuat Pride terasa mengejutkan karena diawal saya sempat merasa pesimis
ini akan mampu saya nikmati terlebih ketika mengetahui kombinasi isu yang ia
punya. Ternyata mereka tidak sangat kental, dalam artian isu-isu tadi mampu
meraih atensi kita dan membuat kita memikirkan mereka, tapi cara ia disampaikan
tidak jatuh menjadi terlalu serius bagi, pelajaran menarik seperti contohnya
tentang kegigihan, kebersamaan, mereka selalu disampaikan dengan cara yang
menghibur. Ada dampaknya memang karena akhirnya tidak semua dari terasa terlalu
kuat, mungkin terasa kurang merata, tapi dengan berbagai kemeriahan yang mereka
sajikan sulit untuk merasakan dampak yang begitu berarti dari hal tadi, banyak
pertunjukan yang berhasil tampil menarik dan efektif untuk menjauhkan perhatian
kita dari hal tadi.
Bisa dibilang Matthew
Warchus beruntung memiliki banyak aktor yang mampu menjadikan karakter
mereka terasa menarik, ada belasan karakter yang baik itu secara individu
maupun tim berhasil memancarkan sinar mereka, dan itu juga berkat kepiawaian
Matthew Warchus mengatur komposisi diantara mereka. Saya suka cara Matthew Warchus menyatukan banyak cerita
yang ia punya, sederhana tapi tidak ada yang terbuang percuma, ada saja
kontribusi kecil yang mereka berikan pada narasi. Itu juga menjadi penyebab
banyak karakter yang terasa menarik, seperti Bill Nighy yang memberikan kinerja meyakinkan, sama halnya dengan Imelda Staunton dengan ledakan-ledakan
yang ia berikan. Yang mengejutkan adalah Ben
Schnetzer, sosok pemimpin dari karakternya berhasil ia tampilkan dengan
meyakinkan.
Bermain-main diantara drama dan komedi memang akhirnya
menjadikan Pride tidak punya satu
dari dua bagian itu yang benar-benar kuat sendirian, karena mereka kuat secara
bersama-sama, dan menjadi sumber dari segala kesenangan yang ia miliki. Pride terasa hangat, ia juga cerdas,
geraknya terasa meriah, kisah persahabatan yang ia bawa juga dapat membuat
penonton menitikkan air mata, tapi ia juga mampu membuat kamu tertawa. Sorry St. Vincent, it’s more funny than you.
0 komentar :
Post a Comment