Tentu saja sesuatu yang wajar bagi seorang filmmaker
yang menciptakan sebuah karya yang berhasil meraup keuntungan besar untuk
kembali mencoba kesuksesan tersebut. Tiga tahun yang lalu Giddens Ko meraih kesuksesan besar lewat You Are the Apple of My Eye, dan kali ini ia kembali dengan materi
dari novel keduanya. Tidak berada di kursi sutradara memang, dan hasil yang ia
berikan juga tidak seperti kakaknya tersebut, tapi Café. Waiting. Love berhasil memberikan tontonan yang cukup
menghibur dengan kisah cinta yang chessy dan konyol.
Si-ying (Sung Yuhua) merupakan mahasiswa yang bekerja paruh waktu di Café.
Waiting. Love, milik seorang wanita tomboy bernama A Bu-si (Megan Lai). Suatu ketika senior Si-ying, A-Tuo (Bruce Lu-Si Bu) datang ke café
tersebut, tapi celakanya ternyata ia punya sebuah sejarah kelam dengan A Bu-si,
yang juga menjadi penyebab dalam waktu singkat ia dan Si-ying menjadi teman
akrab. A Bu-si perlahan menyukai Si-ying, namun ternyata hal tersebut tidak
membuat kisah asmara mereka menjadi mudah, justru masuk kedalam mode menunggu.
Saya mendapatkan apa yang saya inginkan dari seorang Giddens Ko disini, yang meskipun
menyerahkan tanggung jawab mengarahkan cerita kepada Chin-Lin Chiang, tapi di bagian cerita sendiri ia memegang penuh
kendali utama. Kisah cinta super klasik dan sederhana kembali hadir disini, hal
yang juga akan mudah menarik perhatian penonton karena apa yang ia berikan dari
novel keduanya ini juga kembali sangat mudah untuk dirasakan. Ya, masalah
disini itu banyak kita temukan di dunia nyata, Budi menyukai Ani, tapi Ani
justru menyukai Charlie, dan di tangan Chin-Lin
Chiang hal-hal sentimental itu berhasil ia gunakan untuk mempertahankan
atensi penontonnya, hingga akhir, terlebih dengan beberapa kejutan yang tampil
tidak buruk itu.
Apa yang menjadikan film dengan judul aneh ini terasa
menarik karena karakter-karakter didalam cerita mampu membuat kisah dangkal itu
tetap tampak menggemaskan. Dialog cheesy,
tingkah-tingkah aneh dan konyol, mereka bekerja dengan baik, meskipun memang
ada beberapa yang kelewat norak, tapi masih dapat dimaafkan. Hal lainnya adalah
gambar-gambar yang manis, tidak murahan seperti ceritanya itu, begitupula
dengan penampilan beberapa aktor yang terasa natural, chemistry yang terbangun
mampu menjadikan hal klise itu memberikan sengatan yang membuat penontonnya
tersenyum, mampu menjadikan kita merasa santai denga aksi mondar-mandir pada
cerita yang bisa dibilang terasa cukup lambat, kurang dinamis.
Tapi masalahnya film ini tidak punya campuran yang
baik antara sisi serius dan sisi santai, tidak seperti You Are the Apple of My Eye. Sebagai sebuah film komedi ini mungkin
saja akan terasa sangat menarik, tapi kisah cinta yang pada faktanya sejak awal
menjadi jualan utama mereka itu seperti jadi anak tiri. Tidak membosankan
memang, terutama dengan kehadiran humor yang terasa baik itu, tapi kisah cinta
yang jadi pusat utama seperti kurang di eksplorasi, fungsi mereka lebih sering
di set ke mode menunggu, menunggu bagiamana ini akan berakhir, bukannya melihat
bagaimana mereka berkembang untuk mencapai akhir, tidak dibentuk dengan baik,
sehingga akhirnya kisah cinta mereka itu seperti main-main belaka, terasa
kurang serius.
Mungkin kurang berhasilnya film ini untuk tampil sama
baiknya seperti pendahulunya itu lakukan merupakan dampak dari ambisi Giddens Ko yang terlalu besar. Film ini
mencoba memberikan banyak hal untuk mencuri perhatian penonton, sehingga mereka
menjadi sibuk dengan hal-hal konyol tadi dan mengurangi fokus pada cerita cinta
yang mereka bawa. Tidak buruk, komedinya oke, tapi sisi asmaranya lemah,
sehingga Café. Waiting. Love kurang
berhasil menjadi sebuah kombinasi yang manis antara suka dan duka, ia mampu
membuat penonton terjebak dalam hal-hal santai, tapi kurang ketika berbicara
materi serius tentang cinta.
0 komentar :
Post a Comment