"You never forget your first love."
Misi yang dibawa oleh The Best of Me pada dasarnya mungkin baik, dimana ia seperti ingin
mencoba menghadirkan kisah dari novel Nicholas
Sparks ini kedalam bentuk penyajian yang sedikit berbeda, memberikan
sentuhan kecil yang membuatnya berbeda jika dibandingkan dengan empat film
adaptasi novel Nicholas Sparks (Dear
John, The Last Song, The Lucky One, Safe Haven) yang selalu berputar-putar
di template yang sangat identik. Sayangnya niat tersebut memberikan hantaman
boomerang yang sangat besar bagi film ini.
Kematian teman mereka membuat Amanda Collier (Michelle Monaghan) dan Dawson Cole (James Marsden) kembali bertemu. Keduanya merupakan
mantan kekasih, namun perpisahan selama dua dekade itu tidak mampu menahan
ledakan asmara diantara mereka. Api cinta mereka ternyata masih menyala,
terlebih dengan kembali hidupnya kenangan masa lalu ketika mereka masih remaja
(Luke Bracey dan Liana Liberato). Namun ada yang berubah, hal-hal dari kehidupan
dewasa yang rumit menghalangi upaya dari cinta mereka untuk kembali mekar.
Empat film yang saya sebutkan di bagian pembuka tadi
punya satu kesamaan: memilih bermain aman pada pola yang standard. Hasilnya
tidak begitu buruk, Dear John
misalnya, saya juga tidak begitu merasa kecewa dengan Safe Heven, karena dibalik fakta dimana kita tahu bahwa mereka
dangkal, bahkan sesekali menjadikan materi klise tampak bodoh, mereka punya
pesona yang mampu membawa saya kedalam fantasi romansa mereka. Hal yang sangat
penting itu absen di film ini, seolah ingin memanjakan penonton dengan berbagai
romantisme yang simple tapi justru ternyata ia menyimpan sebuah ambisi yang
sangat besar, ambisi yang sayangnya tidak punya penopang yang kuat untuk
menjadikannya tampak memukau, justru sebaliknya, menjadi tampak konyol.
The Best of Me sebenarnya bisa menjadi hiburan sederhana yang
menyenangkan, apresiasi juga sempat hadir ketika melihat penampilan para aktor
(terutama karakter dewasa) yang tidak buruk jika mengingat materi yang mereka
miliki pada dasarnya sangat miskin, tapi celakanya The Best of Me ingin lebih dari itu. Terlalu banyak hal-hal yang
terjadi disini, bukan sesuatu yang buruk memang, tapi mereka seperti saling
membunuh. Cerita yang ditulis oleh Will
Fetters dan J. Mills Goodloe
tidak mampu menyediakan materi yang baik, bahkan hasil kerja mereka dapat
dikatakan buruk, dan itu ikut berpindah ke Michael
Hoffman, mencoba membuat ini tampak rumit namun akhirnya jatuh menjadi
drama romantis manipulatif yang bertele-tele dan menjengkelkan.
Hal yang paling menjengkelkan dari film ini adalah fakta
bahwa ia punya ambisi yang besar untuk memberikan kejutan di bagian akhir tapi
perjalanan menuju kesana tidak lebih dari sekedar copy and paste dari empat
film diatas tadi. Unsur romantis dan melodramatis yang ia miliki tidak klik
dengan baik, hal yang sama juga terjadi pada urutan kilas balik, mencoba
memberikan detail tapi malah menjadi sumber rasa bosan. Dramatisasi yang ia
miliki juga seperti tidak ditempatkan dengan baik, manipulasi yang ia lakukan
kurang cermat, ada bagian yang seharusnya mendapat perhatian lebih tapi
diabaikan, tapi ada juga yang kurang penting tapi diperdalam, seperti konflik
antara Dawson dan ayahnya itu. Jadi jika kamu perlahan merasa kehilangan
ketertarikan atau rasa peduli pada karakter, kesalahan bukan di kamu, tapi pada
script dipenuhi dialog cheesy yang tidak efektif dan tidak cermat.
Jika penulis dan sutradara dapat sedikit saja menaruh
perhatian mereka pada proses ketimbang menaruh seluruh fokus pada upaya agar
akhir cerita tampak megah, The Best of Me
dapat berada di level yang sama dengan Safe
Haven, kisah romantis dan melodramatis yang sederhana dan efektif, bukannya
justru mencoba tampil berbeda dengan berbagai penceritaan liar yang berlebihan
namun harus berakhir menggelikan.
0 komentar :
Post a Comment