Dibalik kesederhanaan
yang ia tampilkan film ini berhasil menggambarkan salah satu hal kejam yang
dapat kita temukan dengan sangat mudah di dunia yang sudah kejam ini. Anda bisa
saja memiliki puluhan bahkan ratusan teman atau sahabat yang dapat menjadi tempat rekan ketika anda berbagi kebahagiaan, namun ketika anda berada didalam situasi yang
sebaliknya jumlah tersebut sangat mungkin tidak akan lagi sama, terlebih dengan
keterlibatan tahta dan harta didalamnya.
Two Days, One Night (Deux jours, une nuit), a soft and simple illustration
about world is a battlefield.
Wanita bernama Sandra (Marion Cotillard) mendapatkan
sebuah kejutan sangat besar yang sayangnya justru dapat membawa kehidupannya
kearah yang lebih buruk dari apa yang ia jalani sekarang. Wanita muda dan ibu
rumah tangga ini memperoleh kabar dari sahabat dekat yang juga merupakan rekan
kerjanya bahwa ia akan dipecat secara paksa oleh perusahaan solar-panel tempat
ia bekerja. Keputusan itu dikatakan merupakan hasil dari pemungutan suara yang
melibatkan enam belas pekerja lain yang nantinya akan mendapatkan jam kerja
tambahan untuk menutupi posisi yang ditinggalkan Sandra, dan tentu saja
otomatis mereka juga akan mendapatkan bonus tambahan.
Namun ternyata ada
fakta lain yang memberikan Sandra kesempatan untuk mempertahankan pekerjaannya.
Voting tadi dikatakan berlangsung dibawah tekanan seseorang yang tidak menyukai
Sandra, dan hasilnya pemimpin perusahaan memberikan kesempatan untuk melakukan
voting ulang. Tapi perjuangan Sandra tidak berhenti sampai disitu, karena
kondisi tersebut memaksanya untuk meraih minimal sebanyak sembilan suara pada
voting berikutnya, dalam rentang waktu yang sempit berusaha mendatangi rekan
kerjanya satu persatu untuk meminta mereka bersimpati dan nanti memilihnya, hal
yang menghasilkan dilema karena dengan begitu mereka juga akan kehilangan bonus
tambahan.
Dardenne
brothers (Luc Dardenne
dan Jean-Pierre Dardenne) kembali
berhasil melakukan apa yang mereka tampilkan di karya terakhir mereka tiga
tahun lalu, The Kid with a Bike, ciri
yang telah identik dengan dua bersaudara ini yang kembali mereka andalkan, dan
mungkin saja akan kembali memecah persepsi penonton pada hasil akhir
keseluruhan yang mereka berikan. Masalah sederhana bersama dengan objek studi
yang juga sama sederhananya, narasi yang repetitif dimana kita diajak untuk
bergerak kesana kemari yang jika dinilai secara kasat mata seolah tampak
bingung ketika mencoba berkembang, terus dialirkan dalam dinamika yang tenang
tanpa bantuan ledakan-ledakan seperti dramatisasi hingga penggunaan score, tapi
dibalik itu ia mampu membawa penonton untuk terus merasakan emosi pada misi dan
pesan utama yang bertumbuh dari awal hingga akhir.
Tidak heran jika ada
penonton yang akan menilai film ini sebagai sebuah drama yang lesu, loyo, seolah
mati rasa dan bergerak tanpa semangat, karena pengulangan secara terus menerus
dari sebuah pola dasar yang mereka terapkan itu memang harus diakui sangat
mudah untuk membentuk penilaian tadi. Kurang variatif, mungkin sederhananya
seperti itu, karakter utama bertemu dengan rekan kerjanya, memulai percakapan
dengan mengucapkan baris dialog yang secara garis besar selalu sama, kemudian
mulai dihadapkan pada dilema berisikan pertarungan antara logika dan perasaan,
lantas ketika hasil telah didapat kita kembali berpindah menuju rekan lainnya.
Bukan hanya satu, dua, atau tiga tapi minimal sembilan orang harus “diraih”
agar karakter utama dapat memenangkan pertarungan itu, sesuatu yang justru
menjadi hal paling menarik dari film ini.
Two
Days, One Night bukanlah sebuah drama yang menawarkan
penontonnya suguhan untuk mencari jawaban atas pertanyaan, ini hanyalah sebuah
petualangan sangat sederhana yang tampil natural dengan mencoba memutar masalah
kecil tadi untuk menggambarkan isu kemanusiaan. Proses atau perkembangan
karakter berhasil mengalahkan cerita untuk menjadi daya tarik paling besar, dan
apa yang coba disampaikan oleh film ini akan terasa semakin kuat dan mendalam
jika sejak awal anda sudah merasakan apa yang Sandra rasakan, bagaimana jika
Sandra adalah anda. Di set untuk
mengikuti karakter yang berjuang mempertahankan apa yang ia miliki kita tidak
dibawa seperti mengendarai rollercoaster dengan
dinamika cerita yang pedas, tapi dengan penuh ketenangan potret perjuangan dari
wanita yang terus mengemis belas kasihan ini justru memberikan hasil akhir yang
cukup pedas pada isu utama yang ia bawa.
Ya, cukup pedas, dari
sikap tidak pantang menyerah, rasa solidaritas, simpati hingga empati, segala
hal positif tadi berhasil disampaikan dalam ketegangan penuh ketenangan yang
mayoritas bekerja dengan baik, terasa intim dan intens, dan itu merupakan
pencapaian yang besar karena ia juga terhitung mampu menutupi nilai minus yang
ia miliki. Apa saja? Sensasi pada cerita menjadi masalah utama, dan itu berasal
dari pengulangan yang ia lakukan. Ada di beberapa bagian dimana saya mulai
kehilangan rasa sabar dan ingin agar Sandra segera mendapatkan yang ia
perlukan, dan itu memang pernyataan yang aneh karena setelah menyebutnya
sebagai perjalan intens dan intim tidak dapat dipungkiri pula sedikit sulit
untuk menginvestasikan emosi saya sepenuhnya pada Sandra, dan jika harus
membandingkan ia kalah dengan apa yang dilakukan oleh Cyril Catoul, terutama pada bekal karakterisasi yang sejak awal
terasa sedikit minim.
Terkesan kecil memang
tapi ada dampak domino dari kekurangan super kecil tadi, dan itu dalam wujud
sebuah pertarungan. Karakter Sandra memang memancarkan kehangatan, dan
perjuangannya yang bisa saja terkesan dibangun dengan sangat hati-hati oleh
Dardenne Brothers dimana memberikan momen bagi penonton merasakan sakit yang ia
rasakan yang terhitung berhasil, tapi ini minim kejutan, gerak mondar-mandir
yang periodic bersama setting minimalis yang ia miliki terasa kurang kuat dalam
memberikan kontribusi pada power berbagai isu yang ia usung, dan seperti yang
disebutkan sebelumnya pada akhirnya mereka terasa kurang pedas, kurang
provokatif untuk memberikan pertanyaan tentang humanisme, pukulan-pukulan kecil
yang mereka berikan kepada penonton yang tersebar di setiap sketsa kecil itu
kurang stabil, ada yang benar-benar kuat tapi ada pula yang terasa lemah, hal
yang membuat perjalanan Sandra tidak terasa seperti lapisan yang satu persatu
menumpuk dan akhirnya mencapai titik tertinggi.
Tapi ada nilai positif
besar dari kekurangan tadi, dan dapat dikatakan juga menjadi sumber dari
keputusan untuk tidak begitu mempermasalahkan dampak yang diberikan kekurangan
tadi. Nilai positif itu adalah penampilan dari Marion Cotillard, dan dapat dikatakan merupakan salah satu performa
paling standout di tahun ini pada kategori aktris. Meskipun Sandra akhirnya
tidak menjadi karakter yang benar-benar megah, tapi apa yang Marion Cotillard lakukan terhitung
sangat baik jika menilik karakterisasi yang diberikan kepadanya sangat minim,
mampu ia olah menjadi sebuah tahapan bagi penontonnya, pertama kita merasa
Sandra menarik, lalu merasa empati pada masalah yang ia hadapi, kemudian mulai
menyaksikan gejolak emosi yang satu persatu menghampirinya. Bukan hanya manis,
tapi Marion Cotillard mengubah Sandra menjadi wanita rapuh yang sangat menarik
dan juga “cantik”, kegigihan dan rasa ragu ia bakar secara bersama dengan
pertarungan penuh tekanan dan depresi yang ia alami.
Overall, Two Days, One Night adalah film yang
memuaskan. Merupakan sebuah pencapaian yang memikat mengingat dengan cara
mondar-mandir ketika ia bergerak Dardenne
brothers kembali berhasil menghadirkan sebuah studi karakter yang bukan
hanya mampu terus meraih atensi penontonnya hingga akhir, tapi juga memberikan
mereka sesuatu yang menarik ketika ia telah berakhir lewat isu humanisme yang
ia usung. Sayangnya tidak seperti penampilan yang diberikan oleh Marion Cotillard secara keseluruhan ini
terasa kurang standout, sebuah kemasan yang lembut dan cekatan namun kurang
berhasil membawa penonton merasakan sebuah petulangan dengan gejolak batin
serta isu-isu yang konsisten menghantui pikiran dan emosi mereka.
0 komentar :
Post a Comment