“If we burn, you burn with
us!”
Damn you Harry Potter, karena upaya empat tahun lalu untuk memanfaatkan potensi box-office dengan membagi film terakhir menjadi dua bagian kini perlahan akan bahkan telah menjadi trend baru yang menarik untuk dicoba. Bukan perlakuan yang merupakan sebuah dosa memang, namun masalahnya adalah tidak semua film adaptasi layak mendapatkan treatment seperti itu, tidak semua buku atau novel memiliki materi yang mumpuni untuk dipecah menjadi beberapa bagian, tentu ada hal positif, namun tidak sedikit pula hal negatif yang dapat muncul. Bagian pertama dari film terakhir trilogi perjuangan di negeri Panem ini menderita karena hal terakhir tadi, The Hunger Games: Mockingjay - Part 1, a bit forced, feeble, faint, and facile formality fission for farewell.
Perjuangan untuk membebaskan Panem dari tangan
diktator bernama Coriolanus Snow (Donald
Sutherland) kembali berlanjut, dimana setelah memberikan kejutan ketika
berhasil “mencuri” Katniss Everdeen
(Jennifer Lawrence) saat Quarter
Quell tengah mencapai babak akhirnya, sosok dibalik layar dari perjuangan
tersebut terus berusaha melanjutkan misi yang telah mereka rancang itu. Plutarch Heavensbee (Philip Seymour Hoffman)
bersama seorang wanita bernama Alma
Coin (Julianne Moore) telah merancang revolusi untuk secara bertahap
mengambil alih Panem, dan usaha pertama mereka adalah mencoba memanfaatkan api
pemberontakan yang telah terbakar dari jarak jauh, dari Distrik 13.
Ya, Katniss telah lekat dengan image Mockingjay, karena sikap “berani” yang
ia perlihatkan saat berada di arena pertarungan The Hunger Games telah berhasil menarik perhatian mayoritas
penduduk negeri Panem bahwa kebebasan
yang mereka idamkan bukan sesuatu yang mustahil. Wanita muda ini menjadi pusat
dari revolusi, ia seolah menjadi boneka dimana kelebihannya coba di eksplorasi
untuk semakin memperbesar api pemberontakan, salah satu dengan menciptakan
video propaganda. Tapi celakanya disisi lain Presiden Snow juga berupaya memadamkan pemberontakan, dan ia punya
senjata yang sangat efektif, senjata yang mampu membuat Katniss menjadi goyah: Peeta Mellark (Josh Hutcherson).
Bukan hanya beberapa tapi sangat yakin banyak orang
yang telah membaca novel trilogi The
Hunger Games mengatakan bahwa Mockingjay
merupakan buku paling lemah dari trilogi milik Suzanne Collins ini, tapi hal sebaliknya justru terjadi pada saya,
super slightly better than Cathing Fire,
dan imo merupakan buku terbaik dari trilogi ini. Mungkin pergeseran tema dari
yang awalnya mayoritas berisikan aksi perjuangan “nyata” di lapangan kemudian
sedikit bergerak menuju “mind war” atau pertarungan strategi banyak memberikan
pengaruh pada penilaian bahwa Mockingjay
adalah buku yang lemah, ia tidak bergerak sedinamis dua buku awalnya, ia memang
lebih banyak berisikan permainan intrik dalam ketenangan tapi punya gesekan
yang intens, bahkan emosi pada buku ini merupakan yang paling “manusia” dibalik
status dua karakter utamanya yang sebatas menjadi puppet dari dua kubu yang
berseteru.
Tapi seperti yang disebutkan diawal tadi bahwa tidak
peduli seberapa menarik, intens, intim, menegangkan cerita yang dihasilkan
sebuah novel, tidak semua dari mereka layak untuk dipecah untuk menjadi dua
bagian, dan sikap licik dan keras kepala dari Lionsgate akhirnya mendapatkan pukulan yang keras di film ini.
Meskipun berisikan permainan manipulatif dengan menggunakan media untuk
mendorong unsur politik bergerak semakin kedepan, Mockingjay pada dasarnya tidak memiliki bahan yang cukup untuk
dipecah menjadi dua bagian yang bukan hanya sama besar tapi juga sama baiknya,
dimana drama dan action saling membantu. Jadi jangan heran jika anda akan
merasakan seperti ada sesuatu yang hilang di film ini dari apa yang pernah anda
rasakan di dua film terdahulunya, karena The
Hunger Games: Mockingjay - Part 1 sengaja bermain di sisi drama, dan
sengaja menyimpan action untuk bagian keduanya.
Apakah itu sesuatu yang salah? Tidak, tapi dampaknya Francis Lawrence kurang berhasil
memberikan sebuah petualangan yang bukan hanya seimbang baik itu pada drama dan
action, tapi sebuah petualangan yang juga terus mampu membakar daya tarik atau
semangat penonton pada perjuangan yang dibangun karakter. Kurang dinamis,
segala kenikmatan dan hal-hal menarik yang telah mereka bangun sejak awal
seperti tidak mendapatkan kesempatan yang besar untuk bertumbuh dengan sangat
baik. Bukan berarti buruk, bahkan dari sisi konflik sendiri kita akan mudah
untuk menemukan apa yang sebenarnya terjadi diantara Capitol, Distrik 13, dan seluruh Panem, dan upaya utama mereka untuk membuat penonton semakin
penasaran dengan film keduanya juga terbilang baik, tapi masalahnya adalah
ketimbang menjadi jembatan yang menghubungkan kita dari babak satu menuju babak
kedua film ini lebih terasa sebagai sebuah extra time yang terlalu lunak.
Ya, terlalu lunak, dan cerita menjadi masalah
utamanya. Dampaknya sangat terasa ketika diawal kita punya penulis novel
sebagai screenwriter, kemudian di film kedua kita mendapatkan dua penulis kelas
Oscar, dan kali ini cerita ditulis
oleh sosok dibalik kesuksesan tv-movie bertemakan politik, Game Change. Akhirnya The
Hunger Games: Mockingjay - Part 1
seperti terjebak sepenuhnya di tema terakhir tadi, permainan politik penuh
intrik, menyaksikan karakter bergulat dengan rencana mereka di dalam bunker
bawah tanah sembari sesekali diberikan situasi yang terjadi di distrik-distrik
di luar sana. Lantas masalahnya apa? Masalahnya adalah disamping keputusan
mereka untuk setia pada novel, Danny
Strong dan Peter Craig tidak
berhasil mengembangkan sinopsis diatas tadi untuk memperkokoh pesona dari perjuangan, tapi justru
menjadikan perencanaan pemberontakan itu melemahkan sisi heroik Katniss yang
telah terbangun selama ini, dan itu sangat disayangkan mengingat fakta bahwa
sebuah peperangan besar telah menanti mereka.
Banyak bagian kecil yang dapat di potong dari film
ini, untuk kemudian memberikan ruang bagi babak kedua yang sesungguhnya juga
dapat digabungkan menjadi satu kemasan film. Francis Lawrence mungkin bisa beralasan ia ingin untuk semakin
mengembangkan karakter, dan mengubah warna cerita untuk semakin gelap, tapi
progress yang ia berikan di dua hal tadi terasa kecil yang juga akan
menjadikan anda mulai berpikiran lain, it’s all about business. The Hunger Games: Mockingjay - Part 1 dapat
dikatakan menjadi salah satu kejutan terbesar di tahun ini, sebuah kejutan yang
cukup mengecewakan, sebuah kemasan yang tidak mampu mengalihkan atensi penonton
dari upaya licik mereka di sektor keuntungan dengan memberikan hiburan yang
menghibur dan menyenangkan. Drama yang terlalu stabil dalam pace yang tidak
jarang terasa lesu menjadikan kesan liar dari perjuangan yang tercipta terasa
sangat minim, sensasi dan thrill dari perjuangan yang telah ia miliki sejak
awal juga mengalami downgrade yang
cukup signifikan.
The Hunger Games menjadi besar karena karena ia punya drama yang efektif dan tidak
terlalu sentimental yang kemudian digabungkan bersama action yang penuh
ketegangan, dan di film ini pola tadi di putar posisinya, melodrama dengan ketegangan
yang minimalis. Ya, sederhana, hanya itu yang menjadi masalah buat saya yang
sulit untuk menyukai film yang membagi dua finale seperti ini, termasuk Harry Potter, karena THG kuat sebab ia
punya drama dan action yang saling membantu, dan ketika salah satu dari mereka
disimpan untuk babak kedua akhirnya ini hanya menjadi sebuah presentasi yang
lunak. Disamping cerita elemen lain tidak ada yang mengalami dowrgrade, sisi
teknis masih tampil dengan standard yang telah mereka capai di film terdahulu,
sedangkan divisi akting mungkin dapat menjadi alasan untuk tidak memberikan
label kepada film ini sebagai film yang kacau, karena mayoritas dari mereka
mampu memanfaatkan kesempatan yang mereka punya.
Kali ini Jennifer
Lawrence memperoleh tugas yang telah menjadi keahliannya, memancarkan emosi
lewat akting yang sederhana. Kekacauan dan gejolak pikiran dan perasaan yang Katniss alami tergambarkan dengan manis,
meskipun Katniss akhirnya harus sedikit kehilangan pesona pahlawan yang ia
miliki namun aksi merenung mondar-mandir yang ia berikan mampu memberikan emosi yang baik dan pondasi bagi babak kedua nanti. Kejutan berasal dari Philip Seymour Hoffman, Julianne
Moore, dan Liam Hemsworth, peran
mereka sangat terasa di film ini didalam perencanaan pemberontakan, meskipun
memang lebih banyak disebabkan karakter mereka memiliki kesempatan yang lebih
besar dibandingkan aktor lain, sebut saja Donald
Sutherland, Woody Harrelson dan Elizabeth
Banks. Pengecualian mungkin pada Josh
Hutcherson, peran yang dimiliki oleh Peeta
memang terbilang kecil tapi ia berhasil menjalankan tugasnya yang terbilang
penting untuk memperluas cerita dengan cara yang efektif.
Overall, The
Hunger Games: Mockingjay - Part 1 adalah film yang cukup memuaskan.
Bayangkan saja jika di sepanjang film Batman
yang masih pensiun bersama Alfred
Pennyworth hanya bisa mempersiapkan upaya untuk nanti menyelamatkan Gotham di film kedua, ada proses tapi
minim sensasi, atau mungkin yang lebih sederhana dimana tugas sebanyak 10
halaman dengan font size 12 tapi justru di buat dengan font size 24 hanya
sebatas untuk mencapai syarat yang ditentukan. Tidak salah membagi film menjadi
dua bagian untuk memanfaatkan potensi box-office,
tapi hal tersebut harus di imbangi dengan keberhasilan menjadikan bagian
pembuka tetap terasa menarik, memberikan sebuah perkembangan yang bukan hanya
terasa segar, tapi mampu menjaga pencapaian yang telah mereka raih, dari
pesona, emosi, dan sensasi, yang di film ini tidak semuanya berhasil tampil
kuat, ada yang menjadi redup, ada yang terasa terlalu lunak. Remember, girl on fire, I'm still betting on
you!
Huffft. Nilai 7.25 dari sini gue simpen .25 buat tambahan nilai yg part 2 nanti. Hahaa. Bener banget ada bagian yg bisa dikurangi biar jadi 1 part aja. Contohnya pmbuatan video2 propo. Kehadiran peeta minioritas tapi maknanya sangat besar dan berpengaruh. Sblum nonton film ini gue udah nebak2 dluan ni film bakal bersambung dimana, dan trnyata bingo! Yah jadi biasa aja
ReplyDeleteSaya kirain malah bakalan di putus pas insiden Katniss dengan penambang di distrik 2, supaya mengejutkan. Tapi ternyata, hahaha. :)
DeleteBiarlah menjadi lebih dramatis macem drama korea~ *sigh*
ReplyDeleteKeputusan score 7.25 untuk sekuel ini rasanya nggak pas...
ReplyDeleteMenurut saya The Maze Runner dengan score 6.5, masih lebih menarik (dari segi cerita).