"Why did this happen to our little girl?"
Jika ditanya arti anak dalam kehidupan mereka, banyak
orang tua akan menjawab anak sebagai alasan mereka hidup dan bekerja keras,
sumber dari senyuman di wajah mereka, hingga permata yang menyinari kehidupan
mereka. Ya, permata, anak ibarat permata bagi para orang tua, sosok yang akan
berkilau ketika mereka telah dewasa, yang juga menjadi sumber kebahagiaan
terbesar orang tua karena merupakan hasil dari kerja keras mereka di fase awal
ketika menjaga, merawat, dan menuntun anaknya saat mereka masih kecil. Film ini
menghadirkan sebuah kehancuran di fase awal tadi, Hope/Wish (Sowon): if it was your kid, can you call it an accident?
Demi masa depan yang cerah bagi putri kesayangan
mereka yang sangat menggemari Kokomong,
Im So-won (Lee Re), Im Dong-hoon (Sol Kyung-gu) beserta
istrinya Kim Mi-hee (Uhm Ji-won) terus
fokus untuk bekerja keras pada pekerjaan mereka. Di pagi hari Kim Mi-hee sudah
sibuk mengurus So-won sembari bersiap untuk membuka stationary shop yang berada
di rumah mereka. Sedangkan Im Dong-hoon lebih padat lagi, ia bekerja di sebuah
pabrik lokal yang membuatnya jarang menghabiskan waktu bersama So-won, hanya
memberikan sebuah respon sederhana ketika ditanyai tentang tugas rumah anaknya,
bahkan mengikat rambut So-won saja ia tidak bisa.
Suatu hari kehidupan dengan pola yang sama itu
seketika berubah. Pekerjaan menjadikan Mi-hee dan Dong-hoon tidak dapat
mengantarkan So-won menuju ke sekolah yang jaraknya tidak begitu jauh, sehingga
So-won memutuskan berangkat sendiri menggunakan payung karena sudah terlambat.
Namun lingkungan yang kala itu sudah sepi, serta tidak adanya sahabat So-won
bernama Han Young-seok (Kim Do-yeob)
yang biasanya selalu setia menemaninya, memberikan sebuah bencana bagi So-won,
berasal dari pria asing yang ingin berbagi payung dengannya, yang menghasilkan
sebuah panggilan telepon dari polisi bagi Mi-hee dan Dong-hoon.
Film yang berada dibawah kendali Lee Joon-Ik ini merupakan sebuah dramatisasi dengan perpaduan yang
manis. Kita punya sebuah konflik yang kejam dan kontroversial, kejahatan dan
kekerasan pada anak kecil dibawah umur yang akan dengan mudahnya membuat penonton
terbakar amarah, tapi disisi lain hadir sebuah penceritaan yang seolah di isi
dengan beberapa bongkahan es berukuran kecil yang sesekali mampu meredam emosi
penontonnya, tanpa harus mematikan kobaran api pada konflik utama. Hal tersebut
yang menjadi alasan mengapa kisah yang sebenarnya jika ditilik lebih dalam
tidak memberikan sesuatu yang benar-benar baru ini anehnya justru berhasil
memberikan dua jam yang terasa “menyenangkan”, ada sebuah rollercoaster emosi
yang lembut dan manis dibalik kesan manipulatif yang memang telah ia dorong ke
posisi terdepan.
Ya, ini adalah kisah manipulatif yang menyenangkan,
sebuah drama tearjerking yang terkadang akan membuat anda terdiam, terenyuh,
bahkan mungkin meneteskan air mata tanpa harus memberikan pertunjukan murahan
yang seolah mengemis atensi dan emosi penontonnya. Mengalir dengan lembut
merupakan kunci kesuksesan tesebut, ada kesan percaya diri pada kisah yang
ditulis ulang oleh Jo Joong-hoon dan Kim Ji-hye dari kisah nyata yang terjadi
enam tahun silam itu, apa yang ingin ia sampaikan berhasil ia bangun dengan
kokoh dan kemudian ia tempatkan di pusat cerita, citra mengerikan dari kasus
utama tetap ia jaga dengan intensitas yang tepat, tapi cara ia mewarnai proses
memperkuat pesan tersebut juga dipenuhi dengan hal-hal sederhana yang tidak
kalah menariknya, terkadang terasa tajam, pedas, dan mereka penuh dengan
pesona.
Itu menjadi sebuah kejutan bagi saya, karena ketika
tahu apa yang akan ia bahas pada awalnya sempat terpikirkan bagaimana cara yang
akan ia pakai untuk memperpanjang cerita yang sebenarnya bisa saja selesai
dalam dua kali persidangan itu. Seperti yang ia lakukan di Sunny (2008), disini Lee Joon-Ik tidak
ingin agar konflik utama menjadi fokus tunggal bagi penonton, ada kombinasi
dengan berbagai isu lain yang ia rajut dengan halus disini sehingga membentuk
lapisan-lapisan yang saling membantu, dari gejolak mental yang dialami
orangtua, rasa shock, rasa penyesalan, hubungan anak dan orangtua, hingga masuk
ke lingkup yang lebih luas dengan melibatkan respon dari lingkungan sekitar
terhadap korban, semua ditelisik dengan eksekusi yang efektif, mereka
dimasukkan dalam kuantitas yang kecil tapi dengan kualitas yang sangat kontras.
Itu mengapa dibalik materi standard yang miliki Wish
berhasil menjadi salah satu drama yang memberikan pengalaman emosi paling
menarik di tahun ini, karena ia berhasil mempermainkan penonton dengan
manipulasi yang cerdas. Seperti bermain tarik dan ulur, ia terus memprovokasi
emosi tapi di sisi lain perlahan membuka pandangan terkait kebaikan, drama di
ruang persidangan yang di set dalam mode
menunggu itu didampingi dengan aksi mondar-mandir berisikan pemulihan (lagu
background yang dipakai manis) yang tidak hanya memperdalam rasa sakit tapi
juga mulai menggerus pandangan kita pada aksi balas dendam yang telah identik
sebagai jalan untuk menyelesaikan kasus seperti ini. Seperti judulnya, hope,
pandangan kita seperti di set untuk melangkah jauh kedepan, konsep klise dengan
prioritas pada kehidupan yang berisikan permainan hubungan antara kebaikan dan
kejahatan.
Anggap saja Wish sebagai film yang berisikan proses
membangun kembali, lepas dari masa lalu untuk sesuatu yang lebih baik di depan
sana. Ini mungkin akan mengecewakan bagi mereka yang tidak klik dengan konsep
kebaikan untuk kejahatan, hikmah hasil dari musibah, yang sebenarnya justru
menjadi salah satu hal menarik yang dihasilkan film ini. Ada konsep kedewasaan
dalam hidup disini, bagaimana kemampuan anda untuk bangkit dan terus berlari
merupakan jawaban yang paling tajam untuk orang-orang yang telah menjatuhkan
anda. Hal tersebut berhasil disampaikan dengan baik oleh cerita dan juga divisi
akting, dari Sol Kyung-gu yang
menjadi penggerak utama cerita, berhasil tampil meyakinkan terutama pada rasa
sakit seorang ayah lengkap dengan penyesalan, hal yang juga dilakukan dengan
lembut oleh Uhm Ji-won. Sedangkan Lee Re adalah bintang utama,
karakterisasi yang kuat pada penggambaran So-won sebagai korban tak berdosa.
Overall, Hope/Wish
(Sowon) adalah film yang memuaskan. Materinya klasik, konflik yang ia bawa
juga standard dan mungkin saja kurang menantang, pesan yang ingin ia sampaikan juga berpotensi terasa klise, formula yang ia gunakan untuk membangun cerita juga
sangat familiar, tapi ketika hal-hal tadi di rajut dengan narasi yang cermat, menggabungkan
hitam dan putih kehidupan dengan manipulasi yang dewasa dan cerdas, Hope/Wish berhasil memberikan dua jam
dramatisasi yang lembut, manis, dan mungkin akan sulit untuk dilupakan. The loneliest
person is the kindest, the saddest person smiles the brightest, because they
don't want others to feel the same pain. Segmented.
Suka banget sama film ini! Dan akhirnya direview juga. Yeay! Masih ditunggu Bleak Nightnya, bang rory! :D
ReplyDeleteBleak Night masuk kok. Slotnya lusa. :)
DeleteFilm ini secara semena-mena mempermainkan emosi dan perasaan, benar-benar film yang bagus dan sangat tearjerker T_T perjuangan sang ayah dan ibu, semangat sang anak serta dukungan dari teman-teman dan orang sekitar benar membuat film ini menjadi sangat memorable. Review yang sangat bagus! :))
ReplyDelete