"Are you a murderer in
the making?"
Penyesalan memang
memiliki tugas untuk hadir belakangan, ia tidak pernah hadir sebelum sesuatu
yang buruk terjadi. Itu mengapa kita selalu mengatakan hidup hanya sekali maka
lakukan yang terbaik yang kamu bisa lakukan, cermat dan berhati-hati dalam
bersikap karena terkadang hal kecil dapat memberikan dampak buruk dan rasa
sesal yang sangat besar, your ignorant act can destroy you, your cruel words
can kill you. Hal tersebut hadir di film ini, dari keluarga hingga
persahabatan, Elegant Lies (Thread of
Lies), an elegant tearjerker with a lovely story construction.
Ketika ia sedang asyik
dengan penuh ketelitian menyetrika seragam sekolah miliknya, Cheon-ji (Kim Hyang-gi) tiba-tiba dikagetkan
oleh kakak perempuannya yang datang meraih seragam sekolahnya yang belum ia
setrika, memakainya dengan santai sembari berkata baju tersebut akan kusut
kembali satu jam kemudian. Man-ji (Go
Ah-sung) memang memiliki kepribadian yang berbeda dari adik perempuannya
tersebut, ia bukan tipe anak manis, pendiam, dan penurut seperti Cheon-ji,
sikap angkuh dan keras yang kerap menjadi pertanyaan mengganggu bagi ibu
mereka, Hyun-sook (Kim Hee-ae).
Namun Man-ji merupakan
seorang kakak yang supportif, ia bahkan mendesak ibunya untuk memenuhi
permintaan Cheon-ji meskipun kondisi ekonomi mereka sedang sulit. Pagi itu
ketika sedang sarapan Cheon-ji mengajukan sebuah permintaan kepada ibunya, hal
yang sebelumnya belum pernah ia lakukan. Sebagai hadiah bagi ulang tahunnya
bulan depan, gadis muda yang introvert itu meninginkan sebuah MP3 player, yang ditolak oleh ibunya.
Ternyata itu menjadi permintaan terakhir Cheon-ji, karena setelah itu sesuatu
yang sangat buruk terjadi, Cheon-ji bunuh diri didalam kamarnya, tragedi tanpa
masalah yang jelas, yang menciptakan pertanyaan dan masalah bagi orang-orang
yang ia tinggalkan.
Tenang, isu bunuh diri
yang tercantum pada sinopsis diatas tadi tidak akan merusak kenikmatan film ini
sama sekali, ia hadir sangat awal, malah hal tersebut memiliki kontribusi yang
sangat besar pada berbagai kenikmatan yang film ini akan hadirkan berikutnya
secara bertahap itu. Lee Han sangat
cerdik di elemen ini, sejak awal kisah yang ia bentuk ulang bersama Lee Sook-Yun dari novel karya Kim Ryeo-Ryeong itu sukses mencengkeram
penontonnya, kita tahu ada aksi bunuh
diri, ada sesuatu yang benar-benar buruk telah terjadi, dan dari sana kita akan
berpikir tidak ada lagi hal-hal yang lebih buruk dari itu yang akan hadir
selanjutnya. Boom, salah besar, dan seperti gulungan benang wol dengan sebuah
kertas di bagian tengah itu kita diajak untuk berjalan bersama rasa penasaran
dan menemukan kejutan dengan bertumpukan pada masalah mental yang jauh lebih
kompleks.
Itu adalah alasan
mengapa setelah ia berakhir anda akan terkejut bahwa anda baru saja
menghabiskan dua jam bersama drama yang dari luar tampak sangat sederhana ini,
karena didalamnya hadir sebuah dramatisasi penuh kerumitan yang menyenangkan.
Penceritaan yang rapi dan nakal menjadi faktor terkuat, narasi yang berisikan
unsur drama, misteri, family, bahkan sedikit rasa horor itu ditenun dengan
manis, punya komposisi yang seolah tahu bagaimana mempermainkan rasa penasaran
penonton dengan cara yang tepat tanpa harus mengorbankan kuantitas dan kualitas
terkait sensitifitas dari cerita dan karakter. Sesuai dengan judulnya, semua
dibentuk dengan cara yang elegan, eksplorasi terkait isu bullying yang
disandingkan bersama semangat dalam hidup, manipulasi perasaan yang bukan hanya
seimbang tapi juga efektif.
Ya, efektif, Lee Han tahu bagaimana cara menyampaikan
apa yang ingin ia sampaikan. Pesan tentang perjuangan pasca tragedi berhasil ia
jaga untuk terus terasa ringan namun juga memiliki kedalaman yang mumpuni, ia
menyentuh penonton dengan konflik utama tapi menghindarkan mereka dari kondisi
yang terlalu mellow, dan ketika secara bertahap kita mempelajari lebih jauh
segala hal yang tersembunyi dari kematian tersebut ada shock yang asyik dan
semakin memperdalam rasa sedih dan sakit tadi. Kekerasan dan kekejaman yang
digambarkan dengan dingin selalu mampu memberikan hook yang lebih kuat ketika
mereka digambarkan dengan berbagai ledakan besar dan ekstrim, dan Elegant Lies meraih keuntungan besar
dari sana, permainan hitam dan putih yang ditangani dengan bijak, bahkan meskipun sesekali menyuntikkan humor kecil ia
tetap terus mengintimidasi.
Pesan moral terkait
rasa sayang terhadap orang-orang yang kita sayangi sebelum mereka pergi
meninggalkan kita itu mungkin tidak hadir dalam kualitas yang benar-benar kuat,
tapi “permainan” yang tercipta dari sana itu mampu menutupi nilai minus kecil
tersebut. Itu karena Elegant Lies
terasa seperti sebuah fruit punch, campuran dari berbagai rasa yang rumit tapi
tetap enak, beberapa diantara mereka sesekali terasa menyengat dan mencoba
mengganggu, tapi tetap tidak keluar dari irama yang halus. Sangat suka pula
dengan karakter yang baik itu hitam dan putih mampu menarik simpati, dibuat
kesal dengan protagonist, dan merasa empati dengan antagonis, sehingga isu yang
kompleks itu tidak terkesan menghakimi, mereka disokong dengan dialog tajam
dalam naskah non-linear berisikan kilas
balik maju dan mundur yang tersusun dengan cermat, cerdik, dan licik.
Namun dibalik sisi
teknis yang meskipun terkesan liar tapi terbangun dengan kokoh itu, divisi
akting punya kontribusi yang tidak kalah besarnya dalam keberhasilan Elegant
Lies menjadi sebuah melodrama yang tidak murahan. Di comeback layar lebar setelah dua dekade menghilang, Kim Hee-ae punya pesona dalam
percampuran antara rasa bingung dan semangat untuk move on. Namun yang
mengejutkan adalah para pemain muda seperti tidak pernah berhenti mencuri
panggung utama, Kim Yoo-jung punya
kesan manipulatif yang terbentuk dengan baik, Go Ah-sung berhasil menunjukkan penderitaan yang dimiliki oleh
karakternya meskipun terasa kurang
stabil, hingga Kim Hyang-gi yang
disetiap kehadiran karakternya mampu menjadi alarm terkait konflik utama.
Pemeran minor seperti Yoo Ah-In, Chun
Woo-Hee, dan Yoo Yeon-Mi juga
punya kontribusi yang positif.
Overall, Elegant Lies/Thread of Lies (Wooahan
Geojitmal) adalah film yang memuaskan. Dimulai dengan sebuah kejutan besar
diawal, film ini tidak pernah berhenti memberikan kejutan menarik lainnya yang
disuntikkan secara bertahap dalam permainan emosi bersama narasi non-linear ala
detektif yang terbentuk dengan manis, transisi yang presisi, kerumitan
menyenangkan bersama sebuah konflik sederhana, liar namun tetap terkontrol,
penuh warna tapi tetap seimbang, Elegant
Lies berhasil menyenangkan penontonnya dengan cara yang pintar, cermat,
cerdik, licik, dan tentu saja, elegan. Segmented.
jadi, si cheon ji ini bunuh diri karena siapa ya? masih bingung sam atuuan dia bunuh diri, apa karena di bully saja? dan siapa yang salah disini?
ReplyDeleteCheon-ji bunuh diri karena depresi/tekanan mental (termasuk bully) yang kumulatif dan akhirnya meledak. Penyebabnya berasal dari lingkungan sekitar Cheon ji. :)
DeleteBaru sempat nonton film ini sekarang. Dan langsung mampir kesini untuk membandingkan review kamu sama pendapat saya hehe nerd banget ya. Setuju semua dr awal sampai akhir, film ini memang bagus banget teknisnya. Tapi kebetulan di aku ada sisi personalnya jadi aku mau ngasih nilai 9/10 deh :)
ReplyDelete