"Always play from your heart."
Film ini berhasil menjalankan tugas dasarnya sebagai
sebuah hiburan animasi, memberikan pengalaman visual yang tentu saja menjadi
faktor utama dan terpenting yang penonton cari, serta beberapa pesan tentang
kehidupan, cinta, hingga sikap jujur juga tidak ketinggalan ikut menyemarakkan
gambar-gambar indah yang memanjakan mata dan imajinasi itu, tapi sebuah
sentuhan kecil menghalangi film ini untuk meraih potensi besar yang ia miliki
sejak awal. The Book of Life, when
stunning visual wounded by inconsistent story charms.
Sekelompok anak kecil yang baru saja turun dari bus
itu mungkin tidak pernah menyangka pengalaman baru apa yang akan mereka peroleh
dari wanita bernama Mary Beth (Christina
Applegate). Mary Beth membawa dan memandu anak-anak tersebut pada sebuah
buku bernama The Book of Life, buku yang menyimpan banyak legenda dan mitos
dari berbagai penjuru dunia, dan pada kesempatan itu cerita diambil dari negara
Meksiko, sebuah kisah cinta segitiga yang melahirkan sebuah perdebatan
sederhana antara La Muerta (Kate del
Castillo), penguasa dunia penuh kedamaian, dan Xibalba (Ron Perlman), penguasa dunia kegelapan yang terlupakan.
Pada festival Day
of the Dead, La Muerta dan Xibalba tertarik pada dua anak laki-laki, Manolo Sánchez, anak matador yang gemar
bermain musik, dan Joaquín, anak yang
bercita-cita menjadi pelindung San Angel
seperti almarhum ayahnya. Kepribadian mereka berbeda, tapi mereka punya
ketertarikan yang sama, yaitu María. Hal tersebut yang digunakan oleh La Muerta
dan Xibalba untuk berkompetisi, masing-masing memilih satu jagoan, dan pemenang
ditentukan oleh siapa diantara Manolo
(Diego Luna) dan Joaquín (Channing Tatum)
yang akan dipilih oleh María (Zoe
Saldana) kelak ketika mereka telah dewasa.
Ketika ia telah berakhir hadir jawaban atas pertanyaan
di awal pada betapa sempitnya hype yang film ini peroleh jika harus
dibandingkan dengan beberapa film animasi lainnya di tahun ini. Ya, anda bisa
bilang bahwa studio yang berada di belakang layar, Reel FX Creative Studios, faktanya memang selama ini belum pernah
terlibat di kompetisi atau panggung yang lebih besar di dunia animasi, sehingga
tidak heran ketimbang pengisi suara hingga konsep cerita dengan style Romeo and Juliet yang dibawa masuk
kedalam fantasi kegelapan, nama salah satu produsernya Guillermo del Toro yang justru kerap
kali mempertahankan daya tarik film ini sebelum ia dirilis. Dan benar saja, The Book of Life berhasil memberikan
salah satu pengalaman visual mengasyikkan di tahun 2014.
Jika visual The
Book of Life dirangkum dalam sebuah kata sederhana, energik adalah pilihan
yang tepat. Ada semangat dan kehidupan yang seperti merayap kedalam mata hingga
menuju imajinasi penontonnya, menyibukkan fantasi penonton dengan berbagai
desain yang bukan hanya cantik namun juga mampu mengubah kesederhanaan yang
mereka andalkan itu untuk tampak lucu namun juga elegan, memiliki kedalaman
yang mengasyikkan ketika membawa penonton berputar-putar bersama tema kegelapan
yang dicampur bersama elemen budaya dari Meksiko, dua bagian yang masing-masing
terbentuk dengan manis lengkap dengan balutan musik yang catchy, cover lagu-lagu dari Elvis
Presley, Radiohead, hingga Mumford &
Sons yang mampu di blend dengan baik kedalam narasi, tampil dengan nuansa
pop yang lembut tanpa harus kehilangan ciri dan makna versi original.
Jika kita berhenti di berbagai nilai positif diatas
tadi, ini otomatis akan menjadi salah satu pesaing terkuat di sektor animasi
tahun ini, tapi sayangnya itu akan tergerus jika anda merasakan nilai minus
yang secara individual terasa minor, tapi ketika mereka bergabung memberikan
dampak yang cukup signifikan. The Book of
Life ternyata kurang berhasil menjadi animasi yang bukan hanya sekedar
menyuguhkan visual feast belaka,
karena ia kurang mampu bercerita dengan sama baiknya. Tidak dapat dipungkiri
memang cara Jorge Gutierrez dan Doug Langdale menyusun alur cerita di
bagian awal terasa kuat, mereka mampu memisahkan nada gelap dan terang, tema
kematian juga berhasil dikemas untuk tidak terlalu gelap bagi penonton muda,
dan itu sembari memegang teguh pesan terkait kasih sayang dan kejujuran yang ia
bawa. Tapi setelah itu The Book of Life mulai panik.
Ya, plot dalam cerita memang mengalir tapi dalam
kecepatan yang kurang halus dan tenang. Irama yang ia tampilkan di paruh akhir
kurang lembut, cara imajinasi bermain di pikiran penonton bersama warna-warni
neon itu sama seperti cara cerita menggerakkan masalah, terasa terlalu liar,
terlalu sibuk menjejali layar agar berwarna dan tidak pernah kosong sama
sekali. Hal ini yang terasa sedikit mengganggu, karena Jorge Gutierrez seperti tidak memperlakukan karakter sebagai sosok
yang hidup dalam cerita, melainkan seperti boneka yang hanya perlu
menyelesaikan tugas mereka, mulai dikebut menjelang akhir tidak peduli materi
seperti lelucon yang ia suntikkan tidak memberikan hit yang menyenangkan. Hal
tersebut bukan hanya menyebabkan goyahnya atensi penonton pada cerita dan karakter,
tapi juga mematikan potensi besar dibalik konsep sederhana yang mereka sajikan
itu.
The Book of Life dimulai dengan pintar dan indah, dan mereka juga
tampak menjanjikan ketika menilik elemen budaya dan kehidupan yang ingin
disampaikan, tapi setelah itu pintar dan indah tadi ternyata hanya tertinggal
di sektor visual. Andai saja The Book of
Life tidak mencoba terlalu keras untuk menjadi kemasan yang benar-benar
komplit, sensasi mengasyikkan yang ia berikan mungkin akan tetap besar hingga
akhir, bukannya justru mencoba menyampaikan banyak poin dalam cerita yang
faktanya juga mayoritas tidak di eksekusi dengan baik. Titik lemah The Book of Life adalah ia kurang mampu
menggabungkan hal-hal rumit dengan hal-hal konyol dalam komposisi yang tepat,
mereka kerap kali terasa canggung, dan dampak negatifnya juga ikut merembes ke
dalam karakter yang secara visual tampil cantik itu.
Sebuah kewajiban dari film animasi adalah ia harus
punya sosok sentral yang benar-benar kuat, karakter yang mempesona dan akan
dikenang lama. The Book of Life tidak
punya itu, semua akibat gerak terburu-buru yang hadir setelah sesi awal yang
menjadikan penonton mereka sulit merasa “dekat” dengan mereka. Keintimannya
terasa kurang, saya merasa sulit untuk menyukai tiga karakter utama secara
total, mereka pernah mempesona tapi sesekali juga terasa hambar. Begitupula
dengan pengisi suara, sedikit yang benar-benar mampu memberikan emosi dengan
hook yang kuat, Zoe Saldana dengan
irama Spanyol, Channing Tatum yang mencoba arogan, mereka dalam level yang baik.
Yang berbeda adalah Diego Luna, ia
mampu menjadikan Manolo tidak pernah berhenti mencuri atensi utama penonton.
Overall, The
Book of Life adalah film yang cukup memuaskan. Bukan sebuah animasi yang
super standard memang, dan jika ekspektasi awal tidak begitu besar ini akan
mampu memberikan rasa puas dengan kombinasi hal-hal aneh dan familiar itu,
bersama dengan beberapa lelucon yang cukup oke dan tentu saja musik yang
berhasil menjadi kekuatan mengejutkan. Tapi minus dari narasi menjadikan The Book of Life sempat terasa
biasa-biasa saja di beberapa bagian dan mengagalkan potensi film ini untuk
menjadi pesaing animasi terbaik tahun ini, kerap terasa liar dan terburu-buru
sehingga tidak memberikan penonton alur dengan dinamika yang konsisten lembut
serta menarik untuk menemani mereka menikmati sajian visual yang cantik itu.
0 komentar :
Post a Comment