"Every step has led to this."
Beberapa penggemarnya mungkin sudah mulai merasa bosan
dengan salah satu dance kingdom yang telah eksis selama delapan tahun dan kini
meluncurkan series ke limanya ini. Namun setelah Step Up: Revolution yang sebenarnya cukup mampu menaikkan kembali
daya tarik mereka setelah kehilangan Channing
Tatum, sayangnya Step Up: All In One
justru menciptakan kesalahan yang, well, cukup besar.
Setelah bangkrut dan menjadi pengangguran, Sean Asa (Ryan Guzman) mencoba melakukan
sebuah gebrakan yang bertolak belakang dengan sikap menyerah dan
teman-temannya. The Vortex, sebuah
kompetisi tari yang menjanjikan sebuah acara khusus bagi pemenang di saluran
VH1 menjadi tujuannya Sean, dan berkat bantuannya sahabatnya Moose (Adam Sevani) dengan cepat kru
baru berhasil ditambahkan. Tapi ternyata realita yang ia dan timnya temukan
pada kompetisis tersebut jauh lebih sulit dari apa yang mereka harapkan.
Ya, saya mengikuti empat film sebelumnya dari dance
romance and drama ini, tidak bisa dikatakan sebagai penggemar setia sebenarnya,
karena ada grafik naik dan turun yang diberikan oleh series ini sehingga sering
menciptakan rasa ragu ketika hendak menyaksikan instalment selanjutnya. Step Up: Revolution berhasil membuat
saya menanti film kelima ini, dan celakanya film kelima ini yang justru membuat
saya semakin ragu apakah series ini masih layak untuk di ikuti. Penyebabnya
karena mereka sendiri tampak seperti sudah bosan dengan apa yang mereka
lakukan, seperti anak usia enam tahun yang masih datang kesekolah karena
dipaksa oleh orang tuanya.
Itu yang mengecewakan, bukan karena isu Channing Tatum, tapi lebih kepada rasa
segar yang diberikan film ini. Apa yang mereka tampilkan seperti hanya
mengulang apa yang mereka pernah berikan dengan menggunakan masalah yang baru,
terlalu akrab bukan menjadi masalah yang besar, tapi daya tarik yang dihasilkan
sangat jauh dari standard menyenangkan. Seperti kehabisan ide untuk menciptakan
sebuah perjalanan tari yang bukan hanya sekedar copy paste dengan sedikit
modifikasi, petualangan yang berhasil membuat penontonnya tidak memusingkan
plot dan bergoyang gembira bersama tarian-tarian rumit skala kecil untuk menuju
sebuah finale di babak akhir.
Kenikmatan itu hilang, hiburan dengan kreatifitas yang
baik pada urutan tari untuk membawa penontonnya bersenang-senang. Perselisihan,
tantangan, kerja keras, hingga sikap fair play, mereka tampil canggung dalam cerita
yang bergerak mondar-mandir itu, humor bahkan minim disini, dan masalahnya
ketika mereka tampil serius drama yang diberikan justru terasa lembek dan
kosong. Tidak peduli pada emosi karakter di sisi drama, celakanya emosi itu
juga terasa sangat tipis ketika mereka sedang menari, Ryan Guzman seperti kesulitan untuk melakukan show-off daya tarik
miliknya, bahkan ia harus kalah dari Briana
Evigan yang melakukan comeback dengan cukup baik.
Step Up: All In One adalah film pemalas, dimana Trish Sie seperti kurang berani untuk melakukan sebuah terobosan
yang segar, masih tertidur lelap dalam keberhasilan yang dihasilkan oleh
pendahulunya, sehingga ketimbang menciptakan sesuatu yang baru lebih memilih menggunakan
formula yang identik, tidak perlu repot-repot karena penonton datang untuk
melihat karakter menari, tapi mereka lupa bahwa tari bukan hanya masalah
kerumitan yang lebih mudah terasa membosankan, tari juga punya kemampuan
memancarkan emosi yang dapat mempertebal dan memperkuat daya tarik, dan itu
hanya dapat hadir dari penceritaan yang kuat dan menarik.
0 komentar :
Post a Comment