“Death is just like life in Sin City. It always wins.”
Ketika ia muncul hampir satu dekade yang lalu Sin City adalah sebuah kemasan yang
mengejutkan, sebuah hiburan style over substance yang seperti namanya mencoba
mengajak penonton menyaksikan aksi gila bersama berbagai dosa dari sex & violence yang dikemas secara
santai dan seksi dalam dunia hitam dan putih. Sayang sekali istirahat yang lama
itu ternyata memberikan efek pada sensasi yang diberikan film keduanya ini. Sin City: A Dame to Kill For, the babe wore
blue in lost, lonely, & lethal adventure, exciting and boring almost at the
same time.
Masih dengan tampang kokoh tanpa rasa takut yang ia
miliki, Marv (Mickey Rourke) masuk
kedalam bar langganannya setelah meladeni sekelompok anak muda yang
memanggilnya Bernini Boy, duduk dan
kemudian menyaksikan stripper favorit semua pengunjung bernama Nancy Callahan (Jessica Alba) yang
beraksi dibawah stress untuk membalaskan dendam kematian John Hartigan (Bruce Willis). Di bar tersebut pula ia bertemu
dengan beberapa sosok baru yang ia tawarkan bantuan, mereka yang sedang
terlibat dalam berbagai masalah.
Pria pertama bernama Johnny (Joseph Gordon Levitt), seorang pejudi dengan keahlian
tinggi yang menjadikan kekalahan seperti tidak memiliki celah untuk
menghampirinya. Namun suatu ketika kedatangannya bersama Marcie (Julia Garner) menciptakan masalah besar baginya yang
berasal dari Senator Roark (Powers
Boothe). Kemudian Marv juga bertemu dengan Dwight McCarthy (Josh Brolin), pria yang setelah mengintai Joey (Ray Liotta) dan Sally
(Juno Temple) justru jatuh kembali kedalam masalah yang berasa dari
mantannya, Ava (Eva Green), wanita
yang selalu mampu “menyiksanya” secara fisik dan juga mental.
Ya, ini menarik serta membosankan, dan mereka hadir
dalam rentang waktu yang hampir tidak begitu besar. Masih dengan formula yang
sama, masih dengan kegilaan yang sama besarnya, harus diakui Robert Rodriguez dan Frank Miller terhitung cukup sukses
untuk menghidupkan kembali dunia dimana mereka bebas untuk berekspresi dalam
mengeskploitasi dosa yang diambil dari Sin
City series milik Frank Miller.
Tidak jauh dari pendahulunya, kemasan kedua ini tetap menyuguhkan konten-konten
dalam sentuhan hitam putih dengan penempatan warna yang manis yang dibentuk
dalam cita rasa hyper untuk kemudian menembus pikiran penontonnya agar ikut
berfantasi bersama kegilaan.
Lantas apakah Sin City: A Dame to Kill For berhasil
menghibur sama baiknya seperti pendahulunya itu? Kurang. Dapat dikatakan ini
adalah hiburan yang terasa sangat seimbang, ada semangat yang mampu ia
pancarkan dari berbagai aksi yang mampu membuat penontonnya tersenyum kecil
sembari berkata “gila”, semangat yang lantas menjadikan rasa penasaran pada apa
yang kemudian akan ia hadirkan semakin terus terjaga dengan stabil. Tidak heran
memang, fantasi yang di bangun dengan liar, kemudian dibalut bersama visual
yang tak pernah berhenti mempermainkan mata dengan cara yang nakal, kekejaman over-the-top yang tampil sombong dalam
ketenangan yang bergerak cepat, itu sudah cukup untuk menjauhkan rasa lelah
pada penonton.
Masalahnya adalah hal-hal yang sepintas tampak
potensial tadi ternyata tidak hadir bersama penceritaan dengan dinamika yang
menarik. Ia memang berhasil menjebak penontonnya kedalam petualangan ini, namun
ia tidak berhasil memanipulasi penonton untuk terlibat jauh lebih dalam secara
merata. Tentu saja tidak mengharapkan sesuatu yang sangat mumpuni pada sektor
cerita, meskipun memang narasi yang ia berikan terasa sedikit lebih baik jika
dibandingkan dengan film pertamanya, namun kesuraman dunia yang coba ia
tampilkan terkadang terasa terlalu muram. Kurang hidup, menjadikan perjalanan
dari para karakter seperti tidak mengalir dengan baik dan benar, hal yang
lantas menggerus salah satu faktor kunci yang paling penting dari Sin City, daya tarik karakter.
Itu mengapa diawal saya menyebutkan the babe wore blue, wanita yang
menggunakan pakaian biru, dan dia adalah Eva
Green. Ini terasa seperti all about Eva
Green, all about Ava, hanya permasalahan yang bertumpu padanya yang mampu
konsisten tampak “menarik”. Akibatnya cukup signifikan, ketika kita berpindah
ke sub bab lainnya daya tarik tidak sama besar, yang lalu menjadikan tumpahan
visual yang ditangkap oleh mata tidak terasa menarik dan membuat penonton
berpindah kedalam mode menunggu. Penempatan porsi juga menjadi masalah, karena sesungguhnya
Joseph Gordon Levitt punya konflik
yang tidak jauh kalah menariknya namun harus terkubur mati akibat proses
menunggu yang terlalu lama, sehingga ketika ia hadir kembali sensasi itu telah
sirna.
Benar, sensasi itu yang hilang di kemasan kedua ini.
Jika di nilai dari segi karakter sebenarnya ada sebuah upgrade yang mumpuni,
namun pembagian peran dan daya tarik yang mereka miliki terasa sangat tidak
seimbang. Rosario Dawson bahkan
seperti pelengkap yang semata-mata disengaja, sama halnya dengan Bruce Willis dimana konfliknya dengan
Jessica Alba dikemas setengah hati sehingga kehadirannya lebih sebagai penambah
nilai jual serta memperindah poster. Dari sisi akting Joseph Gordon Levitt berada di baris terdepan, mampu menjadikan
kelicikan yang ia punya tampak menarik. Di belakangnya ada Eva Green yang selalu mampu tampil baik ketika harus
mengeksploitasi keseksian yang miliki.
Overall, Sin
City: A Dame to Kill For adalah film yang cukup memuaskan. Sulit untuk
mengatakan bahwa mereka yang suka dengan film pertamanya akan otomatis menyukai
pula film keduanya ini. Apa yang mereka berikan mayoritas memang sama, visual
yang mumpuni, kekejaman tanpa rasa takut yang dikemas bersama sentuhan nakal
dan seksi, dan kali ini ditambah dengan kehadiran scene stealer pada diri Eva
Green yang lantas menciptakan dua bagian, aksi menikmati, dan aksi
menunggu, penyebab dari dinamika dari tensi yang kurang menarik yang lantas
menggerus daya tarik dan juga sensasi yang mereka hasilkan.
0 komentar :
Post a Comment