"Stay safe. Stay safe."
Hanya dengan bermodalkan $3 juta, tahun lalu Michael Bay bersama rekan-rekannya mampu
menghasilkan uang hampir 30 kali lipat dari sebuah thriller berkedok horor
sederhana yang mereka bangun, hiburan super standard yang berhasil menjadi hit
atau sensasi luar biasa berkat premis kontroversial yang ia tawarkan. Tidak
perlu waktu lama tahun ini mereka hadir lagi, kembali meraih kesuksesan yang
sama di sektor financial, namun celakanya masih dengan kualitas yang sama. The Purge: Anarchy, just extremely little bit
better than the first film.
Credit itu telah muncul di layar televisi, sebuah
peringatan dini kepada penduduk USA untuk
segera bersiap sedia menyambut event tahunan yang dimulai pada tanggal 21
Maret, Annual Purge, momen dimana
semua pintu dan jendela rumah tertutup rapat, jalanan menjadi lapangan kosong
yang penuh kegelapan, serta polisi hingga pemadam kebakaran yang dipaksa
beristirahat sejenak untuk memberikan kesempatan bagi segala bentuk kejahatan
bersenang-senang hingga jam 7 pagi keesokan hari tiba.
Celakanya selalu saja ada yang tidak berhasil
berlindung dan harus terlibat dalam aksi kejar bersama sekumpulan pria
misterius. Eva (Carmen Ejogo),
bersama putrinya Cali (Zoe Jiwa), dan
juga pasangan suami istri Shane (Zach
Gilford) dan Liz (Kiele Sanchez),
terpaksa harus bermain petak umpet dari melewati gang yang sepi hingga
terowongan bawah tanah menuju kediaman salah satu rekan mereka untuk
berlindung, dibawah pertolongan seorang pria bernama Leo Barnes (Frank Grillo) yang tampak mencurigakan karena sikap
iseng untuk tidak memilih berlindung.
Tidak perlu bingung, sinopsis diatas tadi memang
tampak seolah hadir tanpa sebuah tujuan yang kuat, persis seperti kisah yang
ditulis oleh James DeMonaco,
begitupula dengan cara ia dibangun. Masih seperti film pertamanya itu, yang menarik
disini hanyalah premis menyeramkan yang kali ini ia putar dan lebarkan, dari
awalnya hanya sekedar bermain-main dengan rumah yang sempit kini mencoba
mengelilingi sebuah kota yang luas dimalam hari lengkap dengan kendaraan yang
mengintimidasi, topeng yang menakutkan, hingga senjata dan api ciri khas
pemberontakan. Ya, masukkan korban kedalam labirin yang lebih besar bersama
manusia-manusia buas yang siap memangsa, dan set mereka di dalam mode survival untuk menemukan jalan keluar,
yaitu tempat berlindung yang aman.
Pada awalnya segala formula identik yang ia terapkan
itu uniknya kembali berhasil menebar daya tarik yang cukup baik, terutama pada
harapan bagaimana ruang luas tersebut akan dimanfaatkan untuk membangun kembali
ide yang sesungguhnya masih tetap terasa menarik diluar kesan underwhelmed yang
diberikan pendahulunya itu, dengan cakupan materi yang dapat dimanfaatkan
semakin besar ini dapat menjadi lebih misterius, lebih intens, dan lebih
menegangkan. Celakanya ternyata ia tidak hanya identik di tahap awal saja,
karena hingga menyentuh garis finish apa yang pernah anda saksikan di film
pertama kembali hadir disini, kisah potensial yang terjatuh dan masih tidak
tahu caranya untuk kembali bangkit di paruh kedua.
Ya, ketika kita berada di tahap dimana kisah masih
menggambarkan para penduduk yang dengan cemasnya mulai berpacu bersama
countdown timer yang telah di set itu The
Purge: Anarchy masih terasa menarik, namun setelah itu semua jatuh
perlahan, persis seperti yang pernah dialami film pertama. Penyebabnya? Cerita
yang pemalas, seolah sengaja menolak memanfaatkan elemen pendukung cerita yang
semakin variatif untuk membentuk cerita menjadi sebuah permainan yang terasa
lebih variatif. Monoton, narasi yang seharusnya dapat menjadi sebuah kritik tajam
terkait kondisi sosial dengan memanfaatkan hubungan antara kaya dan miskin itu
justru dijahit dengan sibuknya bersama berbagai pengulangan yang sama dinginnya
dengan setting malam yang mereka gunakan.
Benar, dingin, ia miskin misteri, bahkan tidak punya
tekanan seperti yang dihasilkan The
Purge. Meskipun telah melepaskan horor dari sasaran utama mereka, thrill
yang diberikan oleh elemen action dengan aksi kucing dan tikus itu masih terasa
tumpul, tampil lembek akibat urutan cerita yang kurang berhasil bekerja dengan
baik untuk konsisten menebar ancaman, dampak dari penyebab utamanya tadi,
kurang inovatif dalam mengeksplorasi kelebihan yang ia miliki pada materi
mentah yang seharusnya dapat dimasak menjadi letusan serangan penuh sensasi menyenangkan yang
datang dari berbagai arah untuk menyerang karakter yang sejak awal hanya
dibekali dengan tugas yang sangat terbatas itu.
Overall, The
Purge: Anarchy adalah film yang kurang memuaskan. Kondisi dimana ia punya
materi yang jauh lebih besar ketimbang pendahulunya yang hanya memiliki sebuah
rumah itu kurang berhasil dimanfaatkan dengan baik James DeMonaco. Ini hanyalah pengulangan dari kesuksesan dan
kegagalan yang pernah dihasilkan oleh film pertama, sebuah kisah menjanjikan
yang menarik diawal namun kemudian tampil monoton akibat sikap “mereka” untuk
menolak menjadikan ini lebih inovatif, hanya mencoba menjadi sebuah pleaser sederhana yang akan memuaskan
penonton yang puas dengan film pertama, tapi akan mengecewakan mereka yang
menginginkan sesuatu lebih baik dari itu, tidak hanya sebuah loncatan super
kecil.
0 komentar :
Post a Comment